| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, April 29, 2006,9:02 AM

Demokrasi Fundamentalis

Yasraf Amir Piliang

Aneka persoalan bangsa menyangkut ekonomi (ketenagakerjaan, perusahaan asing), politik (pemilihan kepala daerah), hukum (penyusunan aneka rancangan undang-undang), keagamaan (keberadaan "ajaran sesat"), dan kebudayaan (pornografi, seni) hampir selalu diselesaikan melalui demonstrasi, kekerasan, dan huru-hara.

Kegagalan negara dalam menciptakan sebuah "ruang dialog" telah menutup rapat "pintu komunikasi" di atas tubuh bangsa ini sehingga amarah menjadi model psikologis dalam penyelesaian setiap masalah dan kekerasan menjadi strategi politik dalam mencapai setiap tujuan.

Dalam konteks proses demokratisasi yang tengah berlangsung, dikuasainya setiap diri oleh nafsu amarah dan politik kekerasan menunjukkan ketidakmampuan bangsa ini membangun "ruang publik" demokratis, tempat aneka persoalan bangsa dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan secara terbuka, jujur, adil, dan kreatif. Tidak mampu membangun sebuah "tindak komunikatif" bersama sehingga menyebabkan pintu komunikasi tertutup rapat dan saluran penyampaian pesan tersumbat, yang menyisakan manusia-manusia yang berbicara dengan dirinya sendiri—politics of monologism.

Ruang kehidupan berbangsa kini dibangun oleh ruang, kotak, dan pagar-pagar "eksklusivisme", yang di dalamnya setiap kelompok (sosial, politik, ekonomi, kultural, keagamaan) merayakan ruang-ruang eksklusif sebagai tempat mereka membangun rasa aman dan nyaman secara eksistensial (ontological security), namun dengan cara menutup diri dari bahkan meniadakan pihak-pihak lain (the others). Ini secara paradoks menciptakan sebuah ruang kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibangun oleh prinsip "fundamentalisme"—the politics of fundamentalism.

Politik hiperproteksi

Demokrasi dibangun secara internal oleh komponen-komponen bangsa melalui hasrat kelompok (collective desire) yang menggelora tak terbendung—disebabkan kegagalan negara membangun ruang publik—sehingga memuncak pula rasa fundamentalisme, baik fundamentalisme politik, keagamaan, ekonomi, kesukuan, maupun kebudayaan.

Eksklusivisme dibangun di atas dasar fondasi esensialisme sempit yang antidialog, antiperubahan, dan antinegosiasi sehingga menciptakan pandangan buruk terhadap pihak luar yang mengancam. Eksklusivisme merupakan sebuah cara untuk menciptakan semacam Umwelt, sebuah tempat yang di dalamnya setiap orang merasa mendapatkan rasa aman secara eksistensial, khususnya dari ancaman dominansi, ketidakadilan, kesewenangan, dan kekerasan pihak luar, dengan mengembangkan proteksi diri yang berlebihan—hyperprotection.

Esensialisme-sebagai sebuah kecenderungan pemisahan kelompok-kelompok manusia berdasarkan genealogi budaya dan sifat biologisnya—merupakan salah satu fondasi hiperproteksi tersebut, yang melaluinya rasa ketidakamanan ontologis, krisis identitas dan kultural yang akut, ketidakberdayaan akibat represi kultural, serta penderitaan panjang akibat ketidakadilan negara menyebabkan orang menoleh pada akar-akar kultural dan keyakinannya yang dianggap dapat memberikan rasa aman itu.

Esensialisme yang berkembang ke arah ekstrem menggiring pada fundamentalisme dalam pengertian yang luas. Jurgen Habermas di dalam The Inclusion of the Others (1999) menjelaskan "fundamentalisme" sebagai gerakan dalam membangun dunia kehidupan ultrastabil (ultrastability) dengan cara merestorasi aneka cara, keyakinan, dan nilai-nilai fundamental dengan merayakan praktik-praktik intoleransi, eksklusivisme, dan esensialisme. Dalam hal ini, fundamentalisme tidak hanya milik negara-negara terbelakang atau "Timur Tengah", tetapi negara-negara supermaju seperti Amerika Serikat.

Selain itu, tidak hanya ada fundamentalisme agama, tetapi juga aneka fundamentalisme politik, ekonomi, kesukuan, dan kebudayaan. "Fundamentalisme ekonomi ultrakapitalistik" seperti "pasar bebas" berhadap-hadapan dengan "fundamentalisme kesukuan ultra-etnisitas", yang berujung dengan konflik, kekerasan, bahkan kematian (seperti kasus Freeport). "Fundamentalisme keagamaan ultradogmatis" bertemu dengan "fundamentalisme kultural ultraliberalis" yang menimbulkan konflik dan ketegangan dalam aneka persoalan sosial-kebudayaan.

