| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, May 20, 2006,6:51 AM

Mengapa Kita Mesti Merdeka

Roch Basoeki Mangoenpoerojo

Guru sekolah dasar "zaman normal" bisa menabung selain untuk makan satu bulan. Begitu cerita orang tua tentang gaji di zaman penjajahan di semua sektor. Tak terkecuali juga sipir penjara. Tiap malam guru menyiapkan rencana pengajaran esok hari, pendidikan di saat itu lumayan. Sekarang gaji mereka cuma bisa dimakan sampai tanggal 10. Wajar ada guru yang narik becak buat makan sekeluarga. Guru tidak siap mendidik.

Kenapa pegawai begitu merana? Kondisi rakyat tentu lebih parah. Kita terpaksa bertanya, "mengapa mesti merdeka jika lebih sejahtera saat dijajah?" Pertanyaan bodoh yang sulit, sesulit pendiri negara saat memperjuangkan (1908-1945, plus 1945-1949) 20 Mei adalah saat tepat untuk merenung hakikat, jawabannya di Boedi Oetomo.

Kita hormati anggapan bahwa kemerdekaan adalah keberuntungan, atau hadiah Jepang. Dalam perenungan, pendapat itu harus dihormati, tetapi tak perlu dibahas.

Penjajahan antropologis

Penjajahan Belanda didesain oleh sejarawan dan antropolog paling canggih. Topnya, Snouck Hougronje. Produknya dituangkan dalam naskah "indologie", pengetahuan Hindia Belanda versi pemerintah. Dijkstra, pastor Belanda jadi WNI (sudah almarhum), menolak mengikuti penataran tersebut saat hendak dijadikan pemimpin pabrik gula. "Materinya sungguh sadis, tidak manusiawi," katanya (bandingkan Max Havelaar).

Perancangnya bukan sosiolog, ahli politik, atau militer, terjawab di lapangan. Setelah meresapi ungkapan ahli "Manusia Indonesia Asli" seperti Mochtar Lubis, Soedjatmoko, Pramoedya, Koentjaraningrat. Output desain terlihat sampai kini, berupa perilaku buruk warga anak jajahan. Ada kesamaan antara transmigran, sopir angkot, ilmuwan, birokrat, sampai presiden. Arogansi bukanlah monopoli pejabat. Orang kecil pun sombong. Juga korupsi, budaya klaim, kambing hitam, curiga, dan seterusnya. Preman gedean justru lebih meresahkan. Premanisme adalah perilaku seseorang/kelompok yang tidak peduli hukum atau merasa berada di atas hukum (bahkan UUD).

Leiden lebih tahu tentang Indonesia. Obyek penjajahan ternyata bukan fisik, tetapi alam bawah sadar (ABS, unconscious). Makanya sulit menyatukan ucapan dengan tindakan. Saat berucap semua bagus sesuai prasasti, tetapi tindakannya menipu, membodohi, mencurangi sesama. Salahkah mereka? TIDAK. Itulah output desain penjatahan orang tua pun mendidik agar jadi anak jajahan penurut. Bercita-cita tinggi dihardik "pungguk merindukan bulan". Individu insan Indonesia sebenarnya hebat, tetapi berantakan perilakunya ketika berkelompok, apalagi dalam konteks sebesar bangsa. Jangkauan "tujuan kemerdekaan" memang jauh lebih berperikehormatan dari sekadar jabatan presiden.

Kemauan ABS

Ketidakberdayaan karena penjajah. Keliru. Siapa pun lemah apabila kehilangan ABS, juga profesor, konglomerat, jenderal. Lihat kasus Freeport, Exxon, Newmont. ABS kita memerintahkan "cari alasan pembenar dari segala teori di dunia agar uang membanjir ke sini". Begitulah sikap keterjajahan, bukan penjajahan. Orang cacat justru sangat tegar.

Kenapa pendiri negara mampu menolak intervensi asing (apalagi Bung Karno), karena ABS-nya telah terbebas dari "sikap keterjajahan", sedangkan pembebasan untuk kelompok amat lamban. Sejak 1908 baru meluas saat Sumpah Pemuda lahir, 1928. Mereka sadar benar, "desain jiwa keterjajahan" adalah biang kenapa bangsa tidak berdaya, bukannya orang bule, apalagi uang.

Mereka bukan menyerang pemerintah. Hanya mengungkap fakta dengan pendekatan yang dipahami Belanda. Lihat pembelaan Bung Hatta di Iandrad Den Haag, juga pembelaan Bung Karno, Indonesia Menggugat, buku Tan Malaka, Madilog, surat-surat Kartini, dan seterusnya, apalagi di BPUPKI. Bagi masyarakat yang "suka" dibodohi, dibukanya ketidakadilan. Provokasi Bung Karno juga lewat penampilan suara, cara berpakaian, berbahasa, termasuk nama anak yang menggebrak angkasa. Dianggap membahayakan desain, maka ditangkapi, Kartini dikawinkan.

Kata Bung Karno, "Kamu nanti lebih berat karena menghadapi bangsa sendiri...." Maksudnya adalah ambtenaar, pengunyah desain Belanda tanpa sadar. Mereka pribumi penikmat penjajahan yang tak terusik sejak 1908, bukan inlander yang diperas hak miliknya. Mendapat fasilitas gaji cukup, enjoy bersama Belanda, sekolah ke luar negeri. ABS-nya full-Belanda. Menjadi penonton, menunggu siapa pemenang Perang Kolonial (1946-1949, Belanda ingin menjajah kembali). Ternyata mereka sang pemenang. Namun tidak semua begitu. Maklumat opsir KNIL pimpinan Mayor Oerip Soemohardjo 14 Oktober 1945 sangat republiken. Berisi "siap melaksanakan perintah apa pun untuk kemerdekaan", dan dibuktikan selama perang.

Tujuan kemerdekaan

Rumusan "tujuan negara" dijiplak dari literatur negara mapan. Sejak 1908, kita hanya punya "tujuan kemerdekaan". Untuk mencapainya dibuatlah negara (baca tuntas Pembukaan UUD). Negara (Indonesia) hanyalah ALAT, menjaga kebersamaan untuk pembebasan ABS. Dengan terbebaskannya ABS, kita tentukan. Tujuan negara beserta ukuran-ukurannya dengan kejernihan pikiran. Begitulah ketegaran Republik Iran.

Kini Indonesia disebut "Negara Kesejahteraan". Lalu, cukupkah APBN membiayai konsumtivisme (sikap keterjajahan) kita? Tak mungkin, sekalipun menguras seluruh laut, hutan, dan tambang. Konsumtifisme bukan hanya penyakit individu/keluarga. Negara pun menganutnya. Setiap masalah, solusinya naikkan anggaran. Ambtenaar dimanjakan dengan mal, tol, SPBU asing, sedangkan harga beras produk inlander ditekan habis.

Mulut bicara keadilan, tetapi ABS mendesak "Aku duluan". Tanggung jawab buat merdeka memang berat, menghadapi bangsa sendiri. Alam bawah sadar bangsaku, bangkitlah.

Roch Basoeki Mangoenpoerojo
Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan PDI-P 1994-1999

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home