| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, May 22, 2006,1:01 PM

Reformasi Hukum Sebatas Jargon Semu

Toto Suryaningtyas

Bak musim semi, situasi hukum di Indonesia pasca-Orde Baru kian marak oleh lembaga hukum dan gembar-gembor penegakan hukum. Sayangnya, implementasi yang lemah menjadikan penegakan hukum sebatas jargon yang semu.

Sewindu reformasi berjalan, cita-cita terwujudnya supremasi hukum sebagai salah satu tujuan reformasi tampaknya masih jauh dari harapan. Meski muncul sinyal perbaikan, namun masalah mendasar, yakni perilaku korup dan minimnya budaya taat hukum, seolah tak pernah beranjak membaik.

Jajak pendapat Kompas yang mengikuti kiprah penegakan hukum sejak awal gerakan reformasi tahun 1999 memetakan beberapa kondisi positif yang dicapai, sekaligus sejumlah kelemahan dalam upaya penegakan hukum di negeri ini. Dari rangkaian opini publik tersebut, paling tidak ada dua arus utama yang muncul. Arus pertama adalah secercah optimisme yang tumbuh di alam reformasi ini terhadap lembaga formal penegakan hukum, sementara arus kedua yang jauh lebih besar dari itu adalah sikap pesimisme publik terhadap pemberantasan korupsi dan perbaikan ketaatan pada hukum.

Kondisi penegakan hukum, meski masih jauh dari memuaskan, diakui sebagian besar publik jajak pendapat semakin baik dari tahun ke tahun perjalanan reformasi. Secara umum bahkan bisa dikatakan, masyarakat melihat penegakan hukum saat ini lebih konkret berjalan daripada masa sebelum reformasi. Rekaman jajak pendapat tahun 2002 hingga tahun 2005 memperlihatkan apresiasi penegakan hukum naik konsisten dari 12,7 persen hingga menjadi 36,6 persen. Sebaliknya, anggapan buruk publik terhadap kondisi penegakan hukum menurun dari 84,2 persen menjadi 57,2 persen.

Sulit diingkari naiknya apresiasi terhadap kondisi penegakan hukum selama delapan tahun terakhir banyak terkait dengan kiprah lembaga hukum sendiri yang semakin menonjol dalam ruang publik. Penyelesaian secara hukum yang terekspos luas atas berbagai kasus korupsi, kriminalitas, narkoba, dan pelanggaran HAM baik oleh militer maupun sipil sedikit demi sedikit agaknya menanamkan bentuk pemahaman baru akan adanya sistem bernama "hukum" yang kini hidup di tengah kehidupan masyarakat. Diambilnya berbagai langkah progresif oleh negara, seperti pembentukan Undang-Undang Antikorupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penguatan lembaga hak asasi manusia, maupun pemisahan polisi dari militer, kian menguatkan sinyal harapan itu. Terlepas dari kekurangan besar yang masih ada, harapan bahwa hukum dilaksanakan sebagaimana mestinya—tanpa menundukkan diri pada kepentingan stabilitas politik semata—membangkitkan harapan baru kembalinya fungsi dasar hukum sebagai sarana pengaturan sosial dan pemulih keseimbangan dalam masyarakat.

Harapan memudar

Selain pengakuan pada kondisi umum, apresiasi yang cenderung naik juga disuarakan publik pada citra kelembagaan yang disandang penegak hukum. Citra kepolisian, hakim, pengacara, Kejaksaan Agung, bahkan Mahkamah Agung juga cenderung meningkat. Citra kepolisian meningkat dari 24,8 persen pada tahun 2003 menjadi 41,7 persen tahun 2006. Demikian pula citra hakim meningkat dari sekitar 13 persen menjadi hampir 30 persen pada periode yang sama. MA demikian juga, meningkat dua kali lipat dari 15,0 menjadi 29,4 persen.

