| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, May 08, 2006,2:29 PM

Rasionalisasi Nasionalisme

Robertus Wijanarko

Nationalism is primarily a political principle, which holds that the political and the national unit should be congruent (Ernest Gellner).

Cacat bawaan nasionalisme adalah absennya proses rasionalisasi. Rasa kesatuan kebangsaan hanya dimanfaatkan untuk memadukan kekuatan untuk mengusir penjajah dan tidak dijabarkan dalam strategi penataan struktur sosial, politik, dan ekonomi yang merealisasikan kesatuan dan kedaulatan bangsa-bangsa pascakolonial.

Menurut Frantz Fanon, tokoh revolusi nasional Aljazair, kebanyakan pemimpin nasional pascakolonial hanya menampilkan parodi, yakni sekadar meneruskan struktur sosial, politik, dan ekonomi kolonial.

Karena mencermati gejala itulah Francis Fukuyama, menyikapi popularitas demokrasi liberal, berargumen, nasionalisme tidak bisa menjadi ideologi pesaing demokrasi liberal karena nasionalisme tidak menawarkan agenda komprehensif untuk pengorganisasian kehidupan sosial dan ekonomi (F Fukuyama, The End of History, 6).

Kesemrawutan penataan kehidupan bidang hukum, ekonomi, politik, dan pembangunan struktur sosial di Indonesia merupakan residu dari mandeknya proses rasionalisasi nasionalisme. Penerapan perda yang compang-camping, diskusi seputar pengelolaan sumber daya alam dan penyertaan modal asing, serta gelombang reaksi seputar kasus pembelotan puluhan warga Papua merupakan pucuk gunung es persoalan yang lebih serius, bahwa nasionalisme masih dipahami sebagai semangat kebangsaan, belum sebagai prinsip-prinsip politik yang diterjemahkan dalam tatanan kehidupan berbangsa.

Diskusi seputar penerapan syariah memang tidak lagi mendominasi wacana publik. Namun, itu tidak menandai surutnya pamrih untuk memaksakan penyisipan syariah dalam kehidupan berbangsa. Setelah keberhasilan Aceh memperjuangkan tuntutan penerapan syariah, beberapa daerah mulai "mengokulasi" hukum tradisi agama tertentu ke dalam sistem hukum kita melalui penyisipan hukum agama tersebut dalam beberapa perda.

Nasionalisme

Perda terkait tentang praktik prostitusi di Tangerang, usaha-usaha sosialisasi perda lain di beberapa daerah, dan isu-isu seputar Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi mencerminkan bahwa proses penataan peraturan dan hukum yang mengatur kehidupan publik tidak didasarkan pada Undang- Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Dan, dengan demikian, tidak dilandasi visi dan komitmen untuk mewujudkan proses rasionalisasi nasionalisme. Sebaliknya, proses yang merusak rasa kesatuan berbangsa melalui penerapan syariah melalui jalur perda di berbagai daerah, yang merupakan strategi baru menyusul kegagalan menerapkan syariah dalam tingkat nasional, bisa dilihat sebagai irasionalisasi nasionalisme. Sebab, langkah- langkah tersebut secara pelan-pelan melumpuhkan rasa kesatuan dan soliditas sebagai sebuah bangsa.

Mandeknya rasionalisasi nasionalisme juga terjadi dalam proses pembangunan ekonomi nasional. Contoh yang paling gamblang adalah sikap-sikap dalam diskusi seputar ExxonMobil dan Freeport serta soal penyertaan modal asing dalam korporasi nasional. Dari banyak pendapat, nasionalisasi ekonomi hanya dipahami sebatas soal persentase pengelolaan proyek dan kepemilikan modal. Pemikiran tersebut menepikan persoalan yang lebih mendasar, bahwa nasionalisasi ekonomi itu terkait dengan usaha menyeluruh untuk membangun ekonomi berbasis kerakyatan.

Bukan hanya aktivitas ekonomi yang menyertakan dan menguntungkan masyarakat banyak, tetapi juga proses ekonomi yang disertai pembangunan infrastruktur menyeluruh. Jadi, bukan hanya masyarakat di Jawa atau di dekat pusat pemerintahan yang dirangkul, tetapi juga anggota masyarakat di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketimpangan pembangunan infrastruktur antara Pulau Jawa dan pulau- pulau lain dan mandeknya usaha untuk membangun ekonomi rakyat menuturkan bahwa pembangunan ekonomi nasional belum merupakan wujud dari rasionalisasi nasionalisme.

Biarpun korporasi nasional memegang mayoritas modal dan mendominasi seluruh proses dan teknik produksi dan distribusi, tetapi jika korporasi- korporasi tersebut hanya menjadi penyokong bahan-bahan mentah bagi perusahaan luar negeri dan hanya mengabdi kepentingan pemodal, hal ini tidak berbeda dengan struktur perekonomian di zaman kolonial, hanya pengelolanya sekarang dipegang oleh kaum "kolonialis" baru, yakni pemilik modal nasional.

