| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, May 19, 2006,3:08 PM

Politik Hukum Kehilangan Kontrol

Budiman Tanuredjo

Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi mengeluhkan kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat yang menempatkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan pada nomor urut 74. Padahal, tanpa adanya RUU itu, tak ada reformasi birokrasi.

Taufik pun—yang hadir di Kantor Redaksi Kompas pada Selasa (16/5) lalu— menuturkan sejumlah rancangan undang-undang yang disiapkan kementeriannya, seperti RUU Pelayanan Publik, RUU Etika Penyelenggara Negara, serta sejumlah RUU lain. Pendek kata, semua RUU yang disiapkan itu bukan untuk meregulasi rakyat, melainkan mengatur perilaku aparatur negara untuk bisa memberikan pelayanan yang baik kepada rakyat.

Pada hari yang sama di sebuah hotel di Jakarta digelar pertemuan editor media massa dengan sejumlah aktivis LSM untuk membicarakan draf Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Ikut memberikan pendapat dari pertemuan itu Patra M Zen (Yayasan LBH Indonesia), Roman M Ledong (Yayasan Visi Anak Bangsa), dan Stanley (ISAI).

Para aktivis LSM itu mengkritik substansi RUU Rahasia Negara yang bisa mematikan demokrasi, semangat pemberantasan korupsi, serta menghilangnya liputan investigatif media massa.

Sementara, di jalan-jalan di Jakarta ribuan buruh memprotes revisi UU Ketenagakerjaan yang mereka anggap bakal mengurangi hak mereka. Para petani pun turun ke jalan. Mereka menolak rencana perubahan UU Pokok Agraria 1960 dan menuntut adanya reformasi agraria. Masyarakat terbelah pada isu pro dan kontra RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi yang merupakan inisiatif DPR.

Di berbagai daerah muncul perda yang mengatur soal moralitas dan religiositas warga negara. Laporan majalah Gatra dan Tempo pekan lalu menggambarkan bagaimana perda bernuansa agama telah muncul di berbagai daerah.

Politik hukum

Menjadi pertanyaan ke mana arah pembangunan hukum pasca-Orde Baru. Pada era Orde Baru, politik hukum diabdikan untuk terciptanya stabilitas politik bagi pertumbuhan ekonomi. ”Mungkin kita tak suka dengan itu, tetapi arah politik hukum itu lebih jelas,” kata anggota Komisi III DPR, Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur I).

Denny Indrayana, ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, juga bingung terhadap politik hukum Indonesia pada masa transisi. ”Politik hukum di Indonesia tidak terkontrol,” katanya.

Ia berpendapat, politik hukum seharusnya mengacu pada UUD 1945. Faktanya, ada beberapa undang-undang yang diperintahkan UUD 1945 belum dikerjakan, salah satunya adalah UU Kementerian Negara.

Denny yang meraih gelar doktor ilmu hukum di University of Melbourne, Australia, itu justru menangkap kesan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah terjebak pada proyek atau kepentingan jangka pendek. ”Kadang-kadang hanya copy paste dari satu perda ke perda yang lain,” kata Denny.

Ia juga melihat pembuatan perda-perda diabdikan untuk kepentingan politik jangka pendek, yaitu pemilihan kepala daerah. Menjelang pilkada, akan muncul perda yang seakan-akan menunjukkan komitmen bupati/wali kota untuk menegakkan moralitas. ”Tetapi, sebenarnya itu untuk mencari legitimasi agar terpilih kembali,” katanya.

Namun, jika mengacu pada pendapat Jack Snyder dalam buku Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah (2003), awal masa demokratisasi dan liberalisasi pers akan meningkatkan risiko konflik nasionalis atau SARA. Hal itu terjadi karena dalam ruang demokrasi yang masih muda, persaingan kelompok rakyat (popular-rivalries) dan propaganda elite (elite persuasion) bertarung dalam panggung publik.

Snyder selanjutnya mengatakan, dalam demokrasi yang masih setengah-setengah, elite sering memanfaatkan kedudukan mereka dalam pemerintahan, perekonomian, atau media massa untuk mengorbankan nasionalisme dan menentukan wacana umum.

Itulah yang sedang terjadi di Indonesia dengan munculnya aturan di daerah atau di Jakarta yang membangkitkan sentimen golongan. Ada kelompok rakyat yang bersaing dan ada pula para demagog yang melakukan propaganda.

Konstitusionalisme

Dalam beberapa literatur, konstitusi adalah sebuah kesepakatan umum atau persetujuan (konsensus) yang berhasil diwujudkan oleh mayoritas rakyat mengenai sebuah bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara.

Jimly Asshiddiqie dalam Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia (2004) menulis, kata kuncinya adalah general agreement. Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara, dan pada gilirannya adalah perang saudara atau revolusi.

”Jadi, kesepakatan atau general agreement yang dituangkan dalam konstitusi itu seharusnya dipegang,” kata Denny Indrayana. Bukan kemudian membuat aturan lain di daerah yang kurang sesuai dengan semangat konstitusi. Kesepakatan untuk tetap berpegang pada konstitusi sebagai hukum dasar seharusnya tetap menjadi acuan bagi kehidupan bernegara. Aturan yang lebih rendah seharusnya juga mengacu pada hukum dasar, bukan malah membuat aturan-aturan sendiri dengan dalih otonomi daerah.

UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan sejumlah kewenangan kepada daerah selain enam kewenangan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Enam kewenangan yang menjadi kewenangan pusat adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal nasional serta agama.

Lalu, bagaimana dengan terbitnya perda yang tidak sesuai dengan UUD 1945 atau UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah? Pasal 136 Ayat (4) UU No 32/2004 secara tegas menyebutkan, ”Peraturan daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi.” Selanjutnya dalam Pasal 145 Ayat (2) disebutkan, ”Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.”

Benny mengatakan, pemerintah pusat mempunyai kewenangan kontrol terhadap perda-perda. Dalam Pasal 145 Ayat (3) UU No 32/2004 ditulis: Keputusan pembatalan perda ditetapkan dengan peraturan presiden paling lama 60 hari sejak perda itu diterima. Jika pemerintahan daerah tidak menerima pembatalan perda oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah bisa menggugat ke MA.

Sedangkan mekanisme judicial review ke MA, menurut Denny Indrayana, juga menimbulkan problematika lain. Peraturan MA No 2/2004 memberikan batasan waktu untuk peraturan yang diminatkan judicial review. Paling lama adalah 180 hari. Masalahnya, perda bermasalah itu sering diketahui publik yang sadar setelah batas waktu untuk mengujinya ke MA habis.

Melihat ketidakjelasan politik hukum era transisi ini, munculnya elemen kritis di kalangan masyarakat sipil, pemerintahan yang efektif dan kuat, serta lembaga pengadilan yang mampu menguji peraturan di dalam bingkai UUD 1945 menjadi sebuah keniscayaan. Ketika kesepakatan bersama itu diingkari, dikhawatirkan akan mengancam integritas bangsa.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home