| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, June 07, 2006,12:08 PM

Solusi Konkret Konflik Cemex

A Tony Prasetiantono

Niat Cemex Meksiko— produsen semen terbesar ketiga di dunia setelah Lafarge, Perancis; dan Holcim, Swiss—untuk melepas hampir seluruh sahamnya di Semen Gresik (24,9 persen dari 25,53 persen), berbuah konflik.

Kini, saham itu diperebutkan dua calon pembeli, Grup Rajawali (Peter Sondakh) dan pemerintah yang menggandeng afiliasinya (Pemda Sumbar dan BUMN).

Semula Cemex hendak menjualnya kepada Pemerintah Indonesia. Namun, karena tidak ada dana, keputusan untuk membeli tidak segera diambil. Pemerintah perlu berkonsolidasi dengan menggalang dukungan pemda (Sumbar dan Jatim) serta sejumlah BUMN. Memang, upaya menghimpun dana 337 juta dollar AS tidak gampang. Karena tenggat dilampaui, Cemex mengalihkan kesepakatan penjualan kepada Grup Rajawali.

Namun, pemerintah masih ngotot untuk membeli saham itu (Kompas, 2/6/2006). Sementara itu, Grup Rajawali juga terus makin serius untuk mengakuisisi saham itu (Jawa Pos, 2/6/2006).

Konflik divestasi Cemex ini menguatkan kesimpulan disertasi saya (2005), privatisasi BUMN dengan metode private placement kepada investor strategis, terbukti rawan konflik. Kasus lain, hasrat pemerintah untuk membeli kembali (buy back) sahamnya di Indosat yang kini mayoritas dikuasai STT (Singapore Technologies Telemedia), ditolak STT, adalah contoh lain tentang kompleksitas privatisasi dengan metode ini. Solusi optimal apa yang bisa dicapai?

Cemex butuh dana

Rencana divestasi Cemex ini sempat menimbulkan tanda tanya. Sejumlah produsen semen kelas dunia sedang gencar berinvestasi di Indonesia. Mereka memanfaatkan krisis ekonomi 1997-1998, yang menyebabkan produsen semen swasta kesulitan membayar kembali utang-utang luar negerinya. Para pemain dunia itu adalah Heidelberger (Jerman), Holcim, dan Cementia Holding (Swiss). Satu lagi investor asing adalah International Financial Corporation (IFC), anak perusahaan Bank Dunia yang ditugaskan untuk berinvestasi di bidang infrastruktur di negara-negara berkembang.

Salah satu spekulasi logis divestasi Cemex adalah secara elegan mereka ingin mengakhiri konflik dengan Pemerintah Indonesia yang didukung masyarakat Sumbar ("Akhir Elegan Sengketa Cemex", Kompas 29/3/2006).

Tampaknya spekulasi saya salah. Jika Cemex ingin mencari solusi elegan, mestinya mereka tetap memberi kesempatan pemerintah atau afiliasinya untuk membeli. Namun, mengapa kini Cemex justru ngotot untuk menjualnya kepada Grup Rajawali?

Diduga, Cemex tidak yakin pemerintah bisa menghimpun dana dalam waktu singkat. Selain itu, tampaknya ada krisis kepercayaan terhadap manajemen birokrasi Pemerintah Indonesia yang cenderung lamban dan suka mengulur waktu (kurang decisive). Padahal, sebagai pemain kelas dunia, Cemex juga mencatatkan sahamnya di bursa New York. Cemex "tidak punya waktu" untuk meladeni birokrasi yang suka mengambangkan keputusan-keputusan strategis seperti ini.

Mengapa Cemex tergesa-gesa? Studi kasus tentang Cemex yang ditulis David Bensako, David Dranove, Mark Shanley, dan Scott Schaefer dari Northwestern University dan Purdue University bisa menjadi referensi untuk mencari jawabannya.