Kelompok fundamentalis yang berhadap-hadapan face to face dengan kelompok-kelompok fundamentalis lainnya menciptakan kantong-kantong "eksklusivitas" (politik, sosial, ekonomi, kultural) dalam demokrasi, yang dihuni oleh orang-orang yang anti-adaptasi, perubahan, dan transformasi; yang tidak berkehendak untuk berbagi, bekerja sama, beraliansi, atau berdialog dengan pihak-pihak lain (partai, agama, suku, kelompok), dengan membangun sikap "pengiblisan" terhadap sang lain—the demonized others.

Demokrasi multikultural

Proses demokratisasi (dan otonomi) yang tidak didukung fondasi kultural yang memadai (toleransi, keterbukaan, dialogisme, inklusivisme) telah mengubah watak demokrasi dari sebuah ruang komunikatif tempat aneka persoalan bangsa diperdebatkan secara terbuka, adil, dan bertanggung jawab, ke arah "ruang fundamentalis", tempat segala persoalan bangsa diselesaikan melalui gejolak amarah dan strategi kekerasan. Terciptalah demokrasi fundamentalis—the fundamentalist democracy.

Fundamentalisme di dalam sistem demokrasi tentu adalah sebuah paradoks. Sebab, fundamentalisme bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri. Akan tetapi, kegagalan sistem demokrasi dalam membangun ruang publik, ruang dialog atau ruang komunikasi terbuka, bebas tetapi bertanggung jawab menjadi penyebab utama dari hidupnya "demokrasi fundamentalis" itu.

Dengan perkataan lain, demokrasi telah gagal membangun masyarakat sebagai masyarakat multikultural disebabkan kegagalan dalam menegakkan prinsip "demokrasi multikultural" (multicultural democracy) itu sendiri, yang diperlihatkan oleh ketidakmampuan membangun ruang dialog, toleransi, dan komunikasi yang cerdas dan produktif di antara berbagai kelompok mayoritas dan minoritas sehingga di satu pihak kekuatan dominasi kelompok masih digunakan dalam aneka kebijakan dan tindak sosial; di pihak lain, cara-cara kekerasan masih menjadi satu-satunya senjata kelompok-kelompok minoritas dalam perjuangan haknya.

Kegagalan demokratisasi juga tampak pada tingkat normatif. Dalam wacana pembangunan landasan normatif-hukum, yang mengatur aneka ruang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, kultural), ketimbang mampu membangun iklim komunikasi yang bebas, terbuka, tetapi bertanggung jawab, yang dominan justru iklim "pertengkaran" (dispute) tak sehat, tak konstruktif, dan tak kreatif.

Setiap pihak secara keras kepala mempertahankan prinsip fundamentalnya masing-masing yang hampa toleransi. Misalnya, dalam mempertahankan keyakinannya, kaum "fundamentalisme agama" dituduh oleh seniman tidak mau toleran terhadap "kebebasan ekspresi" seni; sebaliknya, dalam merayakan "kebebasan ekspresi" itu, kaum "fundamentalisme seni" juga dituduh tidak mau toleran terhadap keyakinan orang-orang beragama tertentu.

Fundamentalis berhadap-hadapan dengan fundamentalis lainnya face to face, yang menggiring pada situasi "ketakmungkinan aturan bersama" (incommensurability), dalam pengertian aturan formal sebuah kelompok—yang secara keras kepala dipertahankan—tidak mungkin digunakan sebagai aturan kelompok lain yang berbeda.

Satu-satunya jalan keluar dari "ketidakmungkinan aturan bersama" ini adalah menumbuhkan kesadaran dan keterbukaan terhadap prinsip pluralisme dan multikulturalisme yang transformatif. Dalam pengertian bahwa "keamanan eksistensial" yang diinginkan setiap kelompok sosial, politik, ekonomi, dan kultural hanya dapat dibangun apabila dalam membangun rasa aman itu "kemanan eksistensial" pihak lain juga dihormati dan diberi tempat melalui sebuah prinsip toleransi, rasa kebersamaan, dan keadilan (justice) sehingga rasa aman eksistensial itu menjadi "rasa aman bersama"—multicultural democracy.

Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD Institut Teknologi Bandung

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home