| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, June 27, 2006,1:33 PM

RUU PA dan Desentralisasi Kita

Endah Nurdiana
Advisor Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia

Syarif Hidayat
Peneliti Senior LIPI

Rancangan Undang-undang Pemerintahan Aceh (RUU PA) telah selesai dibahas di Panitia Kerja (Panja) DPR. Saat ini, RUU PA berada pada tahap perumusan sebelum diajukan ke rapat paripurna DPR untuk disetujui menjadi undang-undang (UU).

RUU PA ini menciptakan sejarah baru tentang model hubungan pusat dan daerah yang memberikan kewenangan luas bagi Aceh dalam bingkai NKRI. Terlepas bahwa RUU PA merupakan 'hadiah' bagi perdamaian Aceh lewat MoU Helsinki, konsepsi yang terbangun dapat menjadi contoh pengelolaan relasi kewenangan antara pusat-daerah secara lebih baik.

Gagal
Hubungan pusat dan daerah sejak Orde Lama sampai Orde Baru relatif gagal merumuskan pola relasi kekuasaan menjadi lebih baik. Ini membuat kecewa rakyat di daerah. Apalagi terjadi ketimpangan ekonomi mencolok antara Jawa dan Luar Jawa, sentralisasi politik, korupsi birokrasi, eksploitasi SDA, represi dan pelanggaran HAM, dan penyeragaman politik hingga budaya.

Sejak Indonesia berdiri, tercatat ada enam regulasi berupa UU yang mengatur relasi pusat-daerah dalam kerangka otonomi. Namun, secara substansial, konsepnya didominasi perspektif desentralisasi administratif. Konsep itu cenderung menekankan pada aspek efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan secara tidak langsung mengkondisikan ke arah kutub sentralisasi kekuasaan (monolitik).

Dalam sistem negara kesatuan seperti Indonesia (unitary state), relasi kekuasaan pusat-daerah harus diletakkan di atas prinsip pembagian kekuasaan atau kewenangan (sharing of power).Prinsip ini sebangun dengan pemahaman terhadap realitas keberagaman dan kekhususan daerah yang dijamin oleh konstitusi. Dengan prinsip itu, pemerintah pusat selain memiliki kewenangan pokok, juga memiliki kewenangan-kewenangan sektoral yang harus dikelola secara bersama-sama dengan pemerintah daerah melalui asas desentralisasi.

Desentralisasi seharusnya berorientasi pada devolusi kekuasaan (devolution of power) yang memiliki tekanan pada penyerahan kewenangan seluas mungkin kepada daerah. Sebab desentralisasi administratif (dekonsentrasi) sepertinya sudah tidak relevan di tengah proses transisi demokrasi. Konsep otonomi harus dapat mengakomodasi berbagai bentuk pilihan, antara lain otonomi terbatas, otonomi khusus, dan otonomi luas.

Dalam otonomi terbatas, karena kewenangan yang diserahkan sangat terbatas, hak yang dimiliki daerah dalam pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan akan sangat terbatas. Pada otonomi khusus, kewenangan diberikan sangat luas untuk mengelola sektor atau urusan tertentu saja. Sedangkan pada otonomi luas, kewenangan yang diberikan untuk mengelola sangat luas, dalam urusan atau sektor selain kewenangan pokok pemerintah pusat.

Konsepsi otonomi yang fleksibel mendapat tempat dalam konstitusi. Batasannya berpegang pada prinsip bahwa sebagai negara kesatuan (eenheidsstaat), tidak ada daerah dalam wilayah teritorialnya yang bersifat staat juga. Pemahaman atas keberagamaan dalam negara kesatuan (diversity of unitary state) adalah bentuk penghargaan terhadap perbedaan, bukan penyatuan atau penyamarataan.

Hubungan wewenang secara vertikal antara pemerintah pusat dan daerah, serta hubungan wewenang horisontal antara provinsi dengan kabupaten/kota, harus memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A Ayat 1 UUD 1945). Selain itu, konstitusi mengakui adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa, serta mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI (Pasal 18B).

Kewenangan luas
Jika mengamati substansi yang terkandung dalam RUU PA, Aceh memiliki kewenangan yang luas selain kewenangan pokok yang dimiliki oleh pusat. Dalam kewenangan perekonomian, Aceh berwenang mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber pendapatan daerah dari sektor pajak maupun non pajak yang berasal dari sumber daya alam (SDA). Antara lain minyak dan gas bumi. Di sektor politik, partai politik lokal dan calon independen diakui. Sedangkan pada sektor hukum dan budaya, Mahkamah Syar'iyah diakomodasi, serta pengakuan pada simbol representasi adat Aceh, Wali Nanggroe.

Dalam konteks yang lebih makro, model hubungan pusat dan daerah sudah seharusnya diwujudkan dalam sharing of power yang fleksibel dan proporsional. Sejalan dengan itu, Aceh dapat dijadikan semacam proyek percontohan bagaimana meletakkan kerangka hubungan pusat dan daerah dalam sistem otonomi sesuai dengan prinsip NKRI dan UUD 1945.

Model desentralisasi seperti RUU PA bermuara pada pemaknaan hubungan pusat dan daerah dalam format desentralisasi politik dengan tekanan orientasi pada devolution of power, yang memberikan kewenangan luas bagi Aceh. Oleh karen itu, RUU PA sepertinya dapat dijadikan proyek percontohan model desentralisasi di masa depan.

Namun ada beberapa catatan yang perlu diatur dalam RUU PA, agar otonomi luas bagi Aceh tidak mengaburkan eksistensi NKRI. Pertama, status Aceh dalam NKRI. Aceh harus ditegaskan sebagai daerah propinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum dalam NKRI. Kedua, prinsip relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Aceh harus dalam bentuk sharing of power bukan separation of power.

Ketiga, pengertian kewenangan luas yang dimiliki Pemda Aceh dalam mengelola sebagian besar urusan-urusan sektoral di luar kewenangan pokok yang telah ditetapkan di dalam UU menjadi milik pemerintah pusat. Keempat, menurut bentuknya, kewenangan luas yang dimiliki oleh Pemda Aceh tidak lain adalah sebagian besar kewenangan-kewenangan sektoral yang diserahkan oleh pemerintah pusat. Karena itu, kewenangan luas yang dimiliki tersebut bersifat terbuka dan sewaktu-waktu dapat ditinjau kembali, sesuai dengan dinamika perubahan kemampuan riil yang dimiliki oleh pemerintah daerah Aceh.

Kelima, sistem self governance bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya sarana atau alat untuk mewujudkan people govern rather than government govern, atau menegakkan kedaulatan rakyat. Keenam, prinsip dasar dari sistem self governance harus ditegakkan. Ketujuh, persyaratan pokok yang harus dipenuhi bagi self governance, yaitu tersedianya mekanisme checks and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan.

Carut-marut hubungan kewenangan antara pusat dan daerah meniscayakan perlunya desain kembali konsep desentralisasi di Indonesia. Bangsa ini memerlukan grand design model desentralisasi yang kompatibel dan akomodatif terhadap keragaman daerah-daerah di Indonesia.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home