| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, May 22, 2006,12:51 PM

"Negara Pawang" dan Keindonesiaan

Chris Panggabean

Sabtu, 22 April 2006, unjuk rasa berlangsung meriah di Jakarta. Unjuk rasa ini dilakukan oleh kelompok Bhinneka Tunggal Ika. Misinya cukup tegas: menolak Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, RUU yang telah menyedot perhatian publik beberapa bulan belakangan ini.

Demonstrasi tersebut, sayangnya, disela oleh hujan yang cukup lebat. Hujan ada kalanya dikaitkan dengan pekerjaan mistis: pawang. Pawang diyakini mampu menjinakkan alam yang liar.

Pada saat yang sama sekelompok penulis muda Kompas yang tergabung dalam Lingkar Muda Indonesia (tahun lalu dinamakan Lingkar Palmerah) sedang mendiskusikan nasib kebangsaan Indonesia. Bagaikan sebuah metafora, bangsa ini seolah membutuhkan pawang saat bangsa tengah dilanda keliaran kelompok-kelompok sektarian yang memaksakan kebenarannya. Entah kebetulan atau tidak, kelompok akademisi dalam diskusi tersebut mengajukan gagasan tentang "negara pawang".

Apa itu negara pawang? Sebelumnya kita telusuri dulu tiga sistem yang saling memengaruhi: pasar, negara, dan masyarakat sipil. Model ideal yang diharapkan dari interaksi ketiganya adalah keseimbangan. Pasar merangkum seluruh kegiatan transaksional yang bermotifkan ekonomi. Hasrat manusia ekonomi disalurkan di ranah ini dan hubungan dimediasikan oleh modal. Negara adalah konstelasi sistem yang memiliki perangkat-perangkat untuk mengatur ketertiban tatanan sosial. Di dalamnya terdapat aparatus negara, sistem pemerintahan, dan sistem hukum yang memonopoli kekerasan. Ranah ketiga adalah masyarakat sipil yang anggota-anggotanya saling berinteraksi secara komunikatif. Disebut komunikatif karena setiap interaksi adalah upaya untuk saling memahami dengan basis nilai yang kokoh.

Pada kenyataannya, pasar tampil lebih kuat ketimbang negara. Apalagi pada masa globalisasi ekonomi seperti sekarang ini. Jumlah uang yang beredar di pasar dunia jauh melebihi kekuatan devisa yang dimiliki oleh negara Indonesia (atau negara mana pun). Tak heran jika ekonomi negara ini terus menerus diombang-ambing oleh fluktuasi pasar uang dunia. Kekuatan-kekuatan yang ada di ranah pasar tak bisa dimungkiri bisa melakukan kolonisasi terhadap kedua ranah lainnya: negara dan masyarakat sipil. Dunia bisnis, misalnya, sebagai perwakilan sah dari manusia ekonomi dapat "membeli" para aparat negara untuk meloloskan kepentingan-kepentingan mereka. Ini mengempiskan fungsi negara sebagai tangan kiri sosial yang bertanggung jawab atas kesejahteraan umum. Bahkan, ketika praktik bisnis menimbulkan kerusakan lingkungan, seperti kasus Newmont dan Freeport, pemerintah cukup puas diberi kompensasi sejumlah dana ganti rugi.

Pasar memiliki "tangan kotor tak kelihatan" yang menandatangi setiap peraturan atas nama trinitas: kompetisi, efisiensi, dan profit. Dengan demikian, keadilan, kesejahteraan umum, atau tanggung jawab sosial adalah sukarela, bukan imperatif. Jadi tidak heran jika institusi ekonomi global, seperti IMF dan WTO, lebih melindungi kepentingan korporasi transnasional ketimbang berfokus pada penghapusan utang dan pengentasan kemiskinan negara-negara dunia ketiga.

Pada ranah yang lain, kolonisasi pasar terhadap masyarakat sipil adalah pembiusan daya kritis lewat budaya konsumeristis demi hilangnya kelas menengah progresif. Kelas menengah dipaksa melihat pasar sebagai satu-satunya institusi yang mampu menjawab segala persoalan mulai politik sampai budaya.

Melemahnya peran negara

Nurani, keutamaan, rasa keadilan, dan keinginan untuk dipahami dan memahami adalah kapasitas yang dimiliki setiap manusia dalam masyarakat. Namun, di dalam manusia yang sama pula terdapat hasrat untuk meningkatkan kesejahteraan diri atau kelompoknya, baik secara ekonomi maupun politik. Namun, bagaimanapun sumber daya ekonomi bersifat terbatas, begitu pula dengan politik. Artinya, tidak semua orang atau kelompok dapat duduk di kursi ekonomi dan politik secara bersamaan.

