| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, June 07, 2006,12:20 PM

Bangsa Pemaaf atau Pelupa?

Agus Sudibyo

Media massa sering dituduh mengingkari fakta atau kebenaran. Namun, yang sering terjadi sebenarnya bukan proses pengingkaran, melainkan proses seleksi dan penajaman atas bagian tertentu dari fakta atau kebenaran.

Sebuah fakta yang sesungguhnya rumit disederhanakan dengan menonjolkan aspek tertentu. Suatu kebenaran yang berlapis-lapis hanya disoroti sebagian saja sehingga menegasikan lapis kebenaran yang lain.

Hal ini pula yang terjadi pada pemberitaan mantan Presiden Soeharto akhir-akhir ini. Fakta tentang Soeharto adalah fakta yang kompleks. Sulit dibantah bahwa Soeharto adalah aktor utama di balik serangkaian pelanggaran HAM berat Orde Baru. Soeharto juga sumbu utama lingkaran kolusi, nepotisme, dan korupsi Orde Baru yang daya rusaknya masih dirasakan bangsa Indonesia hingga kini. Soeharto adalah bapak bangsa sekaligus pemimpin yang menindas dan korup.

Kebenaran yang berlapis-lapis tentang Soeharto seharusnya ditampilkan apa adanya. Biarlah kemudian publik secara otonom menentukan Soeharto layak diberi maaf atau tidak. Apakah lalu ketika sang "bapak bangsa" sakit keras pada senja hidupnya semestinya proses-proses hukum atas dirinya dihentikan? Sahihkah premis mikul dhuwur mendhem jero yang menjadi frame dominan sebagian besar media massa kita belakangan ini?

Amnesia sejarah

Layak atau tidaknya "maaf untuk Soeharto" sebenarnya tidak cukup hanya disandarkan pada pernyataan Presiden RI, menteri, Ketua MPR, Ketua DPR, atau ulama MUI. Hal pertama kali yang harus didengarkan dalam hal ini adalah suara hati korban peristiwa G30S tahun 1965, Tanjung Priok, Lampung, Aceh, dan lain-lain.

Para tahanan politik Orde Baru yang dihukum secara tidak adil atau orang-orang yang dirugikan oleh mega korupsi atau praktik kapitalisme kroni keluarga Cendana. Apakah "maaf" itu adil bagi mereka? Wacana "maaf untuk Soeharto" mesti melibatkan perspektif korban. Para elite politik tak cukup representatif di sini karena hanya mendekati masalah dari perspektif rekonsiliasi tanpa mengindahkan aspek keadilan.

Alpa

Mengapa perspektif korban sepertinya alpa dari wacana "maaf untuk Soeharto"? Fenomena ini bisa jadi bukan sekadar fenomena pemberitaan media. Media hanya mencerminkan kondisi psikologis yang berkembang di masyarakat. Jika benar demikian, kuatnya wacana "maaf untuk Soeharto" sekali lagi menggambarkan sebagian sifat kita sebagai bangsa yang mudah memaafkan kesalahan orang.

Sifat yang baik, namun amat problematik. Sebab, perbedaan antara sifat pemaaf dan sifat pelupa atas pengalaman masa lalu tipis. Meski pahit, amat relevan bagi pencapaian masa depan yang lebih baik. Watak mudah iba, trenyuh, dan tidak tega itu jangan-jangan hanya manifestasi lain dari jiwa yang lemah, mudah goyah, dan malas bercermin pada sejarah masa lalu.

Sebagaimana telah ditinjau banyak sejarawan, bangsa kita mempunyai persoalan serius dengan ingatan kolektif atas masa lalu. Masa lalu tak pernah benar-benar diperiksa. Bahkan momen-momen khusus dalam sejarah yang sebenarnya penting sebagai titik pijak proyeksi ke depan justru ditutup dengan sesuatu yang lain. Pada banyak kasus, media massa, juga kalangan intelektual, kurang kritis terhadap gejala yang disebut amnesia sejarah ini.

Amnesia sejarah begitu menjalar dalam kehidupan politik Indonesia. Di tengah impitan krisis ekonomi yang seakan tak berujung, masyarakat kian tak mau tahu apa yang terjadi selama 32 tahun hidup di bawah rezim Orde Baru. Tak ada respons yang signifikan saat unsur-unsur militer dan politik yang dulu ikut menjadi bagian dari otoritarianisme Orde Baru kembali ke panggung kekuasaan. Tidak ada perlawanan berarti ketika proses hukum atas para pelanggar HAM berat dan koruptur kelas kakap dihentikan tanpa alasan yang jelas.

Amnesia sejarah seakan menemukan konteksnya ketika masyarakat kian kecewa terhadap supremasi sipil yang ternyata tidak berhasil mengentaskan bangsa ini dari krisis. Ketika gerakan reformasi stagnan serta ketika masyarakat semakin tak sabar menunggu hasil reformasi dan bosan dengan janji demokrasi, pelupaan akan sejarah menjadi lebih mudah dilakukan.

Tinggal membangkitkan ingatan-ingatan positif tentang Soeharto, militer, Orde Baru, dan Deppen sambil menenggelamkan ingatan-ingatan negatif tentang mereka sehingga tiba-tiba saja orang-orang merindukan Orde Baru, merindukan kepemimpinan Soeharto.

Krisis keteladanan

Mengutip Adorno, ingatan kolektif akan masa lalu justru merupakan sebuah imperatif kategoris. Bukan saja agar kesalahan masa lalu tidak terulang kembali, tetapi terutama karena ingatan kolektif merupakan jalan menuju pembebasan sejarah dan sarana emansipatoris. Persoalannya, jangankan mengingat masa lalu, mengingat komitmen dan janji yang belum lama disepakati pun kita lemah.

Pada awal kepemimpinannya, Presiden Yudhoyono tegas mendeklarasikan pemberantasan korupsi sebagai prioritas utama kabinetnya. Masyarakat terus menanti realisasi komitmen ini. Hal itu dapat diukur dari keseriusan melanjutkan proses hukum atas kasus korupsi orang-orang besar di negeri ini.

Memaafkan Soeharto memang penting untuk rekonsiliasi nasional dan rekonsiliasi nasional perlu mendapat prioritas. Namun, mana yang lebih prioritas antara rekonsiliasi nasional dan Soeharto atau pemberantasan korupsi Soeharto?

Pemberantasan korupsi membutuhkan keteladanan nasional. Jika proses hukum atas korupsi Soeharto dihentikan, siapa yang menjamin masyarakat tidak kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan kasus korupsi lainnya tidak akan berakhir dengan skenario yang sama.

Ketika dihadapkan pada problem bangsa yang rumit dan berat, pemerintah sepertinya mengalami disorientasi. Pemerintah gamang dalam memutuskan perkara mana layak didahulukan dan mana yang bisa ditunda.

Korupsi adalah problem utama bangsa Indonesia kini. Ternyata, perjuangan melawan korupsi tidak ubahnya perjuangan ingatan melawan pelupaan.

Agus Sudibyo
Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home