| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, April 29, 2006,8:59 AM

Dua Dasawarsa Klobotisme

Munandir

Maret 2006 lalu tepat 20 tahun "ideologi" klobot dan klobotisme, istilah yang digulirkan oleh Soetjipto Wirosardjono (Kompas, 6/3/1986). Oleh para pengamat, klobotisme dinilai menggambarkan keadaan perwacanaan dan komunikasi verbal dalam masyarakat waktu itu. Lontaran pendapat mendapat tanggapan ramai dan muncul di media-media massa, antara lain Kompas (tanggal 7/3/1986, 10/3/1986, dan 18/3/1986).

Onggokan besar klobot (lembar kulit tongkol jagung) yang kering dan apabila dipegang mengeluarkan bunyi ramai gemerisik, kemresek, karena gesekan, tetapi ringan jika diangkat—kiasan untuk omongan banyak, tetapi tidak ada isi atau makna. Pertanyaannya: bagaimana sekarang setelah 20 tahun? Kelihatannya klobotisme masih sampai sekarang dan dalam banyak hal semakin menjadi-jadi, dalam berbagai bentuk, versi, dan dimensi.

Klobot-klobot banyak dikeresekkan—umumnya oleh tokoh berpengaruh dalam masyarakat, terutama penguasa pusat dan daerah—melalui media massa, khususnya media elektronik, hampir setiap hari. Tentang berbagai isu publik, kita dengar dari pejabat di pusat (presiden, menteri, dirjen) dan daerah (bupati, wali kota, kepala dinas) bantahan, kilah, kelit, atau sebaliknya pembenaran, disertai permainan kata.

Wejangan kosong

Penjelasan klobot ada yang pendek dalam bentuk jargon atau slogan. Yang terkenal adalah definisi "Orde Baru" di awal kekuasaan rezimnya: "tatanan baru yang… menegakkan keadilan dan kebenaran", "stabilitas, tidak yang statis, tetapi yang dinamis"; ABRI itu "motivator, stabilisator, dinamisator"; pembagian kue pembangunan dan ekonomi tetesan ke bawah; tinggal landas; pengawasan melekat (waskat), dan sebagainya yang sangat akrab di telinga kita.

Ada pula penjelasan/wejangan panjang-panjang, berputar-putar, menggunakan kata-kata klise atau jargon ("negara kita kan negara hukum"); wejangan tentang tindakan "akan" ("aparat yang menyeleweng akan ditindak tegas", "tidak pandang bulu") atau wejangan normatif ("abdi negara, aparat semestinya melayani, tidak minta dilayani").

Penjelasan/wejangan penguasa itu kedengaran masuk akal, akan tetapi susah dilihat bukti pelaksanaannya di lapangan atau tidak ada dampak perbaikannya pada rakyat kebanyakan. Maka, bagi masyarakat umum semuanya itu tidak lebih daripada keresekan klobot, malah menjadi bahan ejekan/plesetan (tinggal landas, tinggal amblas; waskat, yang mengawasi dan yang diawasi sama-sama bersepakat; UUD, ujung-ujungnya duit; KUHP, kasih uang habis perkara; demokrasi, gedhe lemu cilik dikerasi (yang besar tambah gemuk, wong cilik diperlakukan keras).

Di bidang pendidikan pun terjadi perklobotan. Pembangunan pendidikan yang mengutamakan pemerataan/kuantitas, tetapi juga kualitas; keterangan dari pejabat-pejabat pendidikan di Jakarta dan daerah mengenai berbagai kebijakan dan kurikulum datang silih berganti, saling tidak bersesuaian, menimbulkan kebingungan para guru.

Paling akhir ada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan itu diklobotkan "bagus", tetapi apa lacur kurikulum "bagus" itu akan diganti lagi dengan Kurikulum 2006. Maka, terdengar plesetan KBK itu kurikulum (guru) bingung kabeh (membuat semua guru bingung) atau kurikulum bagemane katenye aje.

Mengabaikan esensi

"Kegemaran" eufemisme (penghalusan kata) dapat juga disebut suatu bentuk klobotisme. Komunikasi klobot berisi kata-kata kosong, mengabaikan esensi dan substansi, membuahkan kedangkalan dan ketumpulan nalar, kemalasan berpikir, termasuk dalam berbahasa.

Perklobotan terutama berasal dari ucapan pejabat, penguasa, di puncak kekuasaan, kemudian tingkah laku itu ditiru pejabat-pejabat dan orang-orang (ironisnya, termasuk sarjana, dan mahasiswa) di bawah/daerah. Penguasa berklobot ria untuk menutupi kesalahan, memberikan pembenaran, berdalih, mengatasi perasaan dosa, dengan menggunakan berbagai jenis mekanisme pembelaan diri dan ini pun ditiru banyak orang.

Rupanya, perklobotan akan terus terjadi selama sistem yang merupakan lingkungan pembentuk sikap dan perilaku suka berklobot para pejabat dan penguasa masih seperti adanya sekarang.

Munandir Guru Besar Purnatugas IKIP Malang/UM

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home