| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, June 26, 2006,12:04 PM

Pertemuan SBY-John Howard

Ikrar Nusa Bhakti

Senin (26/6/2006) ini, Perdana Menteri Australia John Howard mengunjungi Indonesia untuk memperbaiki hubungan bilateral Australia-RI.

Hubungan kedua negara memburuk sejak Australia memberikan visa tinggal sementara kepada 42 pencari suaka politik asal Papua Maret 2006 lalu.

Pertemuan Howard dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berlangsung di Batam, dan diharapkan mampu menurunkan ketegangan hubungan.

Jika fokus agenda pertemuan adalah soal suaka bagi 42 orang Papua dan Abu Bakar Ba’asyir, kecil kemungkinan akan terjadi kesepakatan politik penting dari hasil pertemuan itu, karena masing-masing pihak tampaknya akan sulit memberi konsesi politik kepada pihak lain. Baik Indonesia maupun Australia tentu akan menyatakan agar masing-masing pihak menghormati proses hukum di negaranya dan enggan untuk diintervensi.

Sebagai contoh, Indonesia sulit menerima tuntutan Australia untuk meninjau kembali berakhirnya masa penahanan Abu Bakar Ba’asyir. Ba’asyir sendiri dulu ditahan bukan karena tuduhan melakukan tindak terorisme terkait dengan Bom Bali I Oktober 2002 dan menewaskan banyak orang Australia, tetapi karena pemalsuan dokumen keimigrasian dan diduga melindungi pelaku teror.

Sebaliknya, bagi Australia, PM John Howard tidak dalam posisi yang dapat menekan Parlemen Australia untuk menerima pasal-pasal versi pemerintah dalam usulan amandemen Undang-Undang Imigrasi Australia sesuai dengan keinginan Pemerintah Indonesia. Berita-berita pers Australia yang menyatakan amandemen UU yang diusulkan PM John Howard itu dilakukan untuk "menyenangkan" Indonesia tampaknya kurang tepat. Australia memang sering mengubah UU Imigrasi untuk mengantisipasi "kemajuan teknik" penyelundupan manusia atau imigrasi ilegal ke Australia.

Terlalu cepat

Amandemen UU Imigrasi Australia tidak mungkin didiskusikan di Parlemen Australia sampai pembukaan kembali masa sidang parlemen Agustus ini. Paling tidak, ada beberapa pasal krusial mengenai amandemen itu. Contohnya, soal batas waktu pemrosesan permohonan suaka 90 hari, bantuan hukum bagi pencari suaka, tempat pemrosesan yang tak lagi di Benua Australia tetapi di luar negeri, dan soal kamp penampungan bagi imigran anak- anak dan perempuan.

Menteri Imigrasi dan Urusan Multikultural Australia Senator Amanda Vanstone menghadapi tugas berat untuk menjadi penengah antara keinginan PM Howard dan anggota parlemen penentang usulan Howard. Waktu pemrosesan 90 hari dianggap Howard terlalu cepat.

Pemrosesan di luar Australia dengan batas waktu tak terhingga bukanlah hal baru. Ketika terjadi gelombang pengungsian secara besar-besaran warga Afganistan ke Australia akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an, kantor Imigrasi Australia meminta jasa orang-orang Pakistan untuk memprosesnya di perbatasan Afganistan-Pakistan. Ketika terjadi insiden kapal Tampa pada tahun 2002, Australia menerapkan kebijakan The Pacific Solution, di mana para pengungsi ditampung dan diproses di Papua Niugini dan Nauru.

Ini untuk mencegah agar para pencari suaka tidak mendarat di Australia sehingga mereka tidak memiliki akses atas proses hukum Australia yang mewajibkan Australia, sesuai dengan konvensi internasional tentang refugee, untuk menerima mereka. Intinya, pemrosesan di luar Australia akan menyebabkan para pencari suaka atau imigran dalam posisi yang secara hukum Australia amat lemah.

Integritas nasional RI

Selain kedua isu itu, tampaknya Presiden SBY dan PM Howard akan mendiskusikan kemungkinan RI-Australia menandatangani Perjanjian Keamanan yang hingga kini masih digodok para perancang perjanjian kedua negara dari Deplu dan Dephan. Ini untuk menggantikan Agreement on Maintaining Security (AMS) yang ditandatangani RI-Australia 18 Desember 1995, saat Presiden Soeharto dan PM Paul Keating masih berkuasa. AMS yang semi- Pakta Pertahanan itu akhirnya tidak berlaku lagi sejak PM Howard menggantikan Paul Keating pada tahun 1996.

