| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, May 09, 2006,3:15 PM

"Musica Indonesiana"

Salah satu cara untuk mengerti sejarah adalah dengan mendatangkan para saksinya. Selama dua bulan terakhir ini, Komunitas Pencinta Musik Indonesia atau KPMI mencatat kesaksian pelaku utama ingar-bingar musik tahun 1970-an.

Metode untuk mengetahui sejarah dari penuturan para saksi (oral history) ini sudah lama dilakukan sejak era Orde Baru. Seperti kata perumpamaan Inggris, "Memory is not a stranger and history is not for fools".

Kebetulan dua tamu yang membuat diskusi KPMI hangat selama dua bulan terakhir ini sama-sama bernama depan "Benny". Dan, kebetulan pula, mereka dari Bandung.

Mereka adalah Benny Likumahuwa, saksofonis The Rollies. Lalu, gitaris/vokalis Giant Step, Benny Soebardja.

Benny Soebardja yang awet muda masih berharap bisa merekam lagi kalau ada label tertarik. Benny Likumahuwa kini salah seorang "multi-instrumentalist" yang tetap bermain untuk beragam jenis musik.

The Rollies banyak memanfaatkan alat-alat tiup dan mempunyai vokalis Bangun Sugito (Gito) yang di panggung gemar menyanyikan lagu-lagu James Brown. Lagu terpopuler mereka, Kemarau (1979), memperoleh penghargaan Kalpataru karena liriknya prolingkungan hidup.

Benny Soebardja juga pernah memperkuat The Peels dan Shark Move. Oleh majalah Aktuil, ia dielu-elukan sebagai superstar karena sosoknya di panggung mirip dengan gitaris Alvin Lee dari grup terkenal waktu itu, Ten Years After.

"Ah, saya bukan superstar," kata Benny Soebardja merendah. Vokal dia terasa asyik pada lagu Apatis yang digubah Ingrid Wijanarko pada akhir 1970-an.

Baik The Rollies maupun The Peels sering tur ke negara-negara Asia Tenggara. "Kami pernah show di Vietnam dan Laos untuk menghibur pasukan Amerika di sana," kenang Benny Likumahuwa.

Benny Soebardja membawa The Peels ke Kuala Lumpur untuk merayakan dibukanya kembali hubungan diplomatik kita dengan Malaysia. "Kami sempat konser di atas kapal Sea Dragon. Kapal itu akhirnya ditenggelamkan pemiliknya supaya dapat asuransi," kenang Benny Soebardja.

Merekam sepotong sejarah musik Indonesia kini giat dikerjakan oleh KPMI. Sebelum ini sudah ada institusi lain yang bertujuan sama, yaitu Rumah Musik Indonesia (RMI).

RMI dibentuk oleh beberapa wartawan, sekaligus penggiat musik yang sudah malang melintang sejak tahun 1970-an, seperti Theodore KS, Remy Sutansyah, dan Denny MR. Ada beberapa organisasi lainnya yang lewat berbagai cara mengerjakan pelestarian musik Indonesia.

Tentu saja agak mudah mencatat sejarah musik negeri ini pada dekade 1960 dan 1970 karena masih banyak saksi hidup, media cetak dan elektronik, ataupun media rekam seperti PH (piringan hitam). Lain ceritanya jika Anda ingin mereka- reka bagaimana kehidupan permusikan pada dekade 1940 dan 1950.

Setelah Revolusi 1945, orang banyak mengenal lagu-lagu mars perjuangan atau puja-puji kepada nusa dan bangsa. Ismail Marzuki, misalnya, menjadi pencipta lagu-lagu romantisme perjuangan, seperti Gugur Bunga (1945), Halo Halo Bandung (1946), Selendang Sutera (1946), atau Sepasang Mata Bola (1946).

Setelah itu tidak ada yang mengetahui persis perjalanan musik Indonesia, kecuali merebaknya orkes-orkes keroncong, lagu-lagu daerah, atau paduan-paduan suara. Lebih mudah mencari data film nasional pertama, Darah dan Doa (1950) karya Usmar Ismail, daripada menebak apa lagu pop pertama di republik ini.

Belum pernah ada data yang merekam apakah partai-partai politik memanfaatkan jasa artis musik dalam kampanye Pemilu 1955. Yang pasti, Bung Karno mulai menggunakan musik untuk kepentingan-kepentingan politiknya setelah dia memaklumatkan Demokrasi Terpimpin tahun 1959.

Manipulasi musik, seperti halnya olahraga, bukanlah taktik politik yang baru. Partai-partai komunis di mana-mana mengenal Internasionale sebagai political anthem mereka dan Adolf Hitler mewajibkan setiap personel militer mengantongi buku saku berisikan lagu-lagu perjuangan Partai Nazi.

Bung Karno memperkenalkan lenso sebagai "tari nasional". Dengan baju kebesaran, Bung Karno menarikan lenso dengan perempuan berkebaya, berpegangan tangan, atau dengan sehelai saputangan diiringi lagu Mari Bersuka Ria.

Sikap nasionalisme dia yang chauvinist terbukti lagi ketika pemerintah tahun 1966 menangkap dan memenjarakan Koes Bersaudara yang dianggap terpengaruh musik "ngak-ngik- ngok" dari Barat. Sebelum itu Bung Karno terus menggelorakan semangat nasionalisme sambil mengintrodusir slogan-slogan kosong melalui musik.

Ada dua lagu "ideologis", Nasakom Bersatu dan Re-So-Pim. Ada lagu konfrontasi, Maju Sukarelawan, dan lagu pengultusan Paduka Yang Mulia.

Orde Baru memolitisasi musik lewat Aneka Ria Safari, yang biasanya berujung pada kampanye Golkar pada setiap pemilu. Di stasiun TVRI ada band Dharma Putra Kostrad dan reog BKAK (Badan Kesenian Angkatan Kepolisian).

Untung Orde Baru tak melarang opera rock Ken Arok yang menyentil bibit-bibit militerisme ala Jawa. Namun, Orde Baru senang kepada musik jongisme Koes Plus, Nusantara yang berjilid-jilid atau Indonesia My Lovely Country (Panbers).

Setelah itu ada Kemesraan dan Poco-poco di mana-mana. Sempat ada Bintang Kecil dan Pelangi barang sebentar, tetapi setelah itu ada Lidah Tak Bertulang.

"Memang lidah tak bertulang/Tak terbatas kata-kata/ Tinggi gunung seribu janji/Lain di bibir lain di hati".

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home