| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, May 20, 2006,7:02 AM

Pergulatan Mencari Visi

Rikard Bagun

Pencarian visi Indonesia tahun 2030, apalagi tahun 2050, menimbulkan sinisme. Bagaimana bisa mencari visi yang berjangkauan jauh ke depan jika menghadapi dan mengatasi tantangan yang kasatmata saja kedodoran.

Tidak mungkin pula mencari dan menemukan visi hanya dalam pembicaraan satu dua hari saja. Maka, seminar dua hari yang diselenggarakan harian ini tanggal 8-9 Mei lalu di Jakarta hanyalah bagian dari pergulatan penting mencari dan menemukan visi bersama.

Ada yang bergumam, jangankan mencari visi yang jauh-jauh, persoalan bangsa yang dekat-dekat saja tidak terurus, dan dibiarkan tanpa arah. Begitu miskinnya visi dan lemahnya daya imajinasi membuat orang bercanda dan menggugat, apakah masih ada visi?

Bukan hanya visi yang lemah dan miskin, tetapi juga sedang terjadi krisis antara kata dan laku. Juga krisis budaya, krisis kepemimpinan, dan berbagai krisis lainnya. Janji reformasi terkesan tinggal janji.

Setelah delapan tahun melewati era reformasi, bagaimana kondisi Indonesia? Lebih baik atau lebih buruk? Apa yang didapatkan dari gerakan reformasi yang pada awalnya mengusung agenda perlawanan keras terhadap praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)?

Rangkaian pertanyaan itu semakin relevan dilontarkan sebagai refleksi, sekaligus evaluasi, di tengah suasana peringatan Hari Kebangkitan Nasional, yang setiap tahun dirayakan tanggal 20 Mei. Mengapa Indonesia tidak bangkit-bangkit dari keterpurukan?

Apakah menyesal dengan reformasi? Indonesia tidak mungkin melangkah mundur karena tantangan berada di depan. Dalam pengalaman banyak negara, krisis besar senantiasa melahirkan momentum perubahan dan perbaikan, serta memunculkan sosok kepemimpinan kuat.

Sudah terjadi empat pergantian kekuasaan selama delapan tahun era reformasi, tetapi Indonesia masih saja terpuruk. Tanpa bermaksud untuk saling menyalahkan, perlu diakui, momentum reformasi tidak dimanfaatkan secara optimal.

Selama delapan tahun era reformasi tidak muncul desain tentang Indonesia Baru yang lebih baik. Proses reformasi terkesan dibiarkan bergerak tanpa arah jelas, tidak diberi kawalan ketat. Tidak terjadi proses konsolidasi gagasan dan tindakan sehingga tak pernah lahir visi besar tentang masa depan Indonesia yang lebih baik.

Bahkan, perlu ditanyakan, sejauh mana budaya Indonesia memiliki daya transformatif untuk melepaskan diri dari kepungan krisis sekaligus mendorong perubahan dan perbaikan. Krisis secara dialektis lazimnya memicu kreativitas untuk mendorong perubahan. Mengapa bangsa Indonesia terkesan kurang kreatif untuk segera melepaskan diri dari keterpurukan?

Sekalipun penilaian terhadap era reformasi tidak bersifat hitam putih, potret umum cenderung memperlihatkan wajah Indonesia yang muram dalam berbagai bidang kehidupan. Bangsa Indonesia terus saja berada dalam kepungan berbagai persoalan, yang datang silih berganti dan tumpang tindih. Bermunculan penyakit, bencana alam dan krisis sosial, politik dan ekonomi.

Krisis multidimensi telah menjadi realitas yang berlapis-lapis, yang sulit diurai. Sering muncul pertanyaan, bagaimana dan dari mana harus dimulai untuk melepaskan bangsa Indonesia dari keterpurukan. Pertanyaan mendasar lain, siapa yang harus mengambil prakarsa. Ironisnya, semakin sering pertanyaan yang bersifat keluhan dan keprihatinan itu dilontarkan, justru semakin bingung menjawabnya.

Masih kedodoran

Sebagai penyelenggara kekuasaan negara, pemerintahlah dengan segala perangkat birokrasinya bertanggung jawab mengambil prakarsa perbaikan dengan mengajak masyarakat. Namun, bagaimana kinerja pemerintah, birokrasi, dan berbagai institusi baru (state auxiliary body) selama era reformasi?

