| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, May 08, 2006,2:24 PM

Soeharto Jalani Operasi Pembedahan

Berisiko, tetapi Jalan Terbaik

B Josie Susilo Hardianto

Jakarta, Kompas - Mantan Presiden Soeharto, Minggu (7/5) malam sekitar pukul 21.00, mulai menjalani operasi pembedahan oleh tim dokter terpadu. Langkah medis itu dilakukan karena pendarahan pada saluran cerna mantan presiden itu hingga Minggu malam belum berhenti.

"Gabungan Tim Dokter Kepresidenan memutuskan harus dilakukan tindakan bedah sesegera mungkin untuk menghentikan perdarahan," ujar Ketua Tim Dokter Kepresidenan Dr Mardjo Soebiandono, Minggu malam.

Tindakan dilakukan dengan mempertimbangkan segala risiko akibat faktor usia lanjut dan penyakit yang menyertai dirinya, yakni stroke berulang, kelainan jantung dengan pemakaian pacemaker, serta gangguan paru-paru dan ginjal yang kronis.

Menurut Mardjo, sejak dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Kamis malam lalu, dan setelah menjalani perawatan intensif dan konservatif ternyata pendarahan itu belum dapat diatasi. Dalam kaitan itulah pada Minggu sore pukul 16.00 dilakukan pemeriksaan kolonoskopi untuk memastikan lokasi dan sumber pendarahan itu.

Koordinator Tim Spesialis dari Tim Dokter Kepresidenan Prof Dr Djoko Rahardjo mengemukakan, dari hasil kolonoskopi diketahui pendarahan itu terjadi di usus besar bagian bawah. "Sumbernya ada di beberapa tempat. Itu disebabkan devertial, karena usia lanjut usus menjadi lemah dan kemudian menonjol ke luar dan jika infeksi akan mudah berdarah," kata Djoko.

Untuk mengatasinya, Tim Dokter Kepresidenan dan Tim Dokter Rumah Sakit Pusat Pertamina memutuskan melakukan pembedahan. Pembedahan dijadwalkan pada Minggu malam pukul 21.00 dan diperkirakan akan memakan waktu selama tiga jam. Sebelum keputusan pembedahan itu diambil, tim dokter telah berembuk dengan keluarga besar Soeharto.

Tak serta-merta setuju

Menurut putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Indra Rukmana atau akrab dipanggil Mbak Tutut, keluarga sebenarnya tidak serta-merta menyetujui rencana pembedahan tersebut. "Kami berembuk untuk mencari second opinion dan itu dibahas sematang mungkin. Dalam rapat tadi masing-masing alternatif dibahas dengan segala risikonya. Kalau A risikonya begini, kalau B risikonya begini, kalau C begini, dan kalau D begini. Akhirnya keluarga menyerahkan sepenuhnya kepada tim dokter," ungkap Tutut.

Keraguan yang sempat menghinggapi benak keluarga Soeharto, menurut Tutut, bukan karena tidak percaya kepada kemampuan tim dokter itu. "Kami sedih sekali. Sebagai anak tentu kekhawatiran itu ada," tuturnya.

Ketika ditanyakan bagaimana sikap Soeharto atas rencana itu, Tutut mengatakan, justru Soeharto sendiri berani menyerahkan sepenuhnya kepada dokter. "Bapak mengatakan silakan. Kami anak-anak yang justru khawatir dan mencari kemungkinan lain," kata Tutut.

Namun, dengan berbagai macam pertimbangan, akhirnya langkah pembedahan diambil sebagai pilihan terbaik dengan segala konsekuensinya akibat faktor usia lanjut, gangguan stroke, ginjal, jantung, dan paru-paru.

Tidak hanya Tutut. Kekhawatiran juga tampak pada wajah Ari Sigit, cucu Soeharto, serta Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara semasa Soeharto menjadi presiden. Kepada masyarakat, keluarga besar Soeharto memohon doa agar operasi yang penuh risiko itu dapat berhasil.

Prof Djoko Rahardjo dari Tim Dokter Kepresidenan mengatakan, untuk mendukung operasi itu, tim dokter mengusahakan agar kondisi jantung Soeharto stabil dan otak cukup memperoleh oksigen. Selain itu, tim dokter berusaha untuk menjaga agar paru-paru ada dalam keadaan baik, ginjal terjamin, dan fungsi-fungsi tubuh lainnya dalam kondisi baik. Kondisi Soeharto saat akan dioperasi masih cukup stabil dengan kadar hemoglobin (HB) 9 mg/dl.

Moerdiono mengemukakan, kemungkinan keberhasilan operasi itu 50:50. Rapat keluarga untuk memutuskan tindakan apa yang tepat untuk Soeharto dilakukan selama lebih kurang satu setengah jam. Dan, akhirnya, pembedahan dengan segala risiko diputuskan sebagai jalan terbaik untuk menolong mantan presiden itu. "Mohon doa agar semua berjalan dengan baik dan berhasil. Semua sedih," tuturnya.

Harus dioperasi

Dokter Benyamin Lukito, internis pada Rumah Sakit Siloam Gleneagles Karawaci, Tangerang, mengungkapkan, untuk mengurangi risiko lebih besar dari pendarahan usus yang terus dideritanya, mantan Presiden Soeharto memang harus menjalani operasi arteriografi untuk melacak sumber pendarahan tersebut.

Kalau ternyata sumber pendarahan sulit dijangkau, maka yang harus dilakukan adalah memotong usus yang berdarah tadi. Kemudian usus disambung lagi.

"Bagi pasien yang berusia 85 tahun, cara itu memang juga tak luput dari risiko lain, terutama dari kemungkinan dampak anestesi. Namun, itulah jalan yang terbaik. Kalau pendarahan tidak segera diatasi, maka bisa-bisa timbul penggumpalan darah di mana-mana atau disseminated intravascular coagulation," papar Benyamin. "Jadi kalau pendarahan tidak bisa berhenti, ya operasi ini tindakan terakhir," katanya.

Tentang proses pemulihan kondisi tubuh pasca-operasi, Benyamin mengatakan, asupan makanan dan minuman selama beberapa hari harus dilakukan seperti lazimnya, yakni melalui infus. Setelah proses metabolisme normal kembali, barulah pemberian makanan melalui mulut bisa dilakukan. (NAR/HRD/TOM)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home