Naiknya dua indikator umum tersebut jelas menyiratkan munculnya sinyal harapan bagi terwujudnya supremasi hukum di masa reformasi ini. Uniknya, jika dikaji dari apresiasi pada setiap masa pemerintahan reformasi, terlihat kecenderungan serupa: yakni harapan dan keyakinan tinggi di awal pemerintahan, yang lalu melorot pada bulan berjalan. Gambaran paling jelas terlihat dari hasil jajak pendapat terhadap penegakan hukum yang dilaksanakan pada November 2004 selepas naiknya Presiden Yudhoyono. Keyakinan yang tinggi terhadap janji penegakan hukum sebagai panglima di awal pemerintahannya mampu mengubah secara signifikan kecenderungan di akhir pemerintahan sebelumnya. Optimisme, keyakinan dan citra kelembagaan hukum, meningkat.

Namun, ujian sesungguhnya ternyata berlangsung setelah pemerintahan era reformasi menghadapi kasus konkret. Harapan dan keyakinan masyarakat yang digantungkan kepada pemerintahan baru perlahan terkikis seiring realitas persoalan mendasar dalam penegakan hukum yang ternyata masih menggunung. Hal itu terbukti dari kedua kenaikan arus persepsi di atas ketika citra dan kondisi penegakan hukum ternyata tidak bertemu dengan pemberantasan korupsi, budaya taat hukum, independensi, keadilan, dan berbagai hal lainnya yang bersifat mendasar. Kelemahan reformasi hukum di era pasca-Orde Baru justru ada di sini.

Kebutuhan pertama yang gagal dipenuhi dalam era reformasi ini dalam pandangan publik adalah gagalnya menghapus korupsi di semua lembaga dan dalam berbagai wujudnya. Rangkaian jajak pendapat dari bulan Maret 2002 hingga Mei 2006 mencatat, berbagai tingkatan lembaga negara dan aparat birokrasi di dalamnya dipandang masih terus berkubang dengan perilaku korupsi tanpa ada penurunan. Lembaga dan anggota DPR, misalnya, dinilai hampir seluruh responden (sekitar 90 persen) tidak bebas korupsi. Kondisi serupa dialamatkan publik pada aparat dan lembaga kehakiman, kejaksaan, departemen pemerintah, bahkan hingga lembaga keagamaan dan birokrasi pemerintahan paling bawah. Parahnya, publik malah menganggap korupsi saat ini dilakukan lebih meluas dan mendalam ketimbang pada masa Orde Baru. Sebagian besar responden pada beberapa jajak pendapat juga menilai korupsi saat ini lebih banyak daripada sebelum reformasi. Terungkapnya kasus korupsi anggota DPRD, Komisi Pemilihan Umum, kepolisian, hingga Departemen Agama menggenapi sudah dugaan publik.

Sandiwara hukum

Substansi reformasi hukum yang belum tercapai berikutnya adalah rasa keadilan masyarakat. Hasil jajak pendapat memperlihatkan, lebih tiga perempat responden masih menilai belum terwujudnya keadilan dalam berbagai langkah penegakan hukum yang dilakukan pemerintah. Sebanyak 65 hingga 78 persen responden pada jajak bulan Mei 2003 menyatakan, reformasi belum mampu membenahi aparat penegak hukum dan menghasilkan peraturan hukum yang lebih adil.

Dalam berbagai kasus hukum yang melibatkan pejabat negara dengan individu, kenyataan menunjukkan negara justru memberi contoh ketidaktaatan pada hukum. Gelapnya pengungkapan kasus kerusuhan Mei 1998, dihentikannya pengadilan Soeharto, dan tak tuntasnya berbagai kasus pelanggaran HAM menjadi bukti konkret ditanggalkannya rasa keadilan masyarakat.

