| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, June 27, 2006,1:50 PM

Ujian Nasional Bukanlah Jawaban

Baskoro Poedjinoegroho

Inilah berita hangat dari dunia pendidikan. Para peserta didik yang tidak lulus ujian nasional berjuang agar Depdiknas menyelenggarakan ulangan seperti terjadi pada tahun ajaran 2004-2005.

Kemauan mereka didukung orangtua/wali, bahkan DPR pun ikut mendesak agar mereka yang tidak lulus diberi kesempatan menempuh ujian nasional (UN) ulangan (Kompas, 21/6/2006). Konon ada pimpinan sekolah yang mendukung diadakan UN ulangan. Di antara mereka yang tidak berhasil melewati angka kelulusan 4,25 ada beberapa yang nekat bunuh diri (Kompas, 22/6/2006), dan ada pula yang melampiaskan kekesalan dengan membakar sekolah sendiri. Berita lain, SMK Negeri I Cilegon diharuskan mengulang UN karena ditemukan bukti ada jockey UN (Kompas, 20/6/2006). Peserta didik berupaya melukai gurunya (Kompas, 25/6/2006). Mengapa semua itu terjadi? Pemicunya adalah tidak relevan.

Harus ada UN

Berbicara mengenai UN, sebenarnya tidak ada manfaatnya sama sekali, apalagi membicarakan perlu/tidak atau ada/tidaknya. Hampir seluruh argumentasi pro-kontra diarahkan pada kesimpulan, UN harus terus diadakan. Simaklah sebuah kesimpulan yang ditarik tanpa dasar pedagogis. Hasil UN tahun ajaran 2005-2006 lebih bagus dari tahun sebelumnya karena jumlah kelulusan lebih banyak (SMA: 92,5 dari 80,76 persen; MA: 90,82 dari 80,73 persen; SMK: 91,00 dari 78,29 persen). Padahal, tuntutan atau angka standar kelulusan tahun ini (angka 4,26) lebih tinggi daripada tahun sebelumnya (angka 4,25) dan dengan angka rata-rata 4,50; jadi mutu pendidikan kita meningkat. Karena itu UN harus dilaksanakan terus.

Persis di situlah terjadinya kenyataan yang terbalik, yakni kemunduran pendidikan. Bagaimana mungkin angka dan jumlah kelulusan menjadi ukuran mutu pendidikan? Apakah pendidikan kita mau dibawa ke arah itu? UN tidak relevan sama sekali.

Bisa diduga, landasan argumentasi pragmatis yang akan terus dikemukakan demi keberlangsungan UN adalah, pokoknya, jika anak diberi tantangan atau dituntut dengan syarat angka kelulusan yang dinaikkan tiap tahun, otomatis anak akan belajar. Argumentasi itu mesti dikembangkan dengan pertanyaan, "Anak-anak akan belajar apa dan bagaimana?" Yang terjadi adalah mereka akan berusaha sekeras mungkin (dengan menghalalkan segala cara?) agar soal-soal tiga mata pelajaran yang di-UN-kan dapat dijawab dengan benar.

Bagi pengkritik, UN tiga mata pelajaran tidak cukup untuk menentukan pandai/tidaknya peserta didik atau penentu kelulusan. Nah, mengangalah lubang besar bagi pencinta UN (yang tidak jelas argumentasinya), yaitu lubang usulan sekaligus keputusan bahwa di tahun mendatang semua mata pelajaran harus di-UN- kan di semua jenjang (dari SD hingga SMTA). Itu demi meningkatnya mutu pendidikan? Benarkah arah pendidikan kita adalah demi mahirnya peserta didik menjawab soal-soal ujian? Benarkah itu sejalan dengan tujuan pendidikan? UN tidak relevan.

Bunuh diri

Peserta didik yang tak lulus UN berniat bunuh diri, mencoba membakar sekolah, pendidik berupaya menjadi jockey ujian, wakil rakyat dan orangtua berjuang agar UN ulangan diselenggarakan. Dan pengambil kebijakan menjawab, "tunggu hingga hasil UN SMTP diumumkan", dan "mengulang UN berarti bertindak tidak adil kepada yang lulus UN". Apa hubungan itu semua? Apakah ini tidak membuktikan UN tidak relevan? Apa sih tujuan pendidikan kita?

Secara singkat, tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan peserta didik dan mendampingi mereka agar menjadi pribadi yang baik. Menjadi cerdas dan baik. Tujuan pendidikan amat jelas, bukan demi kepandaian menjawab soal-soal yang diajukan guru atau UN.

Tujuan pendidikan

Namun, hal inilah yang justru menghangatkan pembicaraan setiap kali kita menghadapi masalah pendidikan. UN dijadikan parameter dan alat untuk memajukan mutu pendidikan, terjadi "salah kaprah". Bukankah setiap tahun yang diperdebatkan hal itu? Membosankan, tidak pernah ada pemikiran baru.

Cerdas artinya mampu menggunakan akal budi untuk menghadapi dan menjawab persoalan secara kreatif. Jadi, tidak hanya demi untuk menjawab soal-soal ulangan atau ujian. Sedangkan baik artinya mempunyai karakter, tahu nilai-nilai (value) dan mampu mewujudkannya dalam tingkah laku sehari-hari.

Dalam usaha memajukan mutu pendidikan, hal ini jarang sekali dibicarakan dan dijadikan program operasional. Padahal, tujuan pendidikan itulah yang harus diperjuangkan untuk diraih oleh siapa pun yang berkiprah dalam dunia pendidikan.

Lihatlah, mengapa seorang anak nekat bunuh diri? Bukankah karena dia tidak pernah disiapkan untuk menghadapi tantangan/ persoalan hidup? Apakah dia pernah disiapkan untuk mengolah kegagalan? Cermatilah, mengapa seorang anak berani mencoba membakar sekolah sendiri? Mengapa dia tidak bangga dengan sekolahnya? Mengapa seorang anak tidak mampu menguasai kekesalannya? Apakah dia pernah dilatih untuk menguasai diri di sekolah dan di keluarga? Amatilah, mengapa seorang pendidik menjadi jockey UN? Mengapa dia tidak menyadari perannya sebagai pendidik? Apakah dia bangga sebagai guru? Paradigma pendidikan manakah yang diyakini dan dikembangkan? Adakah program pelatihan dan pendampingan personal yang kontinu untuk menginternalisasikan paradigma pendidikan? Renungkanlah, mengapa peserta didik berani melukai gurunya sendiri? Kepada pendidiknya, mengapa mereka bertindak kasar? Adakah program pendidikan yang mengarah ke penajaman nurani (conscience) peserta didik sehingga mereka terbiasa menggunakan dan dapat membedakan yang benar/salah dalam setiap tindakannya?

Semua pertanyaan itu dapat diajukan kepada siapa saja yang terlibat pendidikan. Pastilah jawaban yang tepat bukan terletak pada dan melalui UN. UN tidak relevan sama sekali.

Ada tiga ranah dalam kurikulum yang sedang berlaku, yaitu pengetahuan (cognitive), sikap (attitude), dan praktik (skill). Dalam kenyataan yang didewakan adalah ranah pengetahuan, biaya dan tenaga dihabiskan di situ. Pemutlakan pengetahuan atau angka hasil ulangan/ujian/rapor dan pengabaian karakter serta kecerdasan akan memundurkan mutu pendidikan.

Kebijakan pedagogis akan lebih bermanfaat bila didahulukan daripada keputusan yang dipaksakan karena kekuasaan.

Baskoro Poedjinoegroho
Direktur SMA Kanisius Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home