| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, May 22, 2006,12:54 PM

Martabat Nasional dan Globalisasi

Siswono Yudo Husodo

Peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini hampir bersamaan waktunya dengan ulang tahun sewindu reformasi. Proses reformasi telah menghasilkan banyak kemajuan, utamanya di bidang politik. Demokratisasi yang sangat maju telah membuat Indonesia diakui sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

Sayangnya di bidang ekonomi belum terlihat isyarat yang cukup meyakinkan bagi kebangkitan ekonomi nasional. Malahan pendapatan riil rakyat terus menurun, tingkat pengangguran meninggi, pertumbuhan ekonomi masih rendah.

Banyak kalangan merasa galau melihat pujian untuk kemajuan demokrasi yang dialamatkan negara-negara barat ke Indonesia, tetapi arus modal dan investasi jangka panjang (foreign direct investment/FDI) diarahkan barat ke China dan Vietnam. Amat sedikit yang mampir ke Indonesia, itu pun mayoritasnya masuk ke portfolio investment yang berjangka pendek.

Sungguh kita amat tertinggal untuk memetik manfaat proses globalisasi ekonomi yang sedang berlangsung ini. Sesuatu yang terasa ironis bagi kita yang memiliki potensi amat besar dan mengingat setiap pemerintahan telah berusaha untuk mengundang investor dari luar negeri dan bersikap teramat ramah kepada pihak asing. Tanpa bermaksud antiasing, banyak pihak yang makin terusik menyaksikan kebijakan-kebijakan ekonomi negara kita yang cenderung bersandar pada kekuatan asing.

Mengobral aset ekonomi

Mahathir Mohamad, mantan PM Malaysia, dalam sebuah forum di Jakarta beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa modal asing merupakan andalan dalam pembangunan Malaysia di fase awal, tetapi makin lama masyarakatnya yang menjadi semakin sejahtera tampil sebagai kontributor utama pendanaan pembangunan negara.

Indonesia menghapus begitu banyak sektor dari daftar negatif investasi untuk investor asing tanpa memperkuat pengusaha lokal, mengobral aset ekonomi amat prospektif dengan harga amat murah, serta membiarkan berbagai kebijakan ekonomi ikut diatur konsultan asing yang ditempatkan di berbagai instansi pemerintah selama bertahun-tahun. Sementara itu, sektor riil tidak berkembang, pengusaha Indonesia tidak tumbuh apalagi berkembang karena mahal dan seretnya kredit. Ironisnya kitalah yang membayar mereka dengan utang luar negeri dan aneka bantuan program yang mereka berikan.

Dalam pengamatan saya, kebijakan ekonomi Indonesia lebih terbuka daripada China dan Vietnam. Kedua negara itu berusaha sungguh-sungguh agar mayoritas kegiatan ekonomi dikuasai warga negaranya sendiri, di samping menghindari intervensi asing dalam kebijakan ekonomi negaranya.

Keterlibatan asing yang terlalu jauh dalam perekonomian nasional baru menyentak kita ketika John Perkins menguraikan dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man, menjelaskan peranannya sebagai agen perusak ekonomi yang beroperasi di Indonesia untuk menjadikan perekonomiannya tergantung dan dikuasai asing dengan berkedok sebagai konsultan pemerintah. Lebih mengejutkan lagi karena dikatakannya, ada konspirasi melibatkan lembaga-lembaga internasional yang selama ini kita percayai akan membantu kita keluar dari krisis.

Selain oleh pemerintah negaranya, agen-agen perusak ekonomi juga kerap digunakan oleh kekuatan kapitalisme global (MNC). Kerusakan yang diarahkan oleh para agen perusak ekonomi tidak main-main karena telah membuat negeri kita terlilit utang, rakyatnya miskin, semakin tergantung pada impor dan menjauhkan kita dari cita-cita untuk menjadi bangsa modern yang mandiri.

Menikmati jadi klien

Dalam semangat memperingati Hari Kebangkitan Nasional ini, saya ingin mengajak kita semua sebagai bangsa untuk berkontemplasi menyikapi persoalan ini.

Letak geografis, kekayaan alam, dan potensi pasar amat besar negara kita amatlah memikat untuk dikuasai bangsa-bangsa lain, secara langsung melalui penjajahan seperti di masa lalu, maupun secara tidak langsung di era modern ini.

Dunia penuh dengan "siasat-menyiasati" dan dalam era globalisasi ini upaya menyiasati bangsa yang lengah muncul dengan metode yang semakin canggih.

Dalam mengambil manfaat dari globalisasi, diperlukan mentalitas baru dan reorientasi kebijakan pengelolaan negara demi meningkatnya kesejahteraan rakyat.

Kebangkitan ekonomi nasional mensyaratkan keberanian untuk melakukan perubahan fundamental dalam orientasi dan sikap mental kita terhadap pengelolaan ekonomi bangsa. Kelambanan perkembangan ekonomi kita selama ini merupakan buah dari sikap kita yang inferior.

