| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, May 08, 2006,2:27 PM

Keadilan Sosial Pangkal Keamanan Nasional

Juwono Sudarsono

Keamanan nasional lazimnya dikaitkan dengan jumlah dan kualitas aparat hukum, keamanan, dan pertahanan yang bertugas menyelenggarakan ketertiban umum dan menjaga keutuhan negara.

Tingkat keamanan nasional biasanya dihitung dari persentase anggaran pertahanan dan keamanan terhadap anggaran belanja pemerintah. Atau dari rasio antara jumlah penduduk dan jumlah petugas keamanan; jumlah dan jenis alat serta sistem senjata yang dimiliki oleh aparat penegak hukum (ketenteraman dan ketertiban, polisi, jaksa, pengadilan) dan tentara (jumlah pasukan, kapal perang, pesawat terbang).

Akan tetapi, paham dasar sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Pasal 30 UUD Negara 1945) mengandung makna bahwa setiap warga negara berhak dan wajib dalam "bela negara" dalam arti luas. Komponen utama pertahanan dan keamanan negara adalah TNI dan Polri; komponen pendukung dan komponen cadangan adalah rakyat. Dalam hal pertahanan nir- militer, peran rakyat menjadi yang utama.

Merata dan meluas

Karena itu, "keamanan nasional" perlu lebih ditinjau dari segi derajat rasa keadilan sosial yang merata dan meluas. Sebab, keamanan nasional tidak serta-merta wujud dari penambahan kekuatan personel TNI dan Polri maupun dari jumlah alat dan perangkat fisik yang dimilikinya.

Keamanan nasional yang sejati akan tercapai apabila keadilan sosial semakin dinikmati oleh bagian terbesar masyarakat di seluruh pelosok Tanah Air. Keamanan nasional akan lebih langgeng apabila bagian terbesar masyarakat kita makin mengenyam kebutuhan manusia akan hal-hal yang mendasar: sandang, pangan, hunian yang layak bagi manusia, akses pada air bersih, aliran listrik yang mantap, layanan kesehatan, dan peluang memperoleh kesempatan kerja.

Itulah sebabnya tugas pokok pemerintah adalah mengupayakan agar dalam waktu yang sesingkatnya segala hal yang bertalian dengan kebutuhan dasar manusia itu semakin terpenuhi oleh semakin banyak anggota masyarakat di seluruh pelosok Tanah Air. Keamanan nasional tak akan terwujud apabila ketimpangan sosial dalam hal kebutuhan dasar semakin tajam.

Para ahli di lembaga riset maupun pengamat sosial pada umumnya sepakat bahwa sekitar 36 juta rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bahwa 9,8 juta mengalami pengangguran terbuka. Bahwa sekitar 15 juta keluarga (lebih kurang 60 juta warga) masih memerlukan bantuan subsidi tunai langsung. Dari 215 juta penduduk, sekitar 100 juta-105 juta orang masih belum layak untuk hidup sebagai manusia yang bermartabat. Mereka belum merasakan "keamanan nasional".

Bagi sebagian besar 100 juta- 105 juta orang Indonesia itu, ungkapan-ungkapan tentang "demokrasi", "hak asasi manusia", "te- gaknya hukum", apalagi "keamanan nasional", hanyalah ajakan yang didengungkan kalangan atas yang sudah mampu dan mapan. Karena yang mapanlah mampu menikmati demokrasi, hak asasi manusia, tegaknya hukum, apalagi keamanan nasional. Stabilitas dan keamanan nasional dinikmati oleh mereka yang telah berpakaian cukup, mampu makan tiga kali sehari, memiliki hunian yang layak, listrik cukup, air minum bersih dan sehat, memiliki tabungan untuk pendidikan anak-anaknya.

