Nasionalisme Politik dan Globalisasi
Tata Mustasya
Semangat antiglobalisasi sedang marak di berbagai negara. Bukan hanya di negara-negara berkembang yang kerap menjadi "ikon" ketertindasan ekonomi, tetapi juga di negara-negara maju.
Bentuk yang sedang populer adalah penolakan terhadap masuknya investor asing sebagai pemilik perusahaan besar. Alasannya, perusahaan tersebut bersifat strategis sehingga beralihnya sebagian kepemilikan ke investor asing akan mengancam kepentingan nasional. Pemerintah Perancis menghambat pengambilalihan perusahaan energi, Suez, oleh perusahaan energi Italia, Enel. Di Italia bank sentral berusaha menghalangi, walaupun gagal, pembelian sebuah bank bernama Antonveneta oleh bank dari Belanda, ABN AMRO. Sementara itu, Amerika Serikat menghentikan proposal pengambilalihan fasilitas pelabuhan oleh perusahaan dari Uni Emirat Arab.
Bagaimana posisi Indonesia dalam kecenderungan seperti itu? Apakah dampak globalisasi terhadap kesejahteraan masyarakat?
Nasionalisme politik
Semangat nasionalisme dan antiglobalisasi yang muncul sebenarnya serbasemu. Kebijakan yang dibuat lebih merupakan "nasionalisme politik". Tujuan utamanya, populisme untuk menarik simpati publik, bukan penyikapan terhadap kemudaratan globalisasi.
Di Perancis PM Dominique De Villepin hanya mengobarkan semangat kiri ketika berhadapan dengan pelaku ekonomi asing. Di luar itu dia menerapkan kebijak- an kanan, misalnya, usahanya menerapkan undang-undang yang mendukung fleksibilitas pasar tenaga kerja dan privatisasi perusahaan pemerintah.
Di Indonesia politisi terkesan antipasar dan antiasing ketika tidak menjadi pembuat kebijakan. Sebaliknya, ketika menjabat, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif, mereka sangat kompromistis. Fakta menunjukkan, beberapa tokoh politik yang mengkritik keberadaan investasi asing di Indonesia tidak melakukan apa pun ketika menduduki jabatan penting. Ada juga tokoh politik yang getol menentang privatisasi, tetapi sama getolnya memprivatisasi BUMN ketika menjadi pengambil kebijakan.
Isu-isu nasionalisme ampuh digunakan para politisi dalam posisi berbeda. Pertama, sebagai pengambil kebijakan, isu ini dapat mengalihkan ketidakpuasan publik terhadap buruknya kinerja pemerintah. Kedua, sebagai oposisi, isu ini dapat menarik simpati publik sekaligus mendelegitimasi lawan politik.
Newsweek edisi 20 Maret 2006 memberikan gambaran yang sangat tepat mengenai hal ini. Manfaat globalisasi bersifat tidak tampak (invisible) di mata orang kebanyakan. Sebaliknya, "ancaman asing" begitu terlihat nyata (visible). Jika politisi ingin memimpin, mereka harus menyampaikan hal yang menarik dan mudah dipahami pemilih.
Indonesia memerlukan kebijakan yang tepat menghadapi globalisasi. Dasarnya adalah pemahaman keterkaitan globalisasi dengan kesejahteraan publik: apakah menguntungkan (better-off) atau merugikan (worse-off)?
Buka peluang pasar baru
Secara umum, globalisasi memengaruhi perekonomian lewat dua hal. Pertama, melalui perdagangan internasional dalam bentuk ekspor dan impor. Kedua, melalui arus modal dalam bentuk pinjaman dan investasi antarnegara.
Ekspor membuka peluang pasar baru di luar negeri dengan harga yang lebih tinggi. Ini tidak hanya berlaku bagi pengusaha- pengusaha besar, tetapi juga pengusaha kecil di pedesaan. Terbukanya pasar ekspor tanaman hias di beberapa negara Asia Timur, misalnya, telah menumbuhkan perekonomian dan kesempatan kerja di daerah pedesaan di Cianjur dan Sukabumi.
Haruskah pemerintah menghambat impor yang sering menyingkirkan industri dalam negeri? Fakta menunjukkan, negara yang mengembangkan industri dengan strategi substitusi impor (orientasi dalam negeri) gagal membangun perekonomiannya. Sebaliknya dengan negara seperti Korea Selatan yang menerapkan strategi promosi ekspor (orientasi pasar internasional).
Pemerintah juga harus melihat manfaat masuknya investasi asing untuk menutupi kekurangan modal pembangunan sehingga tak harus memperoleh pinjaman luar negeri dalam jumlah besar.
Tentu saja pelaku ekonomi akan "tunggang langgang" mengikuti dinamika ekonomi internasional. Sektor yang tadinya merupakan primadona bisa tiba-tiba tersingkir oleh produk impor. Namun, hanya dengan kompetisi perekonomian yang kuat bisa tumbuh. Namun, pemerintah harus menyediakan mekanisme pengaman bagi "si kalah", penegakan hukum, dan grand design pembangunan ekonomi.
Intinya, jangan mengambinghitamkan globalisasi dengan menggunakan jargon nasionalisme. Manfaatkanlah globalisasi secara obyektif sebagai kesempatan untuk memperbaiki kesejahteraan publik.