Mandeknya pembangunan struktur sosial dan politik juga wujud dari macetnya proses rasionalisasi nasionalisme. Wajah dari gejala ini tampak melalui kurangnya penghargaan akan hak individu, terutama hak-hak kaum marginal dan minoritas di negara kesatuan Indonesia ini. Karena struktur merujuk pada pola relasi antara individu dan golongan atau komponen masyarakat, yang terkait dengan pemahaman nilai dan penghargaan akan hak-hak setiap warga negara, sikap arogan-anarkis dan sewenang-wenang dari komponen masyarakat tertentu terhadap anggota masyarakat yang lain mencerminkan pola relasi yang tidak didasarkan pada pemahaman akan kesetaraan hak setiap anggota masyarakat.

Pola relasi yang didasarkan pada penghargaan akan kesetaraan hak belum membudaya, belum lagi sikap dan komunikasi politik yang arogan dari penguasa dan lembaga-lembaga publik yang sering kali menafikan hak-hak warga negara. Absennya struktur sosial dan politik yang adil, yang mencerminkan kemandekan rasionalisasi nasionalisme, juga tercermin dalam komunikasi politik antara pemerintah pusat dan daerah, terlebih daerah-daerah yang jauh dari Jakarta. Jargon nasionalisme dimanfaatkan sebagai ideologi untuk mengontrol dan menertibkan, tanpa disertai usaha untuk menata pola relasi yang akomodatif, demokratis, dan mengedepankan rasa keadilan dan empati antara kekuasaan pusat dan daerah.

Belajar dari Hatta dan Sjahrir

Kesadaran akan perlunya rasionalisasi nasionalisme sudah muncul di benak para perintis negeri ini sejak kesadaran nasional mulai menggumpal. Dua tokoh sentral yang mempunyai perhatian mendalam akan kebutuhan rasionalisasi nasionalisme adalah Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Sebagai seorang ekonom zamannya, Hatta menggunakan analisis Marxis untuk menjelaskan realitas kolonialisme di Indonesia.

Menurut Hatta, kolonialisme merupakan konsekuensi logis dari perkembangan kapitalisme di Eropa, di mana modal yang hakikatnya menggelembung terus mencari pasar, penyuplai bahan mentah bagi aktivitas industri, dan pencarian akses untuk investasi ekspor modal. Bagi Hatta, kolonialisme bukan sekadar penindasan secara fisik-militer, tetapi juga merupakan dominasi tatanan ekonomi kaum imperial secara sistematis (JD Legge, Intellectuals and Nationalism in Indonesia, 22).

Menurut Hatta pula, langkah strategis untuk membangun kemandirian suatu bangsa dan strategi untuk mengusir dominasi penjajah adalah pembangunan tatanan ekonomi nasional secara sistematis, yang dalam benak Hatta adalah pembangunan tatanan ekonomi yang sesuai dengan kondisi budaya nasional, yang memperhitungkan peta geografis dan demografis, serta bertumpu pada kekuatan rakyat. Kepedulian Hatta bukan sekadar suatu perbaikan ekonomi yang memihak kepada rakyat, tetapi juga mencakup usaha-usaha untuk mematahkan dominasi-dominasi struktur ekonomi kolonial yang ada, yang diproduksi oleh dan mengabdi pada kepentingan pemodal/penjajah.

Menyimak jalan pikiran Hatta, maka langkah-langkah pemimpin nasional dewasa ini, yang hanya memahami "nasionalisasi" ekonomi sebagai langkah untuk mengakuisisi korporasi-korporasi asing tanpa disertai usaha untuk mematahkan struktur-struktur ekonomi yang melanggengkan dominasi modal asing, hanyalah merupakan parodi dari apa yang diproduksi oleh penjajah.

Sutan Sjahrir di pihak lain menegaskan bahwa rasionalisasi nasionalisme harus dijabarkan dalam bentuk usaha-usaha membangun struktur sosial dan politik nasional yang menumbuhkan sikap kesatuan, penghormatan akan kesetaraan hak dan kewajiban, dan pola relasi yang mengedepankan keadilan dan solidaritas bagi seluruh warga negara Indonesia. "Strategi budaya" yang bisa digunakan untuk membangun struktur sosial politik yang mencerminkan semangat nasionalisme adalah dunia pendidikan.

Karena itu, bagi Sjahrir, pembangunan pendidikan nasional berwawasan kebangsaan merupakan wujud rasionalisasi nasionalisme. Karena itu, pembangunan pendidikan harus lebih intensional. Berdasar keyakinan akan pentingnya pendidikan itulah Sjahrir rupanya turut membidani lahirnya Club Pendidikan Nasional Indonesia, yang merupakan penghimpunan kembali komunitas-komunitas anggota PNI lama yang tersebar di beberapa kota besar (JD Legge, 35).

Merenungkan kembali ide-ide yang pernah dicetuskan para intelektual kita, sembari menyimak realitas kehidupan ekonomi, politik, hukum, dan struktur sosial masyarakat kita, kita diajak untuk mengakui adanya kesembronoan sistematis yang dilakukan penguasa dalam mengelola kehidupan berbangsa kita.

Nasionalisme hanya dimaknai sebagai semangat kesatuan kebangsaan, belum dirasionalisasikan sebagai prinsip-prinsip kehidupan politik yang menyangga keselarasan antara kehidupan politik dan unit-unit yang membentuk kita bersama sebagai sebuah nasion (Ernest Gellner).

Ide-ide dasar dan cetak biru sudah ada. Haruskah kita meneruskan kesalahan ini?

Robertus Wijanarko Kandidat Doktor Filsafat di DePaul University, Chicago, AS

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home