Prof Dr Ir Frans Mardi Hartanto dari ITB dalam makalahnya menyatakan bahwa bangsa kita, sebagaimana banyak bangsa yang pernah lama dijajah cenderung, memiliki mentalitas inferior terhadap orang asing yang lebih maju (Barat). Akibatnya pola interaksi yang berlangsung berkecenderungan menjadi hubungan patron-klien, yaitu hubungan yang bersifat tidak setara, di mana ada pihak yang merasa perlu dilindungi oleh pihak yang lain. Pihak yang merasa perlu dilindungi adalah "Klien", sedang yang melindungi adalah "Patron"-nya.

Hubungan ini tidak selalu bersifat eksploitatif, tetapi mudah sekali berkembang ke arah itu.

Dalam tataran hubungan antarnegara, negara "patron" cenderung mendikte dan menggurui negara "klien". Bila membantu negara "klien", negara "patron" merasa dirinya sebagai donor yang dermawan.

Globalisasi menjadi masalah besar bila hubungan antarnegara masih bersifat Patron-Klien yang tidak setara karena globalisasi menjadi media eksploitasi. Celakanya, bukti empiris menunjukkan bahwa beberapa negara "klien" justru menikmati kedudukannya sebagai pihak yang perlu "dibantu". Mampu membayar kembali hutang dan bantuan berikut segala kewajiban lainnya dianggap prestasi oleh negara "klien" sehingga berutang terus-menerus dalam jumlah yang makin besar bukan merupakan aib, tetapi justru dianggap sebagai keberhasilan.

Begitu juga dengan kecenderungan memberi konsesi aneka pertambangan pada asing. Dapat disimpulkan bahwa permasalahan globalisasi bukan semata-mata kesalahan keinginan mendominasi dari negara patron, tetapi kesalahan terbesar justru ada pada negara "klien" yang menikmati "ketergantungannya".

Negara "patron" tidak dapat dicegah menggunakan kelebihannya untuk mencari manfaat dari negara "klien", tetapi negara "klien" dapat bangkit dari keterpurukannya dengan membongkar belenggu hubungan Patron-Klien ini dengan membangun kemandirian, kepercayaan diri, dan melepaskan ketergantungan pada negara "patron".

Inilah yang dilakukan oleh negara-negara yang sukses, seperti Korea Selatan dan Singapura, yang sekarang bisa berdiri sejajar dengan negara-negara Barat. Menangnya Hamas di pemilu legislatif Palestina, Ahmadinejad di pemilu presiden Iran, nasionalisasi aset migas Bolivia di bawah Evo Morales, dan aset migas Venezuela di bawah Hugo Chavez menunjukkan meningkatnya protes masyarakat dunia terhadap kondisi "Patron-Klien" dalam hubungan antarnegara.

Inferioritas kita sebagai bangsa telah membuat para agen perusak ekonomi bergerak leluasa. Ketidakpercayaan diri telah menciptakan situasi yang miskin wawasan, inisiatif dan inovasi dalam merancang pembangunan ekonomi. Kekosongan inilah yang diisi oleh kepentingan MNC dan pemerintah asing melalui agen-agen perusak ekonomi.

Kecerdikan mengelola peluang

Hari Kebangkitan Nasional ditetapkan pada hari kelahiran gerakan Boedi Oetomo, sebuah gerakan untuk memajukan akal budi (pendidikan) rakyat.

Apabila kita sungguh menghargai makna Hari Kebangkitan Nasional, selayaknya bila kita tidak menyerah pada fakta bahwa di dunia yang penuh dengan persaingan ini, banyak pihak ingin menyiasati kita. Yang harus kita lakukan adalah membuat diri kita tidak bisa diakali oleh konspirasi asing.

Kita perlu memiliki ketahanan nasional yang tangguh, yang mampu menentukan sendiri cara, kontrol, skema, waktu, dan jenis keterbukaan kita pada dunia, serta menggunakan setiap peluang berinteraksi dengan dunia sebagai kesempatan untuk memajukan bangsa dan negara kita. Era globalisasi perlu dihadapi dengan semangat nasionalisme yang sama kuatnya seperti saat negara-negara lemah melawan penjajahan zaman dulu.

Nasionalisme era sekarang perlu diwujudkan dalam kecerdikan mengelola peluang yang timbul dari globalisasi, dengan semangat meningkatkan kesejahteraan rakyat, harkat dan martabatnya. Globalisasi telah mengantarkan dunia ke arah persaingan antarbangsa dan negara, yang dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi, budaya, dan peradaban.

Tinggi rendahnya harkat, derajat, dan martabat suatu bangsa semakin diukur dari tingkat kesejahteraan, budaya, dan peradabannya.

Semoga suasana memperingati Hari Kebangkitan Nasional tahun ini dapat menggugah kita untuk hidup sebagai bangsa yang bermartabat di era globalisasi ini.

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home