Tata Mustasya Peneliti Ekonomi Politik di The Indonesian Institute
Semangat antiglobalisasi sedang marak di berbagai negara. Bukan hanya di negara-negara berkembang yang kerap menjadi "ikon" ketertindasan ekonomi, tetapi juga di negara-negara maju.
Bentuk yang sedang populer adalah penolakan terhadap masuknya investor asing sebagai pemilik perusahaan besar. Alasannya, perusahaan tersebut bersifat strategis sehingga beralihnya sebagian kepemilikan ke investor asing akan mengancam kepentingan nasional. Pemerintah Perancis menghambat pengambilalihan perusahaan energi, Suez, oleh perusahaan energi Italia, Enel. Di Italia bank sentral berusaha menghalangi, walaupun gagal, pembelian sebuah bank bernama Antonveneta oleh bank dari Belanda, ABN AMRO. Sementara itu, Amerika Serikat menghentikan proposal pengambilalihan fasilitas pelabuhan oleh perusahaan dari Uni Emirat Arab.
Bagaimana posisi Indonesia dalam kecenderungan seperti itu? Apakah dampak globalisasi terhadap kesejahteraan masyarakat?
Nasionalisme politik
Semangat nasionalisme dan antiglobalisasi yang muncul sebenarnya serbasemu. Kebijakan yang dibuat lebih merupakan "nasionalisme politik". Tujuan utamanya, populisme untuk menarik simpati publik, bukan penyikapan terhadap kemudaratan globalisasi.
Di Perancis PM Dominique De Villepin hanya mengobarkan semangat kiri ketika berhadapan dengan pelaku ekonomi asing. Di luar itu dia menerapkan kebijak- an kanan, misalnya, usahanya menerapkan undang-undang yang mendukung fleksibilitas pasar tenaga kerja dan privatisasi perusahaan pemerintah.
Di Indonesia politisi terkesan antipasar dan antiasing ketika tidak menjadi pembuat kebijakan. Sebaliknya, ketika menjabat, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif, mereka sangat kompromistis. Fakta menunjukkan, beberapa tokoh politik yang mengkritik keberadaan investasi asing di Indonesia tidak melakukan apa pun ketika menduduki jabatan penting. Ada juga tokoh politik yang getol menentang privatisasi, tetapi sama getolnya memprivatisasi BUMN ketika menjadi pengambil kebijakan.
Isu-isu nasionalisme ampuh digunakan para politisi dalam posisi berbeda. Pertama, sebagai pengambil kebijakan, isu ini dapat mengalihkan ketidakpuasan publik terhadap buruknya kinerja pemerintah. Kedua, sebagai oposisi, isu ini dapat menarik simpati publik sekaligus mendelegitimasi lawan politik.
Newsweek edisi 20 Maret 2006 memberikan gambaran yang sangat tepat mengenai hal ini. Manfaat globalisasi bersifat tidak tampak (invisible) di mata orang kebanyakan. Sebaliknya, "ancaman asing" begitu terlihat nyata (visible). Jika politisi ingin memimpin, mereka harus menyampaikan hal yang menarik dan mudah dipahami pemilih.
Indonesia memerlukan kebijakan yang tepat menghadapi globalisasi. Dasarnya adalah pemahaman keterkaitan globalisasi dengan kesejahteraan publik: apakah menguntungkan (better-off) atau merugikan (worse-off)?
Buka peluang pasar baru
Secara umum, globalisasi memengaruhi perekonomian lewat dua hal. Pertama, melalui perdagangan internasional dalam bentuk ekspor dan impor. Kedua, melalui arus modal dalam bentuk pinjaman dan investasi antarnegara.
Ekspor membuka peluang pasar baru di luar negeri dengan harga yang lebih tinggi. Ini tidak hanya berlaku bagi pengusaha- pengusaha besar, tetapi juga pengusaha kecil di pedesaan. Terbukanya pasar ekspor tanaman hias di beberapa negara Asia Timur, misalnya, telah menumbuhkan perekonomian dan kesempatan kerja di daerah pedesaan di Cianjur dan Sukabumi.
Haruskah pemerintah menghambat impor yang sering menyingkirkan industri dalam negeri? Fakta menunjukkan, negara yang mengembangkan industri dengan strategi substitusi impor (orientasi dalam negeri) gagal membangun perekonomiannya. Sebaliknya dengan negara seperti Korea Selatan yang menerapkan strategi promosi ekspor (orientasi pasar internasional).
Pemerintah juga harus melihat manfaat masuknya investasi asing untuk menutupi kekurangan modal pembangunan sehingga tak harus memperoleh pinjaman luar negeri dalam jumlah besar.
Tentu saja pelaku ekonomi akan "tunggang langgang" mengikuti dinamika ekonomi internasional. Sektor yang tadinya merupakan primadona bisa tiba-tiba tersingkir oleh produk impor. Namun, hanya dengan kompetisi perekonomian yang kuat bisa tumbuh. Namun, pemerintah harus menyediakan mekanisme pengaman bagi "si kalah", penegakan hukum, dan grand design pembangunan ekonomi.
Intinya, jangan mengambinghitamkan globalisasi dengan menggunakan jargon nasionalisme. Manfaatkanlah globalisasi secara obyektif sebagai kesempatan untuk memperbaiki kesejahteraan publik.
Tata Mustasya Peneliti Ekonomi Politik di The Indonesian Institute
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home