| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, June 21, 2006,12:26 PM

Perpres No 65/2006, Apa yang Berubah?

Maria SW Sumardjono

Peraturan Presiden Perubahan atas Perpres No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Perpres No 65/2006) terbit 5 Juni 2006.

Sama dengan peraturan presiden (perpres) sebelumnya, Perpres No 65/2006 tidak disertai dengan Naskah Akademis sehingga tidak dapat diperoleh kejelasan tentang falsafah, orientasi, dan prinsip dasar yang melandasinya. Komentar dibuat dengan catatan, materi dalam perpres harus dimuat dalam undang-undang (Kompas 29/4/2005, 11/5/2005, dan 16/6/2005).

Potensial bermasalah

Perubahan yang berpotensi tidak menimbulkan masalah adalah penghapusan kata "pencabutan hak atas tanah" dalam Pasal 1 Angka 3, Pasal 2, dan Pasal 3 karena meluruskan kerancuan antara konsep penyerahan/pelepasan hak atas tanah dengan pencabutan hak atas tanah.

Perubahan lain, koreksi tugas Panitia Pengadaan Tanah (PPT) dalam Pasal 7 Huruf c, penambahan unsur BPN dalam susunan keanggotaan PPT (Pasal 6 Ayat (5)), penambahan tentang biaya PPT (Pasal 7A), dan penambahan Pasal 18A yang hanya bersifat menegaskan proses yang telah diatur dalam PP No 39/1973 jika masyarakat yang dicabut hak atas tanahnya tetap keberatan dengan ganti rugi yang ditetapkan dalam Keppres tentang Pencabutan Hak atas Tanah yang bersangkutan.

Perubahan bentuk ganti kerugian dalam Pasal 13 Huruf e selain tidak konsisten dengan Pasal 1 Angka 11, juga tidak berhasil menjabarkan bentuk ganti kerugian yang bersifat nonfisik.

Di luar itu, ada dua hal yang diubah, namun berpotensi menimbulkan masalah.

Pertama, pembatasan kepentingan umum dalam dua hal, pembangunan itu dilaksanakan pemerintah/pemda, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki pemerintah/pemda. Perpres terdahulu tidak memberi pembatasan sama sekali. Dibandingkan Keppres No 55/1993, perpres ini memperluas pembatasan kepentingan umum dengan memuat kata "atau akan" dimiliki oleh pemerintah/pemda, serta menghapus kata "tidak digunakan untuk mencari keuntungan".

Mudah ditebak, perpres ini utamanya dimaksudkan untuk menjadi landasan hukum kemitraan antara pemerintah dan swasta, khususnya dalam proyek- proyek pembangunan infrastruktur yang pendanaannya sulit dipenuhi pemerintah sendiri. Keikutsertaan swasta dapat berupa dana pengadaan tanah maupun pengusahaannya, misalnya melalui BOT atau KSO. Pemilikannya baru dapat dinikmati pemerintah setelah berakhirnya perjanjian kerja sama operasi, umumnya setelah 30 tahun.

Pengurangan pembangunan untuk kepentingan umum dari 21 menjadi 7 jenis menimbulkan pertanyaan, apakah yang menjadi dasar pengurangan itu? Bagaimana jika pemerintah/pemda akan membangun puskesmas/ rumah sakit umum, tempat pendidikan atau sekolah, lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan, kantor pemerintah/pemda, pasar umum/tradisional? Apakah pemerintah/pemda harus memperoleh tanah dengan cara jual beli? Perlu direnungkan, khususnya hak untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan adalah hak dasar yang dijamin UUD 1945 dan merupakan kewajiban pemerintah untuk memenuhinya.

Penitipan uang ganti rugi

Kedua, masalah penitipan uang ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri (PN) bila lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan, namun musyawarah tidak mencapai hasil setelah berlangsung 120 hari kalender (sebelumnya 90 hari) dalam Pasal 10. Perlu ditegaskan, penerapan lembaga penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan pada PN yang diatur dalam Pasal 1404 KUH Perdata keliru diterapkan dalam perpres ini.

Pengadaan tanah adalah perbuatan pemerintah/pemda yang termasuk dalam ranah hukum administrasi, sedangkan lembaga penawaran pembayaran dalam Pasal 1404 KUH Perdata mengatur hubungan hukum keperdataan di antara para pihak.

Selain keliru menerapkan konsep dan terkesan memaksakan kehendak sepihak, Pasal 10 ini tidak final. Sepanjang masyarakat tetap keberatan dengan ganti kerugian, meski ganti kerugian sudah dititipkan kepada PN, tetap terbuka kemungkinan proses pengusulan pencabutan hak atas tanah melalui Pasal 18 perpres ini, sesuai UU No 20/1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah yang merupakan pelaksanaan amanat Pasal 18 UUPA. Pencabutan hak baru dapat ditempuh jika semua upaya musyawarah gagal dan merupakan upaya terakhir yang dimungkinkan oleh hukum.

Mungkin dengan penetapan jangka waktu 120 hari diharapkan dapat dicegah berlarutnya proses musyawarah sekaligus menimbulkan tekanan psikis pada masyarakat yang enggan berhubungan dengan lembaga peradilan. Secara hukum, Pasal 10 perpres ini tidak relevan karena tanpa menitipkan ganti kerugian pada PN, sudah ada jalan keluar yang diatur dalam UU No 20/1961.

Pengadaan tanah yang adil

Keluhan pihak-pihak yang terkait dengan pengadaan tanah umumnya berkenaan dengan keberadaan calo tanah dan tingginya harga tanah yang diminta masyarakat. Keberadaan calo tanah dapat diminimalkan jika RT/RW transparan dan mudah diakses masyarakat serta prosesnya melibatkan masyarakat. Selama RT/RW tak transparan, akan jadi komoditas yang hanya dapat dimanfaatkan kalangan tertentu.

Di balik tuntutan ganti kerugian yang dinilai terlalu tinggi, seyogianya dipahami, masyarakat mengharapkan ganti kerugian yang adil, yang memungkinkan membangun kembali kehidupannya di tempat yang baru.

Merupakan tugas Tim Penilai Harga Tanah untuk memberi taksiran nilai ganti kerugian, berdasarkan NJOP atau harga nyata atau faktor lain, yang hasil akhirnya dapat dimanfaatkan masyarakat untuk memperoleh penggantian yang setara dengan hak atas tanah yang dilepaskan.

Jika proses pengadaan tanah bersih dari unsur KKN dan masyarakat dihargai haknya dengan memberikan ganti kerugian yang adil, hal itu akan berdampak terhadap kepastian hukum dalam perolehan tanah untuk kegiatan pembangunan.

Maria SW Sumardjono Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home