| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, May 08, 2006,2:22 PM

Merajut Perdamaian Sosial

Djisman S Simanjuntak

Saat-saat peringatan Hari Buruh 1 Mei sudah lewat. Selama beberapa hari serikat-serikat buruh menegaskan sikap antirevisi UU Nomor 13 Tahun 2003. Mereka menang. Pemerintah mengundurkan revisi itu. Yang disulitkan adalah empat universitas yang harus menyikapi persoalan-persoalan yang pada dasarnya adalah persoalan politik dan bukan persoalan akademik. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bergabung dengan serikat buruh dalam menolak revisi UU No 13/2003. Pengusaha pun tampak melunak dengan menunjukkan kemauan mencari pemecahan melalui dialog bipartit.

Sementara itu, para pekerja sudah kembali ke pekerjaannya untuk menghadapi keseharian. Tumpukan masalah yang dihadapi Indonesia tidak menjadi lebih ringan. Ia tetap sangat besar dan rumit. Sepintas lalu tampak bodoh menanyakan apa masalah itu. Namun, seandainya masalah tersebut sudah diketahui, pemecahannya mungkin sudah ditemukan.

Dalam demokrasi muda dengan struktur kekuasaan yang kuasi-federal perbedaan, menyikapi hierarki preferensi adalah hakiki. Buruh berbeda dari pengusaha. Partai yang memerintah yang duduk di kursi empuk berbeda dari partai oposisi yang duduk di kursi keras. Namun, demokrasi bukanlah semata-mata kebebasan berbeda pendapat.

Eksistensi suatu bangsa sangat tergantung dari kemauan dan kemampuan pemimpinnya merajut konsensus, tidak hanya tentang hal-hal yang ideologis seperti keutuhan negara kesatuan, tetapi juga tentang "periuk nasi" rakyat serta menavigasi rakyat menuju perwujudan konsensus itu.

Inti persoalan pembangunan

Bagi saya, pengangguran adalah persoalan yang patut diletakkan sebagai inti persoalan-persoalan pembangunan Indonesia tahun 2005-2009. Yang lain-lain, termasuk revisi UU No 13/2003, adalah masalah-masalah ikutan. Pengangguran adalah bagian dari banyak enigma atau misteri yang dihadapi Indonesia. Namun, keparahan pengangguran Indonesia dapat disimak dari berbagai bukti anekdotal.

Dari angkatan kerja yang berjumlah 105 juta dalam tahun 2005, penganggur terbuka tidak kurang dari 10,3 persen, suatu tingkat pengangguran yang tinggi menurut standar mana pun dengan penumpukan di usia muda dan pendidikan yang tinggi. Dari sisanya, yang bekerja, bagian terbesar tersebar dalam status pekerjaan yang tampaknya rapuh.

Mereka yang bekerja tanpa bantuan orang lain atau bekerja dengan bantuan anggota keluarga tidak kurang dari 36,6 persen. Pekerja yang tidak dibayar, terutama dari pekerja keluarga, tak kurang dari 17,5 persen. Di antara mereka 14,5 persen bekerja kurang dari 25 jam seminggu. Bagi mereka ini, UU No 13/2003 pada dasarnya tidak relevan. Namun, bagi pengusaha dengan pekerja tetap, yaitu 2,7 persen dari angkatan kerja, dan pekerja tetap, yaitu 24,3 persen dari angkatan kerja, UU itu dan revisinya merupakan urusan yang sangat penting.

Dari sudut pandang ekonomi makro, pengangguran tinggi adalah tanda ketidakseimbangan. Dengan inflasi rendah pun kemelaratan tinggi menimpa rakyat di bawah pengangguran yang tinggi. Republik Indonesia didirikan, antara lain, merupakan perwujudan hak dasar rakyat untuk memperoleh pekerjaan.

Pengangguran yang tinggi berarti kesempatan besar yang hilang (foregone income). Di balik pengangguran tinggi ada kemiskinan parah yang dapat diringankan, tetapi tidak dipecahkan melalui subsidi atau transfer. Pengangguran juga mempunyai sisi kemanusiaan. Penganggur kronis diancam oleh erosi kepercayaan diri atau erosi modal sosial.

Seorang ayah atau ibu yang memburu lowongan kerja di sudut-sudut kota atau desa, tetapi tidak menemukannya, akan kewalahan menjawab pertanyaan anak-anaknya. Lebih dari itu, pengangguran tinggi yang naik adalah ladang subur bagi ekstremisasi sampai-sampai, misalnya, Adolf Hitler berhasil menukar pekerjaan dengan kebebasan seraya meninggalkan jejak abadi dari kebiadabannya.

