| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, June 29, 2006,2:44 PM

Kepemimpinan di Republik Bencana

Herry Tjahjono

Salah satu konsep kepemimpinan tradisional yang sederhana menyebutkan, kepemimpinan adalah "seni bersikap dalam memutuskan".

Sikap itu mengandung tiga komponen; cipta, rasa, dan karsa. Implikasinya, pedoman sukses kepemimpinan cuma ada tiga; 1) memutuskan (dari aspek cipta), 2) memutuskan (dari aspek rasa), dan 3) memutuskan (dari aspek karsa).

Bencana

Isu soal kepemimpinan (nasional) kembali disinggung, kaitannya dengan berbagai "bencana nasional" yang melanda negeri ini. Singkatnya, ada dua jenis bencana; 1) bencana alam, 2) bencana "non-alam", mulai dari kemiskinan, pengangguran, penggusuran, korupsi, ketidakadilan, konflik dan kekerasan, anarkisme kelompok, dan seterusnya.

Jenis bencana pertama (alam), ada di luar kontrol kita (uncontrollable). Tetapi bencana jenis kedua, secara manusiawi ada dalam kendali kita (controllable). Dan, jangan lupa, mulai dari kemiskinan, penggusuran, dan seterusnya, sudah layak disebut bencana (non-alam). Mengapa? Karena di era kepemimpinan sekarang, secara psikologis masih pada tahap pemenuhan basic needs (sandang, pangan, papan) belakangan mulai keseleo lidah dan obsesif mengatakan, "Ternyata masih enak di zaman Soeharto, setidaknya; sandang-pangan-papan tidak sampai telantar seperti ini", sebuah regresi emosional.

Dinamika uraian itulah yang sekali lagi, membuat isu "kepemimpinan (nasional)" layak dibicarakan lagi. Pemilihan seorang pemimpin tentu disertai segunung harapan dan diharapkan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kenyataannya?

Jadi, "sikap" (cipta-rasa-karsa) dalam mengambil keputusan menjadi substansi wacana kepemimpinan. Artinya, selama seorang pemimpin mampu mengambil sikap tepat saat akan mengambil keputusan pemerintahannya, maka kepemimpinannya akan efisien dan efektif.

Pertama, pedoman memutuskan secara "cipta"! Ini terkait aspek kognitif, berbau rasional. Bicara soal proses pengambilan keputusan (decision making process), maka aspek "prioritas" adalah penting. Jika untuk memilih skala prioritas saja tidak mampu, sikap yang diambil saat memutuskan akan tidak tepat. Misalnya, ketika proses pembentukan kabinet, baik di awal pemerintahan maupun saat reshuffle—skala prioritas yang diambil sudah melenceng. Hanya ada dua prioritas, politik dan profesionalisme.

Kedua, pedoman memutuskan secara "rasa" ! Pedoman ini terkait aspek afeksi, yang dalam konteks ini bermuara pada "suara hati". Rasa kepemimpinan yang dipandu (suara) hati. Kedewasaan dan otonomi "rasa kepemimpinan" seorang pemimpin amat dipengaruhi suara hati. Ketika tahapan ini tercapai, seorang pemimpin akan menjadi character leader, mampu memilih dan memutuskan hal-hal esensial secara bebas dan otonom sesuai suara hatinya tanpa terpengaruh unsur eksternal yang sensasional. Maka, lawan pemimpin berkarakter adalah pemimpin populis. Pemimpin berkarakter suka yang esensial, pemimpin populis lebih ke hal-hal sensasional.

Ketiga, pedoman memutuskan secara "karsa"! Pedoman terakhir ini bermuara pada kehendak seorang pemimpin. Karena pedoman mengambil keputusan yang pertama dan kedua kurang terpenuhi secara baik, maka pedoman karsa sering "jalan di tempat" dan ujungnya jadi serba terlambat dan salah arah. Contoh nyata adalah soal ormas-ormas anarkis. Keraguan dan kelambanan mengakibatkan prinsip "padamkan api sebelum membesar" tak dijalani. Kini "api" sudah membesar susah dipadamkan. Kini, bahkan "wacana" untuk membubarkannya pun sudah menjadi api besar (polemik tak karuan juntrungnya).

Faktor kepemimpinan

Tentu ada banyak contoh lain terkait seni bersikap dalam memutuskan pada pemimpin kita. Yang perlu dipahami, harapan rakyat masih digantungkan di pundak mereka. Dan, di hari-hari ini, kita telah hidup di sebuah "republik bencana".

Bencana alam kita hadapi dengan doa, pertobatan, dan kewaspadaan. Tetapi bencana non-alam, kita bisa mengendalikannya, melalui kepemimpinan yang dilandasi cipta, rasa, dan karsa yang tepat. Kepemimpinan di republik bencana memang bukan segalanya, tapi tanpa hal itu, segalanya juga bukan apa-apa.

Herry Tjahjono
Corporate HR Director & Corporate Culture Therapist, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home