| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, June 28, 2006,7:01 PM

Indonesia, Australia, Ba'asyir

Aiyub Mohsin
engamat/Dosen FISIP Unas.

Hubungan Indonesia-Australia selalu menunjukkan pasang surut. Kadang mesra, kadang juga renggang. Bahkan saling menjauh dan benci. Kondisi ini, menurut Duncam Graham, sorang penulis Australia yang tinggal di Surabaya, disebabkan perbedaan latar belakang budaya, sejarah, dan sistem politik kedua bangsa dan negara.

Namun, dengan kemauan politik (political will) khususnya dari pihak Australia, hubungan itu bisa bergerak dan menuju kearah saling pengertian dan bahkan saling menolong dan bekerja sama. Hubungan mesra dan penuh pengertian dan kerja sama sewaktu tokoh-tokoh politik Australia seperti Chifley dan Keating --keduanya dari Partai Buruh-- memimpin Australia. Semasa Chifley, dukungan Australia kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia begitu besar, sehingga Australia ditunjuk Indonesia duduk dalam Komite Jasa-jasa Baik (Good Offices Committee) PBB. Komite itu untuk memperjuang kepentingan Indonesia, khususnya dalam mendapatkan pengakuan dunia atas Kemerdekaan Indonesia. Begitu juga semasa Keating, yang ingin menempatkan Australia sebagai bagian dari masyarakat Asia, menjadikan Indonesia sebagai tetangga utama Australia.

Kedua Tokoh Australia itu barangkali terpengaruh dan sadar sepenuhnya tentang pentingnya membina persahabatan dan kerja sama dengan tetangga, ketimbang selalu dan lebih memberikan perhatian kepada 'saudara jauh'. Sebagaimana pepatah Indonesia ''tetangga itu lebih baik dari saudara jauh''. Seperti juga ungkapan ''Kita dapat memilih teman, tapi kita tidak dapat memilih (negara) tetangga.''

Takdir
Dalam hubungan ini sudah menjadi takdir, Indonesia dan Australia merupakan dua negara tetangga, walaupun berbeda dalam akar budaya, ras, sejarah, dan sistem politik. Sebagai negara bertetangga, sudah semestinya saling menenggang rasa, menghormati satu sama lain, dan saling tolong menolong. Jika ada masalah, semestinya diselesaikan dengan cara dialog dan perundingan.

Di kalangan rakyat Indonesia terdapat kesan jika pemerintahan Australia dipegang oleh bukan Partai Buruh, maka orientasi pemerintahan 'Negara Kanguru' itu lebih kepada negara dan bangsa nenek moyangnya: Eropa/kulit putih. Umumnya mereka kurang tenggang rasa dan menganggap diri superior terhadap bangsa-bangsa Asia. Contoh kontemporer adalah pemberian visa kepada 42 orang papua.

Walaupun telah berkali-kali diingatkan Pemerintah Indonesia bahwa mereka bukanlah pelarian politik, tapi tetap saja --mungkin karena hidden political agenda-- mereka tetap diberi visa. Hal ini jelas menunjukkan Australia tidak sensitif terhadap perasaan negara tetangga. Tapi sebaliknya, Australia bereaksi keras terhadap pembebasan Abu Bakar Ba'asyir, yang telah menjalani proses hukum yang adil dan transparan di Indonesia.

Kasus Ba'asyir
Sewaktu terjadi pemboman di Bali pada tahun 2002 yang menewaskan 202 orang --88 di antaranya warga Australia yang sedang berlibur di Bali-- media-media Australia dan Barat langsung menuduh Ba'asyir sebagai otaknya. Ba'asyir dikait-kaitkan punya hubungan para pelaku pengeboman.

Ba'asyir sendiri adalah figur yang menentang asas tunggal Pancasila. Selama era Orde Baru, dia menyingkir ke Malaysia dan tinggal di sana beberapa tahun, serta tidak melapor ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, sehingga masa berlaku paspornya habis. Alhasil, sewaktu masuk ke Indonesia, dia tak memiliki dokumen imigrasi yang sah. Karena itulah Pemerintah Indonesia menangkapnya dan kemudian mengadili secara terbuka dan transparan. Pengadilan akhirnya menghukum Ba'asyir sekitar tiga tahun kerena pelanggaran peraturan imigrasi.

Setelah menjalani hukuman dengan pemotongan remisi, pertengahan Mei ini Ba'asyir bebas. Pembebasan Ba'asyir menimbulkan reaksi keras dari media Barat termasuk Australia yang tetap meyakini Abu Bakar Ba'asyir sebagai otak pengeboman di Bali. Walau selama Ba'asyir diadili, tuduhan itu tak terbukti.

Kasus Ba'asyir ini mungkin akan menjadi salah satu topik pembicaraan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Australia John Howard pada tanggal 26 Juni. Pembicaraan ini akan menjadi ujian sampai di mana kita berdaulat dalam politik, yaitu membela keputusan pengadilan kita yang prosesnya terbuka dan transparan.

Maka, demi hubungan baik dan saling menghormati serta saling membutuhkan di antara kedua negara dan bangsa, Australia seharusnya menghentikan tuduhan itu. Kedua negara yang bertetangga, sudah semestinya memperluas dan meningkatkan hubungan baik dan kerja sama yang saling menguntungkan.

Kepada Austrlia perlu disampaikan bahwa bagi rakyat Indonesia harga diri dan martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat di atas segala-galanya. Harga diri itu melebihi bantuan ekonomi dan bantuan terhadap korban bencana tsunami dan gempa bumi yang diberikan Australia --yang sudah tentu juga dihargai oleh rakyat Indonesia.

Kepada pihak Australia, harus disampaikan juga betapa Indonesia tetap memandang rakyat dan bangsa Australia sebagai tetangga baik. Australia mesti diikutsertakan dalam percaturan politik dan kerja sama ekonomi regional, sebagaimana tecermin sikap Indonesia yang menempatkan Australia sebagai mitra dialog ASEAN. Bahkan, pada tahun lalu, Indonesia memperjuangkan Australia masuk dalam komunitas Asia Timur, walaupun secara geografis Australia tidak terletak di benua Asia.

Semoga Pertemuan antara kedua pemimpin berhasil dengan memperluas kerja sama yang telah ada dan saling menguntungkan. Juga meningkatkan saling pengertian dan penghormatan atas kedaulatan politik, hukum, dan budaya masing-masing.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home