| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, June 30, 2006,8:43 PM

Membangun Dialog, Mengakhiri Hegemoni

Yusuf Burhanudin
Ketua Umum Perwakilan Persis Mesir

''Penekanan atas kepentingan adalah kepentingan itu sendiri.'' (Jurgen Habermas).

Gagasan Ketua Umum Organisasi Konferensi Islam (OKI), Abdullah Ahmad Badawi, dalam tulisan bertajuk ''Benturan Peradaban Bukan Takdir'' (Republika, 21/06), pada prinsipnya hendak mencari jalan keluar dari benturan peradaban mahabesar dunia. Benturan, tulis Badawi, bukanlah takdir melainkan karena ulah tangan manusia.

Terdapat tiga gagasan penting yang dikemukakan Badawi dalam tulisannya. Pertama, menyadari benturan dan konflik peradaban bukan karena perbedaan agama dan budaya. Benturan peradaban bukanlah takdir, sesuatu yang tak terelakkan dan tak bisa dibalikkan. Benturan peradaban harus diperbaiki dan direkayasa.

Kedua, meyakini dalam kedua peradaban selalu ada orang-orang yang sungguh-sungguh dan berkeinginan baik, menjadi fasilitator dan komunikator guna membangun 'jembatan' antarbudaya dan agama. Ketiga, gagasan Islam Hadhari yang berhasil menjadi pilar 'serasi' demokrasi dan modernisasi Islam di Malaysia.

Paradoks
Dialog peradaban merupakan salah satu agenda global yang penting dalam menggapai tujuan luhur menegakkan prinsip-prinsip kemanusiaan, kebersamaan, kebebasan dari ketertindasan, dan memancangkan prinsip-prinsip keadilan global. Pada saat yang sama, juga mengingkari propaganda kebencian, permusuhan, dan ketercekaman global --melalui hegemoni politik dan militer-- yang selama ini dipraktikkan negara-negara super power. Abdullah Zainal Alireza, menteri negara Arab Saudi, dalam Forum Ekonomi Arab-AS, mengatakan salah satu sumber ketidakpercayaan kepada AS, di antaranya, pujian AS pada pemilu di Irak, namun menolak mengakui pemerintahan Hamas yang terpilih secara demokratis. Dengan retoris, Alireza menyindir apa sebetulnya yang dinginkan AS, pemerintahan kuat yang terpilih secara demokratis atau pemerintahan dengan dukungan rapuh (Republika, 27/6).

Banyak contoh lain paradoks demokrasi AS dan sekutu-sekutunya. Kampanye pemberantasan terorisme, misalnya, alih-alih memberangus aksi-aksi terorisme, yang terjadi justru fenomena state-terrorism secara kasat mata. Kampanye pemberantasan terorisme juga disalahgunakan secara tidak tepat sasaran dengan menuding gerakan dan doktrin Islam sebagai 'biang' teror.

Tanpa mengesampingkan aksi-aksi teror selama ini, Barat tetap sulit mengingkari kesan politis agenda pemberantasan terorisme. Mereka selalu menampakkan wajah ganda. Pemberantasan terorisme menjadi 'saru'. Sulit membedakan mana terorisme mana imperialisme, mana dialog atau hegemoni. Monopoli makna dan image, sejak awal akan membuka peluang besar bagi penistaan kemanusiaan, demokrasi, dan dialog itu sendiri. Barat sejak awal telah mengingkari prinsip kesejajaran dialog dengan memaklumkan hegemoni tafsir, bahkan hingga mencampuri pemahaman doktrin agama lain (baca: Islam). Menurut asumsi mereka, ajaran Islam banyak keliru secara doktrinal dan/atau tidak sesuai semangat peradaban modern. Mereka yang termasuk gerakan radikal, yang selama ini menggencarkan teror, bukan semata-mata perlawanan politik pada kebijakan AS dan sekutunya, melainkan dorongan murni doktrin agama (Herbert Spencer: 2003).

Adalah pilihan tepat bagi Barat untuk tidak turut mencampuri atau mengajarkan umat Islam bagaimana memahami doktrin agamanya. Umat Islam pun selama ini tidak pernah mencampuri atau mendikte agama lain untuk memahami agama mereka. Umat beragama manapun, tidak akan menerima hegemoni dan didikte umat lain --apalagi terkait doktrin agamanya. Penindasan dan ketidakadilan global, menurut hemat penulis, bukan melulu soal Islam radikal dan moderat, atau Islam dan non-Islam, melainkan karena tirani peradaban dan pengkhianatan prinsip-prinsip kemanusiaan. Tidak sedikit kini orang yang tidak takut disebut teroris, bahkan tak jarang merasa bangga, karena bermakna perlawanan pada tirani peradaban. Melawan tirani dan ketidakadilan bukanlah terorisme atau radikalisme, tapi demi menegakkan keadilan itu sendiri. Dalam perspektif ini, teroris adalah pahlawan.

Harapan
Persoalan dialog peradaban, sebetulnya terletak pada kesungguhan dan ketulusan AS dan sekutunya menegakkan peradaban kemanusiaan yang berpijak pada nilai-nilai keadilan universal, diplomasi global, dan mau menghormati prinsip-prinsip persamaan dan kesejajaran. Kritik peradaban tidak perlu dipahami kerisauan negara berkembang atau semata sentimen agama dan ideologi. Jika peradaban Islam menyediakan tempat untuk kritik, maka Barat pun harus berlapang dada atas kritik peradaban. Jika tidak, ajakan dialog akan menjadi samar, paradoks, dan untrustable. Arus ketidakpercayaan akan semakin mengkristal, mewujud menjadi perlawanan mapan dari kaum tertindas.

Sunnatullah peradaban, setiap penindasan dan hegemoni selalu melahirkan 'komplotan mapan' perlawanan dan pemberontakan. Inilah yang disebut Hassan Hanafi (2006) dengan tradisi perlawanan (tsaqafah al muqawamah). Alquran bahkan mendeklarasikan setiap peradaban hegemonik itu ada ajalnya. Kelaliman dan kesewenang-wenangan selalu berakhir dengan kehancuran. Allah SWT berfirman,''Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; apabila waktunya telah tiba mereka tidak dapat mengundurkan barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya,'' (QS Al A'raaf (7): 34).

Sebagai pemegang kebijakan global, sudah selayaknya Barat memancarkan politik rahmatan lil 'alamin sekaligus mampu menjadi 'wasit dunia' yang menghakimi setiap persoalan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan. Perlu mengakhiri politik hegemoni melalui pelbagai kekuatan alternatif pengimbang dengan menghidupkan upaya lobi, diplomasi, dan komunikasi terbuka, serta pada saat yang sama harus menghindari pendekatan militer.

Dialog antarperadaban akan terwujud jika kedua belah pihak menjunjung tinggi rasa saling percaya dan penghormatan. Inilah yang harus menjadi konsensus etis bersama guna mengatasi berbagai problematika mutakhir. Melanggengkan hegemoni, sama dengan menggelar parade dendam kesumat antarperadaban, sehingga benturan benar-benar menjadi kenyataan tak terelakkan; demonisasi dibalas demonisasi, kecurigaan dibalas sentimen, demikian seterusnya. Sejatinya, dialog antarperadaban muncul guna mengentaskan ragam krisis kemanusiaan yang mengancam ketenteraman dan kerukunan hidup seluruh umat manusia.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home