Pertambahan lapangan kerja pada kecepatan tinggi adalah ujian terberat (litmus test) bagi para pemimpin politik Indonesia, yakni pemimpin pemerintah pusat, gubernur, bupati, para birokrat, para anggota DPR dan DPRD, pemimpin partai politik, jaksa dan hakim, para pemimpin bisnis dan pemimpin buruh. Seandainya masih hidup, Gajah Mada mungkin akan mengikrarkan Sumpah Palapa II,

"Tidak akan memakan nasi sebelum tren pengangguran berbalik turun".

Sumbangan pihak luar bagi pembangunan Indonesia, termasuk kreditur-kreditur besar seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Jepang juga perlu diukur dengan dampak perbuatan mereka terhadap perluasan lapangan kerja. Dengan segala hak yang sah untuk berbeda pendapat konsensus nasional tentang urgensi pemerangan pengangguran adalah imperatif bagi setiap pemimpin, biarpun tanggung jawab terbesar dipikul oleh pemimpin-pemimpin yang berkuasa.

Memperluas lapangan kerja pada kecepatan tinggi bukan perkara baru dalam pembangunan ekonomi. Mustahil juga, juga tidak. Beberapa tetangga utara Indonesia sedang melakukannya. Para ekonom dan politisi mempunyai jurus konvensional untuk mengupayakannya, yaitu stimulasi ekonomi makro.

Jangan terlalu konservatif

Dari perspektif ini, kebijakan fiskal Indonesia 2005 tidak harus sekonservatif seperti yang dianut sekarang. Bunga tinggi Bank Indonesia (BI) yang mengilhami "intermediasi terbalik", yaitu penanaman deposito bank dalam surat utang pemerintah dan BI yang bunganya lebih tinggi daripada bunga deposito bank, adalah sangat problematik.

Profil kebijakan itu perlu diganti kalaupun mengusung risiko lain, seperti melemahnya nilai tukar rupiah. Ke dalam jurus-jurus konvensional juga termasuk perubahan-perubahan inkremental dalam kebijakan, termasuk revisi UU yang penegakannya terbentur pada banyak rintangan. Melalui jurus-jurus konvensional itu diharapkan pertumbuhan pendapatan. Hal ini pada gilirannya mendongkrak pertumbuhan investasi oleh perusahaan yang sudah ada dan atau oleh perusahaan baru.

Pemenang dalam politik pada umumnya tidak bertumpu semata-mata atas jurus-jurus konvensional. Kualitas mereka justru tampak dalam jurus-jurus lateral atau jurus-jurus yang tidak konvensional, atau yang melawan arus seperti tampak dalam Kebijakan Ekonomi Baru Deng Xiao Ping.

Karena itu timbul pertanyaan tentang sejauh mana ruang bagi jurus-jurus lateral seperti itu tersedia di Indonesia. Tidak sedikit jumlah prakarsa-prakarsa lateral yang sedang digodok Indonesia dewasa ini. Ke dalamnya termasuk RUU Penanaman Modal 2006, reformasi regulasi dan perizinan, RUU Perpajakan, RUU Perseroan Terbatas dan, tentu saja, rencana revisi UU No 13/2003.

Untuk bisa menembus rintangan-rintangan prakarsa-prakarsa itu diperlukan kampiun yang tersebar di semua pihak yang terkait. Semakin keras seseorang berpikir tentang kerumitan perizinan di Indonesia semakin tampak jelas betapa pentingnya reformasi besar-besaran. Para kampiun itu harus berpikir keras untuk menemukan kompromi yang memenangkan hati dari pihak-pihak terkait dan menindaklanjuti kompromi itu dengan tindakan-tindakan.

Dapat saja pemerintah, partai politik, serikat pengusaha, dan serikat buruh berkeras pada posisi masing-masing, seperti dalam menentang atau membela revisi UU No 13/2003, tetapi dengan berkeras saja tidak satu pun di antara mereka menang. Selama penganggur Indonesia masih tinggi dan naik, selama itu pula penduduk dalam kemiskinan dan pinggir kemiskinan akan tetap besar, dan selama itu pula erosi daya saing Indonesia di dunia yang bergerak cepat akan berlanjut.

Selama ini penganggur Indonesia memang cenderung tidak mempunyai cantolan dalam perpolitikan. Saatnya sudah tiba bahwa semua pusat kekuasaan, termasuk serikat buruh dan serikat pengusaha, memikirkan penganggur terbuka dan penganggur terselebung ketika memperjuangkan kepentingan kelompok masing-masing.

Aksi gabungan seperti itu dapat disebut sebagai perdamaian sosial yang dalam sejarah bangsa-bangsa sering menjadi bagian wajib dari ciri-ciri pemenang. Tanpa itu, perjuangan-perjuangan kelompok akan berjumlah nol, yakni kemenangan satu pihak disertai kekalahan pihak lain. Bangsa adalah mesin perajut dan penjaga hubungan yang berjumlah positif, yakni kemenangan satu pihak disertai oleh kemenangan pihak lain.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home