| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, April 28, 2006,9:48 PM

Borobudur dan Letusan 1.000 Tahun Itu...

Madina Nusrat

Ismanto (36), seorang seniman pemahat patung batu di lereng Merapi, bergegas pulang ke rumah seusai memahat batu untuk satu karya rancangannya. Kamis (27/4) malam itu, ia berniat tetap berada di rumah.

"Malam ini merupakan puncak kemungkinan Merapi akan meletus. Saya akan menantinya di rumah," ucapnya. Bagi Ismanto dan masyarakat lereng Merapi di Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jumat Kliwon yang jatuh pada hari Jumat ini dipercaya sebagai hari keramat letusan Merapi, dan biasanya memang Merapi meletus pada hari itu. Terlebih lagi sekarang ini dipercaya adalah siklus 1.000 tahunan letusan Merapi.

Tepat 1.000 tahun yang lalu pula, pada tahun 1006, Merapi dipercaya masyarakat sekitar lereng Merapi pernah meletus cukup dahsyat. Letusan itu dipercaya menimbulkan bencana alam yang dahsyat, menghancurkan kebudayaan Mataram Hindu di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, membendung aliran Sungai Progo, membentuk danau besar di Kedu Selatan, serta mengubur Candi Borobudur. Padahal, Candi Borobudur itu berada sekitar 30 kilometer di sebelah barat gunung itu.

Perihal letusan tahun 1006 itu juga dipicu oleh hasil penelitian RW van Bemmelen dalam bukunya, The Geology of Indonesia, tahun 1949. Penelitian itu sendiri kontroversial dan akan dicarikan jawaban pastinya dalam Volcano International Gathering (VIG) di Yogyakarta pada 4-10 September mendatang.

Kontroversi itu menimbulkan polemik di media massa. Dr Sari Bahargiati yang juga Ketua VIG menyatakan, sejumlah prasasti menyebutkan Empu Sindok mulai memindahkan Kerajaan Mataram ke Jawa Timur pada tahun 930. Prasasti itu menimbulkan dugaan bahwa Merapi sangat aktif sejak abad ke-10 dan mencapai puncaknya pada awal abad ke-11. Aktivitas itu membahayakan keselamatan kerajaan dan rakyat Mataram sehingga pusat kerajaan dipindahkan.

Selama 1.000 tahun itu pun tercatat di Data Dasar Gunungapi Indonesia, lebih dari 1.000 orang telah menjadi korban akibat letusan gunung ini. Tahun ini, Merapi untuk kesekian kalinya kembali aktif dan siap memuntahkan material yang terkandung di dalam perutnya.

Oleh karena itu, letusan gunung itu tak hanya ditakuti, tetapi juga dinanti oleh masyarakat sekitarnya. Kekuatannya dan limpahan kesuburannya telah membuat masyarakat sekitarnya menyatu dengan Gunung Merapi itu.

"Saya ingin merasakan spirit dari gunung ini. Karena itu, saya hanya ingin berada di rumah sambil menanti Merapi meletus," ucap Ismanto yang mengaku enggan mengungsi walau ia bermukim di kawasan rawan bencana letusan Merapi.

Sulit dibuktikan

Menurut Kepala Balai Studi dan Konservasi Candi Borobudur, Dukut, Merapi dipercaya oleh sebagian kalangan pernah meletus cukup dahsyat hingga laharnya menimbun Candi Borobudur pada 1.000 tahun yang lalu. Namun, untuk itu, belum ditemukan data otentik yang dapat membuktikannya.

Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Dr A Ratdomopurbo pun menyangkal bahwa Candi Borobudur tertimbun lahar Merapi dari satu kali letusan pada tahun 1006.

"Yang memendam candi-candi di sekitar Merapi itu adalah lahar dingin. Itu pun melalui proses ratusan tahun. Bukan sekali Merapi meletus, kemudian Candi Borobudur terbenam," ujar Ratdomopurbo.

Ia menegaskan, belum pernah terjadi letusan Merapi yang luar biasa hingga menimbun Candi Borobudur. Skala letusan Merapi itu biasanya hanya 2 sampai 4 VEI atau volcano explosivity index (skala kekuatan letusan gunung berapi) sehingga tak ada letusan Merapi yang luar biasa hingga memendam Candi Borobudur.

Namun, memang, luncuran awan panas yang disebut wedhus gembel itu dapat mencapai 15 kilometer dari puncak Merapi. Ketika hujan datang, awan panas itu akan mengendap bersama material letusan yang mengendap di lereng Merapi dan menjadi lendut (lumpur) gunung api.

"Jadi, yang menimbun candi itu adalah lendut gunung api, atau yang biasa disebut lahar dingin," tutur Ratdomopurbo.

Oleh karena itu, dalam mitigasi ancaman bencana letusan Merapi, yang diperhitungkan tidak hanya antisipasi bahaya primer berupa letusan Merapi, melainkan juga bahaya sekunder berupa luncuran lahar dingin yang bisa mengancam keselamatan masyarakat yang berada jauh dari lereng Gunung Merapi.

Mbah Suryadi (68), warga Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung, Magelang, yang semasa mudanya ikut aktif dalam antisipasi letusan Merapi, mengatakan bahwa letusan Merapi itu tak hanya mengancam warga sekitar lereng Merapi. Sebaliknya, luncuran lahar akibat letusan itu juga bisa mengancam masyarakat yang tinggal jauh dari lereng Merapi.

Mbah Suryadi bercerita tentang letusan Merapi pada 26 November 1966. Luncuran lahar dingin Merapi sampai menerjang sejumlah desa di Kecamatan Salam dan Ngluwar yang berada sekitar 25 kilometer dari puncak Merapi.

Meskipun demikian, sulit untuk mengevakuasi warga dari daerah rawan bahaya itu. Merapi telah menjadi bagian dari hidup warga yang bergantung pada gunung. Kepala Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Magelang Edy Susanto mengaku tak bisa memaksa masyarakat yang tak bersedia dievakuasi.

"Kami sangat memahami dasar pemikiran mereka. Gunung Merapi ini sepertinya sudah menyatu dengan diri mereka," kata Edy yang sehari-hari mengurusi evakuasi itu.

Harmoni antara manusia dan Merapi tak hanya terjadi sekarang. Sejumlah bangunan candi yang berada di lereng Gunung Merapi menjadi bukti peradaban manusia yang senantiasa hidup di sekitar lereng Merapi. Sebut saja Candi Asu, Candi Pendem, dan Candi Lumbung di Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.

Berdirinya candi-candi ini di lereng Merapi menandakan telah muncul peradaban manusia di tengah lahan vulkanik yang subur. Dan, Borobudur adalah saksinya.... (ANG/ART/BUR)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home