Kinerja aparat penegak hukum merupakan catatan berikutnya. Meskipun secara umum citra penegak hukum membaik, secara umum kinerja mereka masih tergolong kurang memuaskan. Bahkan, masih jika ditelusuri lebih jauh kinerja mereka, terdapat sejumlah ketimpangan yang dirasakan publik. Rangkaian jajak pendapat (tahun 2003, 2004, dan 2006) memperlihatkan, diukur dari berbagai jenis perkara yang ditangani hakim, kecenderungan perbaikan tipis baru dinyatakan pada kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), politik dan terorisme, yang boleh jadi merupakan imbas saja dari ekspos media. Sementara kinerja hakim pada kasus kriminalitas, narkoba, dan dan pelanggaran HAM belum menunjukkan pergerakan perbaikan. Penilaian sama buruk menerpa korps kejaksaan. Kinerja jaksa dalam menangani kasus kriminalitas, narkoba, pelanggaran HAM, KKN, politik, dan terorisme dinilai masih jauh dari memuaskan. Penuntutan terhadap kasus KKN, misalnya, jika tahun 2003 dinilai tak memuaskan oleh 86,7 persen responden, tahun ini masih dinilai buruk oleh 80,8 persen responden. Keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dengan kasus korupsi, seperti dalam kasus korupsi BNI, kasus pengacara Abdullah Puteh, hingga kasus Probosutedjo, memperkuat anggapan publik terhadap masih bercokolnya korupsi di tubuh penegak hukum sendiri. Ingat juga konflik antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial beberapa waktu lalu yang menjadi pelengkap kusamnya wajah lembaga hukum tertinggi di negeri ini.

Berbagai tontonan sandiwara hukum yang akhirnya mudah ditebak itu tak pelak menguatkan apatisme publik hingga tahap tertentu. Selain dinilai belum adil dan independen dari kepentingan di luar hukum, keputusan hukum di Indonesia pun dinilai masih lekat dengan logika uang. Publik pun kian percaya, keputusan hukum bisa dibeli dengan uang, sebagaimana dinyatakan 87,6 persen responden. Hanya 10,7 persen yang tak percaya.

Dibentuknya KPK pada tahun 2003, diakui publik mengalirkan kesegaran baru dalam langkah pemberantasan korupsi. Korupsi di lembaga negara, departemen, hingga pemerintah daerah diangkat ke permukaan. Penuntutan dan penghukuman terhadap seorang Ketua KPU, gubernur, apalagi menteri menjadi lembaran sejarah baru. Tak mengherankan jika penilaian positif disuarakan publik terhadap kiprahnya. Gebrakan demi gebrakan KPK membuat citra dan kinerja lembaga baru ini nyaris selalu teratas dibandingkan dengan polisi, jaksa, hakim, maupun pengacara.

Namun, bahkan untuk lembaga sehebat KPK, yang dibekali kewenangan dan imunitas besar serta penghargaan personal yang tinggi, pun tak mampu menghindar dari polemik kekuasaan politik dan iming-iming materi. Meredupnya kegarangan KPK pada saat bersinggungan dengan jajaran anggota kabinet pemerintahan Yudhoyono serta kasus suap yang menyangkut seorang anggota KPK menegaskan batas yang mampu dicapai lembaga itu. Jajak pendapat terbaru menunjukkan apresiasi responden terhadap citra dan kinerja KPK dibandingkan awal tahun 2006 ini saja sudah turun 20 persen meski masih lebih tinggi dibandingkan dengan penegak hukum lain.

Kesimpulannya, menyerah pada arus besar korupsi dan mengingkari hukum, yang banyak dibuka celahnya pada era masa kini, jelas bukan tujuan reformasi. Namun, menyerahkan perbaikan supremasi hukum semata-mata pada negara dengan sumber dayanya terbukti menghasilkan kesan baik yang semu. Tanpa keberhasilan membangun budaya bebas korupsi dan taat hukum, rasanya tidak relevan lagi berbicara mengenai supremasi negara hukum. (Litbang Kompas)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home