| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, June 27, 2006,1:35 PM

Narkoba dan Anak-anak Kita

Fatmawati
Dosen Politeknik Kesehatan NAD

Di tengah situasi Tanah Air yang dilanda bencana, lambatnya pemulihan ekonomi, perseteruan antarelite politik, pengangguran, kriminalitas dan kekerasan massa yang terus meningkat, ada bahaya lain yang diam-diam mengancam. Dia adalah narkoba. Keseriusan kita dalam menangani narkoba mestinya tak kalah dengan penyikapan terhadap berbagai persoalan di atas.

Kemarin, 26 Juni, kita diingatkan kembali akan bahaya narkoba. Pada Hari Anti Narkoba Internasional tahun ini, tema yang diangkat adalah Children and Drugs, Drugs are not Child's Play. Diusungnya tema ini sungguh relevan, lantaran banyak fenomena di lapangan yang menjadikan anak-anak --yang notabene berada pada usia yang belum matang-- sebagai sasaran empuk bandar maupun pengedar narkoba dengan berbagai modus operandinya.

Hasil penelitian Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan 92 persen anak di bawah usia 18 tahun di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat pernah mengonsumsi narkoba. Bahkan mereka juga menjadi pengedar. Alasan mayoritas anak-anak tersebut adalah karena keingintahuan (72 persen), tekanan teman sebaya (67 persen), dan sekadar mendapatkan teman (66,1 persen).

Keterlibatan sebagai pengedar umumnya dilakukan saat anak tersebut berusia 15 tahun dengan alasan untuk mendapatkan penghasilan tambahan Rp 40 ribu sampai Rp 200 ribu per bulan. Nilai rupiah inilah rupanya yang membuat sebagian besar anak-anak tersebut tergiur. Kondisi keterbatasan ekonomi orang tua telah mengantarkan mereka menjadi pengedar, kurir, atau mata-mata, meski kecil-kecilan. Karena putus sekolah, mereka tak ada kegiatan dan kemudian nongkrong, kemudian coba-coba jadi pengguna dan pengedar.

ILO juga mengeluarkan survei terbarunya mengenai angka pengangguran pada anak yang putus sekolah. Survei menemukan tingkat pengangguran sangat besar di antara mereka yang putus sekolah. Pada kelompok usia 15-17 tahun, angka pengangguran sebesar 71 persen.

Merugikan
Maraknya peredaran narkoba di Indonesia merugikan keuangan negara. Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerja sama dengan Puslit Kesehatan UI pada tahun 2004 meneliti biaya ekonomi dan sosial akibat penyalahgunaan narkoba di 10 kota besar Indonesia. Hasilnya, diperkirakan besaran biaya ekonomi, khususnya konsumsi narkoba di Indonesia dalam tahun 2004 sekitar Rp 23,6 triliun.

Diperkirakan rata-rata biaya satuan orang di kalangan yang mencoba memakai sebesar Rp 68 ribu, yang teratur memakai Rp 1,5 juta, dan pecandu Rp 7,8 juta. Bila angka itu dikalikan dengan seluruh penyalahguna narkoba, maka diperkirakan minimal uang yang beredar di bisnis narkoba mencapai Rp 12 triliun per tahun.

Belum lagi ongkos sosial yang harus dibayar dengan semakin banyaknya generasi muda yang tewas akibat narkoba. Data BNN menyebutkan lebih 15 ribu orang usia muda tewas akibat narkoba. Narkoba tak hanya salah satu zat pembunuh terbesar, tetapi juga pembunuh calon penerus bangsa. Mereka yang mengonsumsi narkoba tak hanya terancam mati secara pelan-pelan namun juga merusak masa depan yang bersangkutan.

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba turut diperberat oleh penularan HIV/AIDS dan penyakit lainnya yang mematikan. Sehingga keduanya menjadi ancaman ganda yang cukup serius. Kalau itu yang terjadi, kepada siapa penerus bangsa ini diserahkan? Artinya, siapa yang bakal memimpin bangsa ini setelah yang tua-tua mundur atau pensiun.

Penegakan hukum
Salah satu faktor maraknya penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika yang setiap tahun meningkat sebanyak 110,9 persen itu adalah karena proses penegakan hukum yang masih 'tebang pilih'. Selama ini, sejumlah peraturan dan perundang-undangan yang diterbitkan pemerintah belum mampu menumbuhkan efek jera kepada para pelaku, karena UU tersebut masih banyak celah dan kekurangan.

Belum lagi tidak tegasnya aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Malah ada petugas yang memanfaatkan hal ini untuk mencari keuntungan pribadi. RUU tentang Narkotika yang sekarang sedang dibahas di DPR juga belum dapat mengatasi masalah hukum tentang pengawasan dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang yang kian memprihatinkan. Sekadar contoh, penanganan eksekusi mati pada sejumlah terpidana kasus tindak pidana narkoba serta tidak adanya sanksi hukum bagi pelaku perdagangan gelap zat dan bahan kimia lain yang digunakan untuk pembuatan narkotika, merupakan bukti lemahnya hukum terhadap kasus narkotika.

Yang perlu diperhatikan pada revisi UU No 22/1997 adalah mengenai pengelolaan pengawasan narkotika yang semula diserahkan kepada menteri kesehatan, akan menjadi wewenang kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dan peran dokter. Pada konsep revisi itu juga diatur perlunya resep dokter bagi para pengguna narkotika sebagai bukti bahwa narkotika tersebut dimiliki atau disimpan untuk digunakan secara sah. Karena jumlah dokter tidak sebanding dengan pengguna narkotika, sangat tidak mungkin UU itu bisa berlaku optimal.

Jangankan di Indonesia, di negara yang sistem dan penegakan hukumnya paling bagus sekalipun, kasus-kasus narkoba selalu ada, bahkan cenderung terus meningkat. Perdagangan narkoba adalah perdagangan global yang sangat lihai mengintip dan menggunakan kelemahan sistem hukum negara-negara yang menjadi lintasan produksi, distribusi, dan konsumsinya.

Kenyataan tentu lebih memprihatinkan lagi di negara-negara berkembang yang umumnya sistem dan penegakan hukumnya lemah, terlebih di negara-negara yang tingkat korupsinya besar. Korupsi akan makin menyuburkan perdagangan dan peredaran narkoba. UNDCP menegaskan, perdagangan narkoba perlu korupsi agar tumbuh, dan sarana kuat untuk menyuap masyarakat apa pun adalah uang.

Batas keuntungan yang besar sekali yang berasal dari perdagangan narkoba adalah tanpa preseden dalam sejarah. Kita pun bisa membayangkan betapa menariknya Indonesia --negara yang sistem dan penegakan hukumnya sangat lemah dengan tingkat korupsi yang luar biasa-- untuk dijadikan lintasan utama perdagangan global narkoba. Penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa adalah pasar yang empuk.

Kondisi ini harus disadari betul oleh semua pihak --terutama pemerintah-- untuk terus menerus mengevaluasi diri terhadap langkah-langkah dalam membentengi anak-anak bangsa dari serbuan narkoba. Semoga bertepatan dengan Hari Anti Narkoba Sedunia tahun ini, slogan ''Narkoba Bukanlah Permainan Anak'' akan menjadi amunisi ampuh bagi berbagai upaya melindungi anak dari berbagai intaian dan terkaman barang haram tersebut.

Ikhtisar:

- Hasil penelitian ILO menunjukkan 92 persen anak di bawah usia 18 tahun di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat pernah mengonsumsi narkoba, bahkan menjadi pengedar.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home