| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, June 21, 2006,12:26 PM

Myanmar dan 61 Tahun "The Lady"

Faustinus Andrea

Dukungan terhadap The Lady, julukan untuk Aung San Suu Kyi oleh warga Myanmar, yang kemarin merayakan ulang tahun ke-61, terus berkumandang di seluruh pelosok dunia. Para pendukung terus menggelorakan "pembebasan dan demokrasi" di negeri yang penuh intrik, culas, dan haus kekuasaan pihak junta militer.

Seraya memanjatkan doa bagi kesehatan Suu Kyi, 300 pendukungnya yang berkumpul di kantor Liga Nasional Demokratik (NLD) tak gentar menghadapi militer Myanmar.

Tekanan dunia internasional terhadap rezim junta militer di Myanmar pun terus menguat. Setidaknya, Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan terus meminta pemimpin junta militer Myanmar Than Shwe untuk membebaskan tokoh oposisi itu, yang hingga kini masih menjalani tahanan rumah. Sebelumnya, dua tokoh pemenang Nobel, mantan Presiden Ceko Vaclac Havel dan mantan Uskup Agung Desmond Tutu, menyampaikan hal serupa dan protes atas pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar.

Dalam laporan setebal 70 halaman, di depan Dewan Keamanan PBB pada tahun 2005, kedua tokoh itu, antara lain, menjelaskan, dibandingkan dengan Rwanda dan Afganistan, situasi politik dalam negeri di Myanmar justru kian memburuk.

Laporan kedua tokoh itu didukung sekelompok politikus yang tergabung dalam Kaukus Antar-Parlemen ASEAN untuk Myanmar (AIPMC). AIPMC mendesak pemerintahan negara-negara ASEAN untuk mengeluarkan Myanmar dari keanggotaan ASEAN. Bahkan AIPMC mengultimatum, dalam waktu 12 bulan ke depan, Pemerintah Myanmar harus melaksanakan reformasi demokrasi. Kampanye AIPMC untuk demokrasi Myanmar terus dilakukan ke dunia internasional dan lobi-lobi ke Uni Eropa dan PBB.

Junta militer defensif

Meski seruan masyarakat internasional terhadap tuntutan perubahan demokrasi di Myanmar dan pembebasan Suu Kyi terus bergema, kebijakan junta militer Myanmar tidak berubah. Hingga kini, kebijakan junta militer di bawah pimpinan Jenderal Than Shwe masih represif. Sementara Suu Kyi dan partai NLD tidak dilibatkan dalam program Konvensi Nasional yang diharapkan menjadi langkah menuju negara demokrasi.

Perkembangan yang tidak menunjukkan arah menuju kehidupan lebih demokratis dan terus berlangsungnya pengingkaran HAM, khususnya terhadap tokoh politik di negara itu, menjadikan isu Myanmar tidak pernah berhenti diangkat negara-negara Barat.

Namun, situasi ini justru membuat junta militer semakin defensif dan bertahan dalam keterisolasiannya selama lebih dari tiga dekade. Usaha-usaha untuk melakukan reformasi politik dalam negeri belum menunjukkan perkembangan berarti dan road map to democracy yang selama ini didengungkan masih menjadi slogan.

Meski junta militer Myanmar mengklaim proses demokrasi terus berlanjut, namun tanpa melibatkan NLD dalam penyusunan konstitusi, sama saja mengkhianati road map to democracy dan proses rekonsiliasi. Hingga kini pun Suu Kyi masih menjalani tahanan rumah, padahal 27 Mei 2006 seharusnya ia bebas.

Kebijakan junta militer Myanmar juga amat tidak kooperatif dalam menerima utusan dari luar. Tun Razali Ismail sebagai utusan PBB untuk Myanmar pada Januari 2006 akhirnya mengundurkan diri setelah ditolak masuk Myanmar. Padahal, Razali adalah katalisator penting bagi kontak bersejarah Pemerintah Myanmar dan Suu Kyi sejak Oktober 2000. Razali yang bertugas mengatasi kebuntuan politik di Myanmar sejak tahun 2000 akhirnya tidak memperpanjang kontraknya dengan PBB.

Usaha Ibrahim Gambari sebagai utusan PBB yang baru, meski sudah bertemu Suu Kyi, juga belum membuahkan hasil. Meski ASEAN berulang kali mendorong demokratisasi di negara itu dan usaha pembebasan Suu Kyi, prospek perkembangan politik di Myanmar hingga kini tidak menunjukkan situasi menggembirakan.

Pelibatan konstruktif ASEAN

Apa yang telah dilakukan ASEAN dengan merangkul Myanmar melalui pelibatan konstruktif (constructive engagement), yang diharapkan dapat mendorong perubahan dari dalam, juga belum membuahkan hasil. Keputusan junta militer Myanmar dengan mengumumkan tujuh tahapan menuju demokrasi yang merupakan pendekatan ASEAN belum membawa perubahan. Kunjungan kenegaraan ASEAN yang diwakili Menlu Malaysia Syed Hamid Albar ke Myanmar pada Maret 2006 disambut pemerintah setempat. Namun misi itu gagal karena Albar tidak diperbolehkan bertemu dengan Suu Kyi.

Jadwal kunjungan Hamid Albar ke Myanmar yang ditetapkan Januari 2006 dan baru terlaksana Maret 2006 menunjukkan sikap represif junta. Padahal, Albar sebagai utusan ASEAN telah mendapat persetujuan resmi dari Pemerintah Myanmar saat berlangsung KTT Ke-11 ASEAN di Malaysia, Desember 2005.

Misi Hamid Albar adalah untuk menyampaikan pandangan ASEAN tentang pentingnya percepatan proses rekonsiliasi nasional di Myanmar, peningkatan interaksi dengan ASEAN agar Myanmar sebagai anggota ASEAN dapat maju bersama masyarakat internasional.

Gagalnya misi Hamid Albar disampaikan ke ASEAN Ministerial Meeting di Bali pada April 2006. Disebutkan, junta militer Myanmar tetap menutup diri terhadap kunjungan Hamid Albar. Para menlu ASEAN kecewa dengan Myanmar, dan menganggap sikap junta amat membingungkan dan mengganggu semangat kebersamaan ASEAN. Meski demikian, pendekatan pelibatan secara konstruktif terhadap Myanmar, sebagai satu-satunya cara yang diharapkan dapat membawa pembaruan ke arah demokrasi, tetap akan dilakukan ASEAN.

Dalam kerangka itu, seharusnya upaya ASEAN untuk terus melakukan pendekatan terhadap Myanmar perlu diperluas. ASEAN harus lebih memperluas pendekatannya tidak hanya pada rezim militer yang berkuasa atau kelompok Suu Kyi, tetapi juga pada kelompok politik lain di Myanmar, termasuk kelompok etnis atau suku-suku besar, seperti etnis Shan (10 persen dari total populasi 50 juta jiwa) dan etnis Kayin atau Karen (7 persen).

Pendekatan kepada China dan India, dua tetangga Myanmar yang mempunyai hubungan baik dengan junta militer Myanmar, juga menjadi penting, yang diharapkan dapat membawa implikasi positif bagi pembebasan Suu Kyi. Kerangka ASEAN khususnya dan ASEAN+3 dapat digerakkan untuk mencari solusi positif bagi demokrasi di Myanmar.

Faustinus Andrea Peneliti Hubungan Internasional CSIS, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home