Dalam Economics of Strategy (John Wiley & Sons, New York, 2003), Bensako dan kawan-kawan memuji Cemex sebagai perusahaan dunia yang mampu menekan ongkos sebagai keunggulannya (cost advantage), didukung penggunaan teknologi informasi secara inovatif. Hasilnya, Cemex menjadi pemimpin pasar di Meksiko, Mesir, Spanyol, Filipina, dan sejumlah negara lain di Amerika Latin. Pabriknya di Tepeaca—terbesar di benua Amerika—biaya produksinya 28 persen lebih rendah dari rata-rata industri pada 1990-an (The Economist, 14 Juni 2001).

Namun, tambah Bensako, Cemex sedang dirundung utang, akibat agresivitasnya mengakuisisi saham-saham perusahaan semen di berbagai belahan dunia (termasuk Indonesia). Karena itu, di mata Bensako, Cemex ada pada posisi unik. Di satu pihak unggul terhadap pesaingnya karena memiliki skala produksi besar dan ekonomis (economies of scale), serta struktur biaya lebih rendah. Di sisi lain, utang Cemex amat besar. Keadaan ini diduga juga dialami Cemex Indonesia. Argumen ini bisa jadi merupakan pendorong divestasi Cemex atas sahamnya di Semen Gresik.

Solusi konkret

Dengan memahami latar belakang itu, solusi optimal bisa diperoleh. Tiga aktor utama konflik ini (Cemex, Pemerintah Indonesia, dan Grup Rajawali) perlu saling terbuka terhadap posisinya. Ibaratnya, masing-masing sedang memainkan peranannya, sebagaimana konfigurasi para aktor dalam game theory, yang ada pada ilmu ekonomi.

Pertama, Cemex sebenarnya masih ingin berinvestasi di Indonesia. Buktinya, tidak semua sahamnya di Semen Gresik akan dijual. Mereka masih menyisakan 0,63 persen. Ini mengindikasikan, mereka akan kembali jika kondisi keuangan memungkinkan. Kini prioritas Cemex terkonsentrasi membayar utang-utangnya dulu, ketimbang melakukan akuisisi lanjutan di berbagai negara.

Karena kelak mereka ingin tetap menjadi salah satu pemain yang signifikan di Indonesia, mestinya mereka perlu menjaga hubungan baik dengan Pemerintah Indonesia. Bertikai terus dengan Pemerintah Indonesia, tidak akan memberi manfaat bagi masa depan mereka di sini.

Kedua, Pemerintah Indonesia harus bisa decisive, atau segera mengambil keputusan strategis, mau membeli saham Semen Gresik atau tidak? Keputusan bisnis tidak bisa berlama-lama. Time is money. Jika ya, bagaimana skema pendanaannya? Tetapi kalau sulit, mengapa harus dipaksakan? Masih lebih banyak hal lain yang harus diurus pemerintah (dan afiliasinya), yang juga menuntut konsentrasi dan dana, di antaranya dampak gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Kalau soal ketakutan soal kartel semen, bukankah sekarang pemerintah masih menguasai 51 persen saham, dan Semen Gresik masih berposisi sebagai market leader? Andai kelas dana memang tersedia, pemerintah dan afiliasinya bisa membelinya dari bursa. Dulu Cemex juga membeli 11 persen saham dari bursa untuk menambah pembelian 14 persen dari pemerintah pada tahun 1998.

Ketiga, saya menangkap kesan kuat, Grup Rajawali sebenarnya cukup akomodatif terhadap pemerintah. Tampak jelas bahwa mereka tidak mau berbenturan frontal dengan pemerintah karena pasti kontraproduktif.

Berdasar posisi masing-masing aktor, diyakini skema konsorsium Grup Rajawali yang beranggotakan afiliasi pemerintah (pemda dan BUMN) merupakan proposal yang paling masuk akal. Semua aspirasi dapat terakomodasi dan Cemex pun akan bisa segera menerima 337 juta dollar AS untuk membereskan utang-utangnya.

Bukankah ini skema win-win solution?

A Tony Prasetiantono
Dosen Fakultas Ekonomi UGM; Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) UGM, Yogyakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home