| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, May 09, 2006,3:12 PM

Pangkostrad dan Hubungan Sipil-Militer

EDY PRASETYONO

Mayor Jenderal (TNI) Erwin Sudjono diangkat menjadi Panglima Kostrad menggantikan Letjen TNI Hadi Waluyo. Pengangkatan ini melahirkan sejumlah kontroversi karena Mayor Jenderal Erwin Sudjono masih dalam lingkaran keluarga besar Presiden Yudhoyono.

Meskipun sudah dijelaskan bahwa yang bersangkutan adalah prajurit profesional yang telah lama berkiprah di Kostrad, banyak kalangan dengan penuh curiga melihat pengangkatan ini sebagai langkah politik Presiden Yudhoyono untuk menghadapi Pemilihan Umum 2009.

Hubungan sipil-militer

Sejumlah kontroversi tersebut disebabkan oleh hubungan sipil- militer yang masih diwarnai oleh kecurigaan di antara kedua belah pihak. Reformasi sektor keamanan yang bergulir sejak 1998/1999 memang telah membawa beberapa perubahan positif pada tingkat kebijakan dan kerangka legal-institusional yang mengakui supremasi otoritas politik atas institusi militer. Bahkan, beberapa masalah TNI kini lebih terbuka dibicarakan oleh publik.

Namun, kerangka kebijakan dan penataan legal-institusional tersebut belum sepenuhnya ditransformasi ke dalam sistem yang mapan. Banyak ketentuan legal yang belum diimplementasi secara operasional. Tidak mengherankan bahwa reformasi sektor keamanan masih bergulat dengan perdebatan tentang hubungan Mabes TNI-Dephan, pengangkatan panglima, RUU Keamanan Nasional, RUU tentang Peradilan Militer, dan sebagainya.

Tak boleh dicampuri

Salah satu tujuan pokok reformasi TNI adalah untuk menciptakan suatu TNI yang profesional, tangguh, dan andal. Secara ideologis-politis tujuan ini mensyaratkan lepasnya TNI dari kepentingan serta kegiatan politik dan bisnis/ekonomi. Secara operasional-teknis, profesionalisme mensyaratkan adanya organisasi dan mekanisme promosi/pengaderan internal TNI yang sampai pada tingkat tertentu tidak boleh dicampuri pihak eksternal, termasuk dalam hal pengangkatan suatu jabatan dalam organisasi TNI. Bahkan jabatan panglima sebenarnya adalah hak prerogatif Presiden yang tidak membutuhkan persetujuan politik DPR. Pengaderan dan promosi jabatan TNI harus terbebas dari masalah dan pertimbangan politik.

Hal ini harus disadari, baik oleh TNI maupun oleh sipil/politisi pemegang kekuasaan politik. Para petinggi TNI tidak boleh membuat cantolan politik untuk memperoleh posisi strategis dalam tubuh TNI. Para politisi juga tidak boleh menjanjikan jabatan- jabatan kepada perwira TNI untuk memperoleh dukungan politik. Inilah salah satu semangat dari Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Intervensi yang terlalu besar dalam masalah-masalah teknis- operasional dalam tubuh TNI dapat melahirkan ketidakpercayaan TNI terhadap sipil/otoritas politik. Pada titik ekstrem keadaan ini bisa melahirkan ketidakpercayaan kepada sistem politik. Justru yang harus dilakukan oleh otoritas politik adalah meningkatkan kemampuan kontrol mereka atas institusi militer sesuai dengan kewenangannya.

Langkah-langkah bertahap dan komprehensif, bukan reaktif dan ad hoc, harus terus dilakukan untuk meletakkan dan menciptakan sistem pengawasan secara demokratis atas militer. Jika hal ini dapat dilakukan, tidak perlu ada kekhawatiran terhadap perubahan dan promosi personel dalam tubuh TNI, termasuk dalam kasus pengangkatan Panglima Kostrad yang baru.

Di sisi lain TNI juga harus menunjukkan komitmen kuat untuk melakukan reformasi internal. Pekerjaan rumah masih sangat banyak yang jika tidak diselesaikan akan melahirkan ketidakpercayaan di pihak lain. Penataan pada semua aspek ini akan memberikan kepercayaan kepada publik bahwa TNI akan lebih profesional dan tidak berpolitik.

Kepentingan politik

Ke depan, semua pihak harus kembali pada komitmen untuk menciptakan TNI yang bebas dari kepentingan politik dan korporasi ekonomi TNI. Kita tidak ingin melihat TNI sebagai tentara politik dan tentara niaga yang justru akan menjerumuskan TNI ke dalam permainan politik seperti yang terjadi di masa Orde Baru.

Harus disadari bahwa reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998 ditujukan untuk melindungi TNI dari petualang-petualang politik. Karena itulah semua pihak harus memahami ranah kewenangan masing-masing institusi ataupun pelaku.

Edy Prasetyono Ketua Departemen Hubungan Internasional, CSIS, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home