Bangsa ini pun tengah menghadapi kenyataan demikian. Saat pemerintahan totaliter Orde Baru runtuh, bangsa Indonesia pun menghadapi segregasi sosial yang cukup parah. Ini diakibatkan oleh melemahnya peran negara akibat "tangan kotor tak kelihatan" di dalam kekuasaan atau karena proses alamiah sebuah transisi sebuah sistem politik.

Melemahnya negara berarti naiknya posisi tawar kekuatan- kekuatan politik lokal sebagai konsekuensi logis dari tiadanya kekuatan politik dominan. Berkaitan dengan ini, representasi simbolis dari kelompok menjadi penting, karena setiap representasi mengukuhkan identitas. Itu sebabnya mengapa RUU Antipornografi dan Pornoaksi dan perda-perda yang sejiwa bisa dengan leluasa mendominasi ruang publik.

Ruang publik yang terdominasi adalah ruang publik tak sehat. Apa pun di dalamnya tidak dalam posisi bisa diuji argumentasi dan koherensi isinya. Mengapa demikian? Sebab, apa pun itu sudah merupakan representasi simbolik dan identitas politik yang dikeraskan secara unilateral dalam masyarakat majemuk. Pada titik paling ekstrem, konflik horizontal sangat potensial terjadi. Apalagi, saat pemerintah mencoba mencuci tangan atau menarik diri dari polemik ini.

Dua fenomena di atas merupakan indikator mulai hilangnya kepercayaan (trust) sebagai modal sosial yang penting. Kepercayaan memfasilitasi dan mempermudah terwujudnya berbagai interaksi sosial. Pasar terbentuk karena adanya kepercayaan antara pembeli dan penjual, pemerintahan bisa langgeng jika ada kepercayaan dari rakyat yang dipimpinnya. Karena kepercayaanlah, pemuda dari berbagai suku bangsa bisa mendeklarasikan Sumpah Pemuda.

Ketika kepercayaan tergerus, kehidupan bersama menjadi terancam. Apalagi, bagi setiap komponen bangsa, adalah lebih baik dan mudah untuk maju dan berkembang di dalam suatu kehidupan bersama yang didasari saling percaya, bukan curiga. Komponen-komponen kaum muda Indonesia yang resah menjadi yakin bahwa revitalisasi keindonesiaan tak akan terwujud tanpa adanya saling kepercayaan. Pertanyaan selanjutnya, dari mana memulai membangun kepercayaan kembali?

Fungsi arbitrase negara

Salah satu yang dapat memutus masalah sirkular ini adalah negara atau pemerintah. Penyelenggara negara adalah suri teladan bagi masyarakat dan ini merupakan metode pembelajaran yang sederhana dan efektif bagi masyarakat patron-klien seperti Indonesia. Untuk itu, dibutuhkan integritas dari para pemimpin yang mewujud dalam keselarasan antara wicara dan tindakan. Dalam kondisi segregrasi semacam ini, negara harus menunjukkan fungsi arbitrasenya.

Tindakan main hakim sendiri berupa perusakan, intimidasi, sampai penutupan tempat usaha atau ibadah tidak bisa dibiarkan lagi. Bukankah Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya? Negara mesti mencegah terulangnya kekerasan lewat penegakan hukum tanpa pandang bulu. Koersi adalah hak istimewa negara dan harus dipergunakan seminimal mungkin tetapi jangan ditiadakan.

Metafora yang pas mengenai negara dalam kondisi seperti sekarang ini bukanlah Leviathan atau penjaga malam. Negara tak bisa bersikap totaliter atau sama sekali abai terhadap realitas sosial yang tengah tersobek. Negara hendaknya mengambil peran layaknya pawang. Pawang bukan sembarang profesi. Seorang pawang diandaikan mengenali potensi dan kapasitas dari yang dipawanginya. Seorang pawang tidak menaklukkan, melainkan menjinakkan sehingga segala potensi yang dipawanginya tergali.

Sudah saatnya republik ini mengadopsi metafora pawang dalam mengelola kehidupan bersama. Segregasi sosial tidak bisa dihadapi dengan koersi semata. Negara mesti mampu mengelola kehidupan bersama dengan terlebih dahulu menunjukkan diri sebagai suri teladan yang bisa dipercaya. Ketertiban sosial hanya bisa terwujud ketika negara membangun kepercayaan dengan masyarakat.

Bagaimana konkretnya? Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum adalah langkah awal yang tak bisa dihindari. Setelah itu, upaya membangun kepercayaan bisa dimulai dengan kelompok-kelompok dengan kesepakatan nilai sama. Geliat para kolumnis muda dalam Lingkar Muda Indonesia (LMI) adalah contoh bagaimana kepercayaan tengah diorganisasi dan diperjuangkan. Mereka bergerak dengan satu napas: "kebebasan dan keragaman adalah harga mati bagi kehidupan demokrasi yang berkeadaban di republik ini".

Chris Panggabean Penggiat Psikologi Positif

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home