Berbagai hal mengalami kedodoran. Retorika tentang supremasi hukum dan pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan masih menimbulkan frustrasi. Masih sering terdengar keluhan, lembaga peradilan telah dibusukkan oleh godaan uang. Prinsip rule of law kurang berjalan, sementara mafia peradilan disinyalir bertumbuh subur.

Sementara, pembangunan institusi sosial kemasyarakatan dan kenegaraan menghadapi hambatan oleh sikap saling curiga yang sangat mencolok. Di tengah sikap saling curiga, bahaya intrik politik mudah muncul. Pada lapisan masyarakat muncul kecemasan atas rawannya sentimen primordial menurut garis suku, agama, ras, dan kelompok.

Banyak orang mencemaskan kemungkinan Indonesia semakin ketinggalan jauh jika disandingkan dengan negara-negara tetangga yang melesat maju. China, India, bahkan Vietnam terus bergegas maju di tengah dunia yang berlari tunggang langgang. Perekonomian Indonesia dikhawatirkan terempas dalam era globalisasi yang penuh kompetisi.

Celakanya, dalam menghadapi tantangan bersama yang begitu besar, tidak muncul kegelisahan, sense of crisis, dan perasaan terdesak, sense of urgency, di kalangan elite. Tidak muncul kekompakan dalam menggalang seluruh kekuatan bangsa untuk melepaskan diri dari keterpurukan. Perilaku saling menyalahkan dan sikap saling curiga justru mencolok.

Strategi pembangunan yang lebih menekankan profit ketimbang benefit merefleksikan lemahnya strategi pembangunan jangka panjang dan bekelanjutan. Tidak jelas pula konsep produk nasional, termasuk ketahanan pangan.

Produk asing dibiarkan mengalir ke Indonesia, yang menghancurkan produk domestik. Juga tidak jelas strategi pengembangan industri Indonesia. Tantangan bertambah besar karena penganggur meningkat, yang bisa menjadi bom waktu. Belum lagi utang terus menumpuk.

Kedodoran dalam bidang ekonomi juga kelihatan pada penanganan masalah energi. Antisipasi dalam membentuk sumber energi alternatif terkesan lamban. Penanganan kurang serius terlihat jelas pula pada persoalan ekologi. Proses kehancuran dan penghancuran ekologis tampaknya berlangsung sangat cepat.

Kemerosotan dalam berbagai aspek kehidupan itu memberikan citra buruk, yang mengurangi rasa percaya diri dalam pergaulan antarbangsa. Kegamangan bertambah karena orientasi budaya semakin kurang berpijak pada identitas kultural Indonesia. Tidak ada upaya serius menemukan kembali jati diri budaya Indonesia, dan cenderung tergoda mengimpor budaya lain. Di tengah kegamangan orientasi budaya itu, bangsa Indonesia semakin sulit menjaga keseimbangan di tengah olengan gelombang globalisasi.

Jarak pandang ke masa depan pun sangat pendek karena kemiskinan visi. Refleksinya terlihat pada perhatian yang minim terhadap pendidikan. Padahal, pendidikan adalah kunci utama kemajuan sebuah bangsa. Sungguh memprihatinkan lemahnya perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.

Jelas pula, Indonesia belum kehabisan seluruh potensinya untuk melaksanakan tugas sejarah melakukan perbaikan.

Maka, pemotretan terhadap kerumitan persoalan sekarang ini perlu dilakukan sekadar tumpuan melakukan transformasi pikiran, mental, dan tindakan untuk berbagai langkah perbaikan yang harus diikat dalam visi yang berjangkauan jauh ke depan, yang sekurang-kurangnya untuk sebuah generasi hingga tahun 2030. Proyeksi ke tahun 2030 semata-mata didasarkan atas asumsi rentangan waktu untuk sebuah generasi.

Tentu saja, sejumlah pandangan dan pencarian visi 2030 dalam seminar yang diselenggarakan harian ini bisa menimbulkan silang pendapat. Maka, sangatlah penting untuk terus menggelar perdebatan umum dan membuka dialektika pendapat.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home