| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, May 08, 2006,2:24 PM

Aksi Buruh dan Kambing Hitam

M Alfan Alfian M

Demonstrasi buruh yang mengagetkan dan merusak di Jakarta pada 3 Mei 2006 lalu mengundang ragam komentar. Dalam hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan dirinya telah mendapat masukan bahwa ada komponen bangsa, baik perseorangan, kelompok, maupun ikatan identitas yang lain, yang barangkali belum ikhlas, belum legowo, menerima hasil Pemilihan Umum 2004 lalu, yang mungkin berada di balik kerusuhan tersebut (Kompas, 4/5).

Komentar Presiden kemudian dipertegas kembali oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan Kepala Badan Intelijen Negara Sjamsir Siregar yang menuduh keterlibatan pihak tertentu, yang memprovokasi dan menunggangi aksi buruh tersebut (Kompas, 5/5).

Namun, sinyalemen tersebut segera menuai komentar balik dari berbagai pihak, yang menyatakan ketidaksetujuannya. Mantan Ketua MPR Amien Rais, misalnya, mengatakan komentar Presiden itu "sebagai hal yang sudah kuno dan tidak lebih dari imajinasi". Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjoguritno juga menilai analisis Presiden itu "ngawur".

Tentu saja pemerintah berhak khawatir atas menggejolaknya demonstrasi buruh yang destruktif, dan dapat mengarah pada tuntutan politik lebih jauh itu. Namun, komentar Presiden yang mengaitkan peristiwa itu dengan ketidakpuasan atas hasil Pemilu 2004 dapat menimbulkan kegelisahan selanjutnya, khususnya bagi kalangan elite politik yang selama ini kritis pada pemerintah, baik di dalam maupun di luar parlemen. Dan itu kontraproduktif.

Tantangan dan gejolak

Meskipun demikian, semua pihak pantas untuk melakukan introspeksi. Memimpin negeri yang berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa, dengan tingkat permasalahan yang rumit dan kompleks ini tentu tidak mudah. Baik kalangan buruh, pemerintah, maupun elite politik yang "menang" atau "kalah" dalam Pemilu 2004 tidak dapat tidak akan setuju dengan pernyataan tersebut. Siapa pun yang menjadi pemerintah di "masa suram" ini akan dihadapkan pada ragam tantangan dan gejolak.

Pemerintah telah mengupayakan "sekuat tenaga" iklim investasi yang kondusif di Tanah Air. Tentu, pemerintah akan kecewa dengan hal-hal yang dapat mengganggu upayanya itu. Karena tugas pemerintah amat berat, pihaknya selalu membutuhkan dukungan. Dukungan itu tak hanya dibutuhkan saat pemenangan pemilu saja, tetapi yang bersifat langgeng.

Saat ini pemerintah menghadapi situasi perekonomian yang tak mudah. Pengangguran yang meninggi dan anjloknya daya beli mampu membuat masyarakat mudah frustrasi dan "marah". Pemerintah harusnya menjadi pelipur lara dan pemotivator, bukan justru memunculkan komentar-komentar yang membikin blunder. Destruktivitas berbagai demonstrasi politik belakangan, utamanya di Tuban, dan daerah- daerah lain, tidak dapat semata dipandang dari sisi teori konspirasi dan "penunggang gelap". Ia harus dilihat secara komprehensif.

Lontaran Presiden di atas dapat dipahami dalam konteks tinjauan positif (positive thinking). Hanya saja, sayangnya lontaran tersebut segera memunculkan efek politis yang cenderung negatif. Presiden seolah telah membuka front, pada saat pemerintah menginginkan dukungan politik seluas mungkin.

Maka, seyogianya pemerintah tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan sinikal yang kontraproduktif. Apalagi pernyataan yang diklaim didasarkan pada data intelijen dan dipakai sebagai bahan lontaran yang sengaja atau tidak terkait dengan serangan psikologis bagi "lawan-lawan politiknya". Selain kontraproduktif, pernyataan demikian mampu memicu resistansi yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Pemerintah dapat dituduh telah menjalankan cara berpolitik yang otoritarian.

Kemampuan merespons kritik

Ada baiknya pemerintah melalukan pendekatan yang lebih simpatik dan empatik. Tiap hari, bahkan pada "masa-masa normal", pemerintah selalu dihadapkan pada sejumlah kritik. Itu biasa. Kemampuan merespons kritik akan menjadi ukuran sejauh mana pemerintah dewasa dalam berdemokrasi. Komunikasi politik yang baik itu mutlak dan berlaku bagi semua elite politik. Keseimbangan politik akan tetap terjaga apabila manajemen konflik dipahami semua pihak.

Keberhasilan pemerintah juga akan diukur oleh kemampuannya memberikan motivasi bagi rakyat di tengah-tengah tingkat kesukaran hidup yang meningkat. Pemerintah dituntut dewasa. Bukan suka mencari kambing hitam.

M ALFAN ALFIAN M Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home