| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, May 08, 2006,2:27 PM

Berada di Titik Nadir, Siapa Bertanggung Jawab?

Terry Mart

Akhir-akhir ini Kompas mensinyalir bahwa iptek Indonesia sudah mencapai titik nadir. Lembaga-lembaga penelitian kita sudah termarjinalisasi, suatu fenomena yang dapat langsung dilihat dari rendahnya kualitas hasil riset.

Timbul pertanyaan, apa atau siapa yang menyebabkan hal ini? Jawabnya mungkin banyak, tetapi jika kita mau jujur, kita semualah penyebabnya. Komunitas ilmiah dan masyarakat umum telah bahu-membahu menekan kualitas riset.

Suatu hari saya melihat booklet pidato pengukuhan guru besar salah satu universitas terbesar di republik ini. Meski tidak sepenuhnya terkejut, saya kecewa dengan daftar publikasi ilmiah sang guru besar. Selain jumlah publikasi yang minim, tertera juga sederet laporan penelitian biasa yang dianggap sebagai publikasi ilmiah. Jelas hal ini tidak benar sebab laporan penelitian semacam ini tidak memenuhi kualifikasi publikasi ilmiah. Seberkas publikasi ilmiah harus ditulis dalam format yang kompak namun lengkap (concise), melalui pemeriksaan ketat tim juri (referee) yang akan membaca hingga setiap kata, dan dapat diakses oleh masyarakat luas kapan pun (published). Ironis jika seorang guru besar yang merupakan ujung tombak riset di universitas tidak mengetahui hal ini.

Dalam suatu kesempatan tatap muka dengan perwakilan guru besar sekitar dua tahun lalu, dibahas keprihatinan atas kekosongan guru besar di salah satu departemen. Selanjutnya diungkapkan bahwa tidak sulit menjadi guru besar asalkan mau mengikuti "aturan main" yang ada. Malangnya, aturan main ini tidak mendukung perbaikan kualitas riset nasional. Bahkan, ada kemungkinan aturan main ini dapat "diakali" sehingga cita-cita menjadi guru besar dan peneliti menjadi dua hal yang tidak sejalan. Lebih ironis lagi, keinginan para insan ilmiah untuk menyandang status guru besar akhir-akhir ini sudah mulai mengalahkan akal sehat, melupakan esensi serta tanggung jawab guru besar yang sebenarnya sangat berat.

Dukungan masyarakat dan industri juga tidak kalah besarnya. Masyarakat hanya memerlukan perguruan tinggi sebagai lembaga pencetak gelar. Semakin mudah memperoleh gelar, semakin banyak peminatnya. Sementara itu, pihak industri semata-mata bertindak sebagai "pedagang" teknologi. Teknologi dibeli dari luar, dipermak, kemudian dipasarkan di dalam negeri bak barang asongan. Sedikit sekali, jika tidak boleh dikatakan tidak ada, motivasi untuk mengembangkan sendiri teknologi melalui riset. Mungkin, hal ini dipicu oleh motivasi menggandakan uang secepat mungkin, sementara hasil riset yang ditawarkan para peneliti umumnya berkualitas rendah.

Riset berbasis kompetensi

Melihat problem di atas, maka sebaiknya penetapan tema riset unggulan nasional didasarkan pada kompetensi SDM kita sebab kita dihadapkan pada persaingan global. Riset harus menghasilkan sesuatu yang baru secara universal. Jika di satu bidang kita tidak memiliki SDM yang kompeten untuk melaksanakannya, argumentasi untuk tetap bertahan di sana terlalu lemah.

Pemerintah sebaiknya segera memetakan kekuatan SDM yang ada sebelum menetapkan kriteria riset unggulan. Jika tidak, kemungkinan triliunan rupiah yang dialokasikan hanya akan berakhir sebagai laporan riset yang bertumpuk di kantor-kantor birokrat, berdebu, dimakan rayap, dan akhirnya dibuang ke dalam tong sampah. Tentu saja hal ini tidak sepenuhnya benar untuk riset-riset strategis.

Kolaborasi internasional

Harus diakui bahwa cara paling efektif untuk mendongkrak kualitas riset adalah melalui kolaborasi internasional karena para peneliti akan dipaksa untuk melakukan riset berkualitas dan belajar dari kolega mereka yang jauh lebih mapan.

Namun, patut disadari juga bahwa menjalin kerja sama internasional bukanlah hal mudah, terutama jika kita ingin bekerja sama dengan kelompok peneliti dari universitas papan atas di negara maju, seperti Amerika, Jepang, dan Eropa, yang selain memiliki sumber dana besar juga telah memiliki SDM unggul.

Meski demikian, kita masih dapat berharap dari beberapa institusi riset mapan yang memiliki program-program bantuan (charity) bagi peneliti dari negara berkembang. Pilihan selanjutnya tentu saja dengan second-class university, yang jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.

Kesalahan utama kita di sini adalah seringnya menilai keberhasilan kerja sama riset dari jumlah MOU. MOU merupakan payung hukum yang tentu saja diperlukan jika telah memiliki infrastruktur. Namun, payung-payung tersebut sering dibuat tanpa mempersiapkan dahulu apa yang akan dipayungi. Kerja sama yang bersifat individual mungkin lebih tepat saat ini karena jauh lebih fleksibel dan efisien. Jika secara kualitas dan kuantitas kerja sama semacam itu telah meningkat dan memerlukan koordinasi formal, barulah MOU diperlukan.

Tim reviewer (juri proposal) memegang peranan vital dalam menentukan mati hidupnya ruh riset. Ibarat hakim, tim ini berhak memutuskan mati hidupnya kelompok riset tertentu atau bahkan mengakhiri karier peneliti. Sangat disayangkan perhatian pemerintah untuk memperbaiki kinerja tim ini sangat kurang.

Dapat dibayangkan jika, akibat ketidakprofesionalan tim, proposal riset hanya dinilai dari formatnya, sementara esensi riset yang ditawarkan tidak dimengerti sama sekali.

Kriteria riset yang baik sangat diperlukan untuk memperbaiki mutu riset nasional. Agak sulit untuk mendapatkan kriteria baku bagi semua disiplin ilmu, tetapi untuk bidang sains dan teknologi tampaknya riset yang baik akan menghasilkan paling tidak satu dari tiga poin berikut: (1) produk atau inovasi baru yang dapat langsung dipakai oleh industri (bukan hanya sebatas prototipe), (2) paten, atau (3) publikasi di jurnal internasional.

Campur tangan pemerintah

Dari argumen di atas terlihat pentingya campur tangan pemerintah dalam memperbaiki mutu riset nasional. Pemerintah sebaiknya segera memetakan "kekuatan" peneliti-peneliti kita dan meninjau ulang definisi riset unggulan nasional. Para peneliti harus difasilitasi untuk menjalin kerja sama riset internasional secara individual, sementara strategi penjaringan proposal riset sudah saatnya direvisi.

Selain apresiasi terhadap para peneliti harus ditingkatkan melalui peningkatan alokasi dana riset, masyarakat ilmiah dan umum juga harus dididik untuk lebih mendahulukan esensi riset ketimbang embel-embel formalitas yang saat ini lebih banyak dikejar.

Terry Mart Lektor Golongan IIIB pada Departemen Fisika FMIPA UI

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home