Dari berbagai peristiwa kerusuhan, gejolak, dan "gangguan keamanan" selama 1998-2005 terakhir ini, jelaslah bahwa amarah, putus asa, dan kegusaran itu bermuara pada situasi memilukan yang diderita oleh separuh jumlah penduduk yang ingin keluar dari "lingkaran setan" kemiskinan, kebodohan, dan kehampaan harapan.

Apabila kehidupan dirasakan "kurang adil", di situlah terpicu kecemburuan sosial. Ada rasa takut kehilangan martabat dan tidak punya harapan perbaikan nasib sepanjang sisa hidupnya. Sebagian dari mereka menyalurkannya melalui letupan unjuk rasa yang kerap mengarah pada perusakan sarana umum ataupun perlawanan terhadap instansi pemerintah, baik aparat hukum, kepolisian, maupun militer.

Sebagian lagi mudah tertarik pada paham radikal atau populis, baik yang bersumber pada ajaran sekuler maupun ajaran keagamaan yang tafsirannya dipelintir guna membenarkan tindak kekerasan, perusakan, atau penyerangan terhadap anggota masyarakat lain yang dianggap kurang peduli pada nasib mereka.

Keadilan sosial tidaklah berarti bahwa setiap anggota masyarakat yang 215 juta menikmati tingkat kesejahteraan dan kekayaan akan hak milik yang sama. Keadilan sosial adalah keadaan di mana kebutuhan dasar sebagai landasan "persamaan hak" kebebasan sipil dan politik semakin ditunjang oleh peningkatan "pemerataan efektif" hak ekonomi, sosial, dan budaya. Orang yang bebas dalam artian "hak sipil dan hak politik", tetapi tidak didukung oleh kemampuan nyata di bidang ekonomi, sosial, dan budaya" adalah orang yang "bebas" untuk "berteriak sampai serak". Namun, mereka tetap terbelenggu dalam lingkaran kelaparan, kenistaan, dan pengangguran. Demokrasi, tegaknya hukum, dan hak asasi hanya bermakna bila kebutuhan dasar ekonomi, sosial, dan budaya memberi isi terhadap makna hak sipil dan hak politik.

Bukan "lari cepat"

Dalam penjelasan kepada sidang pertama Kabinet Indonesia Bersatu pada 22 Oktober 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggariskan bahwa prioritas utama program pemerintah adalah mengurangi tingkat kemiskinan "menjadi separuh dari situasi sekarang ini". Hal yang ditegaskannya adalah bahwa upaya mengatasi kemiskinan adalah suatu upaya "maraton"—bukan "lari cepat"—yang memerlukan keteguhan dan kerja sama semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, selama lima tahun pertama, 2004-2009.

Dalam kiasan "maraton" ialah kenyataan bahwa upaya membangun sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial-budaya yang menghadirkan keadilan sosial memerlukan jangka waktu sekurang-kurangnya lima tahun sebagai langkah awal. Diperlukan pertumbuhan ekonomi makro sedapat-dapatnya 6 persen atau lebih setahun. Diperlukan investasi di sektor manufaktur secara berlanjut agar sebagian dari 36 juta yang di bawah garis kemiskinan dapat masuk ke dalam angkatan kerja. Diperlukan penegakan hukum yang konsisten dan berlanjut agar " hukum" semakin bermakna bagi orang yang baru keluar dari kemelut kemiskinan dan ketiadaan harapan.

Diperlukan juga kepemimpinan nasional, provinsial, dan lokal yang tidak hanya "bercitra " hidup sederhana, tetapi yang sungguh-sungguh berpola hidup sahaja. Hanya dengan demikianlah anggota masyarakat di lapisan bawah yakin bahwa pengorbanan dan penderitaan mereka alami setidaknya dirasakan bersama secara batin oleh kalangan atas yang berkecukupan. Hanya dengan demikianlah kualitas kebersamaan antara kalangan atas dan kalangan bawah menjadi pengisi dari semboyan bahwa "keadilan sosial pangkal keamanan nasional".

Juwono Sudarsono Menteri Pertahanan

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home