Hingga kini belum jelas apa saja yang diatur dalam perjanjian keamanan itu karena seperti proses diskusi pembentukan AMS merupakan suatu yang rahasia. Namun, beredar informasi, Indonesia menuntut adanya pasal mengenai dukungan Australia atas integritas nasional RI yang tidak dapat diganggu gugat. Perjanjian ini dapat merupakan payung kerja sama keamanan kedua negara untuk menghadapi kemungkinan terjadinya "tantangan-tantangan yang tak bersahabat" (adverse challenges) yang berasal dari luar kedua negara, baik ancaman konvensional maupun ancaman asimetris seperti terorisme, kejahatan lintas negara, dan sebagainya.

Bisa saja perjanjian ini mengatur bagaimana kedua negara dapat meningkatkan kerja sama pertahanan dan keamanan dari tahap awal (initial stage) ke tahap lebih tinggi (intermediate stage). Namun, agak sulit bagi kedua negara untuk mencapai tahap kedewasaan dalam kerja sama pertahanan (mature stage) karena keduanya tidak terikat aliansi militer seperti antara Australia dan Amerika Serikat.

Satu hal yang perlu diperhatikan Indonesia dalam perjanjian keamanan dengan Australia ialah jangan sampai timbul pertanyaan di antara negara-negara ASEAN mengapa Indonesia menandatangani perjanjian dengan Australia dan tidak dengan negara-negara ASEAN.

Hal krusial lain, Indonesia harus menyadari ada kepentingan nasional utama yang berbeda di antara kedua negara dalam keamanan maritim, misalnya. Indonesia amat peduli pada integrasi wilayahnya. Karena itu, keamanan maritim lebih terfokus pada bagaimana mencegah jangan sampai terjadi infiltrasi dari luar yang membantu gerakan-gerakan separatisme di Indonesia.

Terkait dengan hal ini, Indonesia juga peduli masalah penyelundupan senjata ringan, pembalakan hutan (illegal logging), penyelundupan manusia, dan sebagainya. Dari sisi Australia, keamanan maritim Australia lebih terfokus pada bagaimana mencegah masuknya imigran ilegal, terorisme, dan bahan-bahan yang terkait dengan pengembangbiakan senjata pemusnah massal ke Australia. Tidak mengherankan jika Australia menerapkan kebijakan Australia’s Maritime Identification System (AMIS) dan aktif dalam latihan antarnegara pendukung Proliferation Security Initiative (PSI).

Meski demikian, baik Australia maupun Indonesia memiliki kepedulian yang sama mengenai keamanan dalam lingkaran konsentris pertahanan/keamanan kedua negara, yaitu Region of Primary Strategic Interests, mencakup kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Selatan. Kedua negara juga amat prihatin dengan situasi keamanan di Timor Leste.

Kesadaran baru

Ketika menggantikan Paul Keating pada tahun 1996, John Howard bersiteguh untuk tidak mau berada di bawah bayang-bayang Keating. Garis politik luar negeri Howard yang "tidak mau memilih antara sejarah dan geografi" menunjukkan betapa konservatifnya pendirian politik Howard yang ternyata lebih memilih kedekatan hubungan dengan Inggris dan AS ketimbang dengan Asia.

Insiden Bom Bali I (2002) dan peledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004 telah membuka mata PM John Howard bahwa Australia harus membangun jaring kerja sama keamanan dengan Asia, seperti dilakukan PM Bob Hawke dan PM Paul Keating. Dengan kata lain, legacy Bob Hawke dan Paul Keating agar Australia mencari "keamanan di Asia" dan bukan "keamanan dari Asia" adalah suatu keniscayaan.

Masalahnya, apakah PM Howard mau belajar untuk lebih sensitif terhadap perasaan bangsa-bangsa Asia, khususnya Indonesia? Jika tidak ingin berada di bawah bayang-bayang Keating dari Partai Buruh, Howard harus belajar dari keluwesan seniornya dari Partai Liberal, mantan PM Malcolm Fraser, tentang bagaimana menciptakan stabilitas dan prediktabilitas dalam membina hubungan dengan negara- negara di Asia, khususnya Indonesia.

Ikrar Nusa Bhakti
Ahli Peneliti Utama Bidang Intermestic Affairs pada Puslit Politik-LIPI

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home