| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, May 11, 2006,12:08 AM

Politik Jubah Kotor

SUKARDI RINAKIT

Jubah republik sudah kotor. Tanda-tandanya, antara lain, ada ormas tukang intimidasi, pengangguran meningkat, petani pilu mencari pupuk, korban SUTET menjahit mulut, korupsi merajalela, wabah penyakit dan kelaparan mengimpit rakyat, muncul rencana undang-undang aneh, dan pejabat gemar mencari kambing hitam.

Ketika tanda-tanda itu saya kemukakan ke publik, banyak pihak menambahkan, peristiwa alam yang aneh juga harus diperhitungkan. Gunung Merapi siap meletus, Tuban rusuh (simbolisasi dari air ketuban wanita hamil yang sudah pecah), banjir bandang membelah Trenggalek, dan lain- lain. Saya menolak usulan itu. Adalah problematik jika klenik diikutkan dalam analisis politik.

Tanpa dibumbui klenik sekalipun, tampak nyata, jubah republik sudah kotor. Jika kondisi itu dibiarkan berlarut, jubah itu akan segera robek. Kehidupan rakyat akan kian berat dan sengsara. Hal itu disebabkan negara telah gagal menjalankan peranannya baik sebagai entitas politik maupun sebagai penjamin keadilan, keamanan, dan kesejahteraan rakyat. Gagal menyelamatkan perikemanusiaan.

Problem kepemimpinan

Dalam bahasa yang lugas, sebab utama dari kotornya jubah republik adalah ketidaktegasan kepemimpinan. Dalam kasus ormas intimidator dan RUU Antipornografi dan Pornoaksi, misalnya, sikap Presiden tidak tegas.

Saya yakin, jika Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Sjahrir menghadapi dinamika politik yang sama, mereka akan segera berdiri tegak dan berteriak lantang, "Republik Indonesia tidak didirikan dan dibangun atas dasar suku, agama, dan ras, karena itu, semua yang aneh-aneh seperti itu harus bubar."

Jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meyakini bahwa republik tidak didirikan atas dasar unsur-unsur sektarian seperti itu, ketegasan kepemimpinan perlu ditunjukkan. Presiden tidak perlu ragu karena tindakan itu merupakan sikap politik yang bersumber dari nuraninya.

Selain itu, dia adalah pemegang mandat rakyat sehingga mempunyai hak untuk mengambil tindakan-tindakan luar biasa demi kepentingan rakyat.

Presiden harus ingat, mandat itu adalah harapan rakyat. Para letnan Presiden, yaitu para pembantu dan orang-orang yang berada di lingkaran dalam Presiden, harus juga ingat bahwa mandat itu bukan dukungan politik, seperti yang selama ini mereka pahami. Jadi dipilih oleh 60 persen pemilih adalah sekadar persentase harapan. Bukan dukungan politik. Singkatnya, gagal melaksanakan mandat berarti ujung akhir dari sebuah kekuasaan.

Karena itu, apabila Presiden tidak bisa mengelola harapan rakyat, tidak tertutup kemungkinan mereka akan menarik mandat itu kapan saja. Dalam konteks ini, tameng hukum yang mengatur pergantian kepemimpinan secara reguler lima tahunan akan jebol menghadapi gelombang rakyat yang membuncah tak putus-putus.

Membersihkan jubah

Meremehkan gerak politik dengan mengatakan bahwa saat ini tidak ada tokoh yang lebih baik daripada Presiden adalah sikap yang berbahaya. Sejarah selalu bertutur, ketika keadaan memaksa, tokoh yang diharapkan itu muncul begitu saja. Karena itu, para letnan Presiden sebaiknya menggeser titik berat peran yang dilakoninya, dari penghibur ke pengkritik Presiden. Mereka harus sadar, politik sering bergerak tidak linier, utamanya saat popularitas Presiden kian menurun.

Saat ini, meski tanpa ditelisik jajak pendapat sekalipun, popularitas Presiden memang merosot. Presiden dianggap terlalu banyak berwacana dibandingkan bertindak. Selain itu, juga terlalu memberi perhatian pada hal-hal kecil, seperti menegur kepala sekolah SD karena kamar mandi di sekolahnya kotor daripada menemui para tokoh yang ingin memberi masukan. Akibatnya, Presiden tidak mampu membangun visi dan mimpi bersama bangsa.

Semua itu mempercepat jamur di jubah republik berkembang cepat. Jubah menjadi kian kotor jika tidak segera dicuci.

Keberanian untuk menyerempet-nyerempet bahaya, seperti para founding father. Ketokohan yang tegak ibarat politisi Perancis Alexandre Auguste Ledru-Rollin (1807-1874), yang berdiri tegak dan mengatakan, "Ah, well! I am their leader, I really had to follow them!".

Tanpa perubahan sikap kepemimpinan—dan berani menjunjung kepribadian sosiodemokrasi dan sosionasionalisme yang digagas Soekarno (1932)—jubah republik bisa robek kapan saja.

Karena itu, jangan meremehkan buruh. Jika gerakan mereka nantinya didukung mahasiswa dan massa rakyat, secara politik mereka berhak mengatasnamakan rakyat. Artinya, mereka memegang kewenangan untuk meminta kembali mandat yang dititipkan kepada Presiden.

Catatan penutup

Berkat ajaran sufi guru saya, "Syekh Siti Jenar" (Profesor Munir Mulkan dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta), yang menekankan pada kepasrahan, eling lan waspada, secara pribadi saya amat tidak setuju dengan gerakan politik semacam itu. Pergantian kekuasaan di tengah jalan selalu berisiko kerusuhan dan berpotensi menyeret militer masuk kembali ke ranah politik. Lebih celaka lagi, rakyat bisa tidak percaya lagi pada demokrasi.

Namun, momentum sejarah tidak bisa diatur-atur. Apa yang bisa dilakukan Presiden adalah memberi hati, penghargaan, dan ketegasan pada perikemanusiaan. Dengan cara itu, mungkin angin sejarah akan berbelok dan memberi napas panjang pada Presiden. Namun, jika tidak, setidaknya ada perubahan karakter kepemimpinan yang bisa dicatat anak bangsa. Untuk pelajaran generasi masa depan tentu saja.

SUKARDI RINAKIT Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home