| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, June 26, 2006,12:08 PM

Politisi Hendaknya Menjadi Negarawan

Jakarta, Kompas - Politisi diharapkan bisa menjadi negarawan. Berbeda dengan seorang politisi yang hanya memikirkan jangka pendek, seorang negarawan justru memikirkan panjang ke depan.

Pandangan itu disampaikan Dr M Syafi’i Anwar, Direktur Eksekutif International Center for Islam and Pluralism (ICIP), dalam diskusi bertajuk "Mengembangkan dan Memperkuat Pranata Demokrasi" yang diselenggarakan Yayasan Paramadina, Sabtu (24/6). Dalam diskusi juga hadir mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Akbar Tandjung dan Rektor Universitas Paramadina Yudi Latif.

"Politisi itu hanya bicara the next position, sedangkan seorang negarawan bicara the next generation," ujar Syafi’i yang dalam diskusi banyak mengungkapkan pemikiran-pemikiran almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur), yang tertuang dalam buku Indonesia Kita.

Syafi’i merasa prihatin dengan fenomena dewasa ini, di mana banyak muncul peraturan yang dikeluarkan yang tidak lagi mencerminkan semangat menghargai kemajemukan.

Menurut Syafi’i, Nurcholish memiliki pandangan teologi inklusif. Ia telah mengintegrasikan Islam dengan keindonesiaan dan kemodernan. "Pancasila pun dijadikan sebagai platform bersama karena menyadari benar bahwa Indonesia sangat majemuk, yaitu terdiri dari 17.000 pulau dan sekitar 400 suku," katanya.

Akbar dalam kesempatan itu juga menegaskan, dirinya termasuk orang yang mengagumi pemikiran Nurcholish. Pemikiran Nurcholish itu pula yang mendorong dirinya, setelah memimpin Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam tahun 1973, terjun ke politik dan memilih Golkar sebagai alat perjuangan.

Menurut Akbar, salah satu substansi mendasar dari demokrasi adalah menjunjung tinggi toleransi dalam masyarakat yang majemuk. "Saya juga mencemaskan Golkar, jangan-jangan Partai Golkar kini semakin jauh," ucapnya.

Menurut Akbar yang mantan Ketua Umum Partai Golkar itu, prinsip-prinsip Golkar adalah memegang teguh ideologi negara, menghormati kemajemukan, mendukung kehidupan demokrasi, dan menciptakan kesejahteraan rakyat.

Dalam menyejahterakan rakyat, Partai Golkar bukan berdasarkan pada pendekatan etnis atau agama, melainkan pada fungsi-fungsi dan pencapaian karier, seperti pekerja, nelayan, petani, dan guru. "Demokrasi meski ditentukan oleh suara mayoritas, bukan berarti demokrasi tidak menghormati suara minoritas," katanya.

Yudi Latif mengingatkan bahwa musuh terbesar demokrasi adalah kekerasan. Dia berpandangan bahwa berbagai perbedaan pandangan harus diselesaikan dengan dialog. (sut)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home