| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, June 07, 2006,12:22 PM

Psikologi Pemulihan

Ayo… Bangkitlah Jogjakarta!

Oleh Suwarsono Muhammad

Apa indikator terpenting keberhasilan pemulihan Jogja dan sekitarnya (JDS) pascagempa? Apakah keberhasilan ditentukan kapasitas pemerintah (P), masyarakat lokal (M), dan bantuan asing (A) dalam mengumpulkan serta mendistribusikan logistik -dari makanan sampai tenda- pada masa tanggap darurat?

Ataukah justru bergantung kepada kemampuan P-M-A tersebut dalam membangun kembali prasarana dasar termasuk rumah penduduk pada masa rekonstruksi dan rehabilitasi?

Apa yang baru saja disebut itu jelas merupakan salah satu indikator penting keberhasilan pemulihan pascagempa, tetapi hendaknya disadari bahwa keberhasilan tersebut haruslah dilihat baru sebagai setengah pemulihan (halfway recovery).

JDS baru benar-benar dapat dikatakan pulih jika masyarakatnya telah mampu memiliki motivasi yang kuat dan berkelanjutan untuk kembali membangun masa depan dengan kekuatan sendiri. Mereka harus memiliki rasa percaya diri yang cukup untuk membangun kembali masa kejayaan yang selama ini telah dimiliki.

Mereka bisa menghilangkan mental kalah dan putus asa serta siap bangkit dengan segala modal ekonomis dan sosial yang masih tersisa. Dengan demikian, persoalan tidak hanya teletak pada soal ekonomis, tetapi juga psikologi pemulihan.

Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa yang disebut terakhir itu lebih penting. JDS dapat dikatakan sehat kembali jika orang-orangnya telah sehat. Mereka harus dengan gagah berani mengatakan bahwa nasib dan masa depan mereka sepenuhnya berada dalam genggaman tangan mereka sendiri.

Bantuan harus dilihat sebagai unsur pelengkap, bukan sebagai determinan utama. Bantuan memang perlu, tetapi jika berlebihan dan berkepanjangan dapat melahirkan mental ketergantungan. Gejala tersebut mulai terlihat dengan adanya sikap manja dari sebagian korban gempa. Mereka terkesan mulai menikmati enak dan nyamannya menjadi korban.

Misalnya, itu terlihat pada keengganan pulang ke daerah asal bagi sebagian mereka yang telah sembuh dari luka ringan yang sebelumnya dirawat di rumah sakit (RS). Mereka merasa lebih nyaman tinggal di RS daripada harus kembali ke daerah asal tanpa tempat tinggal.

Isu Kekurangan Bantuan

Gejala kemanjaan juga dapat dilihat dari terus bergulirnya isu kekurangan bantuan. Sekecil apa pun, kini ada yang mulai menikmati zona kenikmatan baru. Jika dibiarkan, itu bisa menjadi pemicu lahirnya demoralisasi dan mental putus asa tanpa harapan. Sebesar apa pun, bantuan akan terus dinyatakan tidak cukup.

Lahirnya sikap mental baru dimulai dengan penciptaan kemampuan masyarakat untuk memiliki penyaring plastik yang menjadikan mereka mampu menyisakan energi, tidak tergerus habis oleh derita dan luka yang sedang dialami. Energi positif tak boleh sampai habis terbawa banjir derita.

Mereka pun harus segera memutar balik pertanyaan dengan tidak lagi mengatakan mengapa kami yang harus menderita, tetapi dengan mengatakan mengapa tidak kami dan mengapa harus orang lain.

Dengan demikian, mereka siap menerima sampai hal yang terburuk sekalipun. Selain itu, mereka perlu dengan segera memberikan pemaknaan (meaning) baru dari derita yang dialami (Dutton, 2003: 24-9), dengan melakukan internalisasi positif.

Ikhlas menerima derita dan justru menjadikannya sebagai variabel pendorong sekaligus momentum perbaikan. Alternatif pemaknaan dilakukan dengan mengaitkan adanya kemungkinan masa depan yang lebih baik.

Penetral Racun

Perubahan sikap dan perilaku pecundang menjadi bermental pemenang (juara) menjadi lebih mudah jika sejak mula dibantu oleh pemimpin formal dan informal yang ada di masyarakat. Para pemimpin tersebut diharapkan sejak mula mampu membangkitkan semangat untuk menggerakkan dinamika masyarakat, yang kini untuk sementara waktu terkesan benar-benar berhenti.

Selain itu, dan ini tidak kalah penting, ada sebagian pemimpin yang memerankan diri sebagai penetral racun. Mereka perlu secara suka rela bersedia membantu menanggung beban kesedihan, kepedihan, frustrasi, dan kemarahan yang diderita secara endemis oleh banyak orang (Frost dan Robinson, 2003: 85-9).

Peran tersebut tampak khas dan tidak sembarang orang dapat melakukannya. Bisa jadi, itu dilakukan sesuai dengan peran formal dan kedudukan sesorang, tetapi tidak jarang dilakukan secara informal. Pada mulanya hanya sebagai pekerjaan sampingan, tetapi dalam perjalanan hidup mereka, pekerjaan tersebut menjadi khas miliknya yang harus dipikul dan tidak dapat begitu saja dipindahkan kepada pundak orang lain.

Uniknya, mereka biasanya melakukan dengan senang hati dan bahkan bahagia menerima beban tambahan tersebut. Seakan-akan menjadi sebuah panggilan (calling).

Penetral racun tidak pernah sekalipun mengelak menjalankan perannya dengan, misalnya, mengatakan bahwa kini tidak lagi memiliki waktu dan energi untuk mengurangi beban terbakarnya emosi masyarakat.

Mereka sepertinya ditakdirkan untuk selalu siap dan tidak hendak kehabisan spirit dan energi membantu. Terkesan para penteral racun ini selalu surplus empati dan sangat toleran terhadap kemungkinan penderitaan psikologis yang mungkin diderita sendiri. Mereka memiliki daya tahan di atas rata-rata, seakan tidak pernah mengenal rasa lelah.

Dengan bantuan yang ikhlas yang diberikan penetral racun tersebut, masyarakat diharapkan kembali normal dan aktif dalam pekerjaan kesehariannya. Tak lagi hanya melihat lorong gelap tanpa ujung di masa depan.

Derita dan luka telah berhasil diserap oleh para pemimpin yang berperan sebagai penetral racun. Akibatnya, beban emosi yang ditanggung oleh masyarakat melunak dan berangsur-angsur menghilang.

Mereka kini tidak lagi tersakiti secara emosional dan pada akhirnya mereka kembali menjadi sehat dan kuat untuk tidak saja bertahan hidup, tetapi mulai bisa merenda dan memperjuangkan masa depan. Memang pada ujungnya tidak ada yang dapat menyehatkan masyarakat, kecuali masyarakat itu sendiri.

.Suwarsono Muhammad, dosen Fakultas Ekonomi-UII Jogjakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home