| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, May 19, 2006,2:58 PM

Menakar Biaya Pendidikan

Yusuf Wibisono

Daftar World University Rankings 2005 yang dipublikasikan The Times Higher (28/10/2005), untuk kali kedua setelah publikasi serupa November 2004, kembali menghadirkan 200 perguruan tinggi top dunia.

Dari jumlah 200 perguruan tinggi (PT) ini, 53 berasal dari Amerika Serikat (AS), dengan Universitas Harvard di puncak tertinggi, dibayangi Institut Teknologi Massachusetts (MIT). Disusul the two best universities Inggris, Universitas Cambridge dan Universitas Oxford yang bertukar posisi tahun ini. Inggris juga mendapat ranking ke-2 terbanyak (19), disusul Australia (17), Jepang (9), Kanada, China, Belanda, dan Perancis (6), lalu Jerman (5), Swiss dan Hongkong (4), dan seterusnya.

Ranking hasil survei The Times, yang meliputi 40 persen dari penilaian peer (para ahli riset dan akademis aktif) sebanyak 2.375 orang dari beragam bidang keahlian, mulai dari ilmu hayati, teknologi, biomedik, ilmu sosial dan seni. Ranking juga didasarkan pendapat stakeholder PT (10 persen), jumlah publikasi (20 persen), rasio dosen-mahasiswa (20 persen), jumlah staf internasional (5 persen), dan mahasiswa internasional (5 persen).

Tampilnya Asia

Secara metodologis, hasil scoring tidak bisa dibandingkan secara linier untuk menunjukkan prestasi PT. Artinya, bukan berarti PT yang memiliki total skor terendah 20,8, kualitasnya seperlima Harvard yang berskor 100. Jadi, ranking ini hanya menunjukkan diferensiasi semata, sekadar sebagai instrumen pembeda.

Bagaimanapun daftar ini merefleksikan mutu pendidikan di dunia pada abad ini. Yang menarik, di antara daftar yang didominasi negara maju, terdapat PT-PT dari negara dunia ketiga. China, Hongkong, Taiwan, dan India mewakili Asia yang masuk daftar, menyusul Jepang dan Korea Selatan yang lebih dulu eksis.

Dari Amerika Latin muncul Meksiko dan Brasil. Sementara dari Asia Tenggara, tidak diragukan lagi Singapura (NUS dan NTU) menjadi juara, disusul Universitas Malaya (Malaysia). Thailand hanya muncul di bagian akhir daftar peringkat ilmu sosial yang diwakili Universitas Chulalongkorn. Dan, Indonesia harus puas untuk tidak disebut dalam daftar itu.

Jika menelaah data yang ada, jelas mutu pendidikan amat tergantung dari jumlah dana yang dialokasikan untuk sektor pendidikan. Memang, di antara negara-negara yang masuk dalam daftar, ada yang skema dana pendidikannya disediakan oleh pemerintah, ada yang dikelola secara mandiri (swadana). Pada negara- negara dengan simpangan ranking yang besar, seperti AS dan Inggris, pengelolaan PT dilakukan secara swadana.

Tak heran jika Universitas Harvard atau MIT dapat menarik SPP hingga 100.000 dollar AS/semester. Sementara itu, negara- negara dengan ranking hampir seragam, seperti Jerman, Swiss, Austria, Perancis, pendidikan tinggi dibiayai pemerintah.

Empat model

Amhar (2005) mengklasifikasikan model pembiayaan pendidikan tinggi di dunia menjadi empat model. Model pertama adalah subsidi penuh mulai jenjang pendidikan rendah (SD) hingga pendidikan tinggi (S-3).

Model kedua hampir sama dengan model pertama, tetapi untuk pendidikan tinggi, masa gratis diberikan sampai usia tertentu. Model ketiga lebih rendah lagi, di mana masa gratis hanya sampai SMA dan di PT harus membayar SPP walau masih disubsidi.

Adapun model keempat, semua jenjang pendidikan membiayai dirinya sendiri. Dana diperoleh dari kerja sama dengan industri atau perbankan, membentuk komunitas alumni, atau murni semua diperoleh dari mahasiswanya. Pendidikan jenis terakhir ini yang kini cenderung go international dan paradigma di seluruh dunia.

Jika dilihat secara mutu pendidikan, model pembiayaan pendidikan itu tidak berpengaruh secara linier kepada prestasi dan kualitas pendidikan. Ranking The Times membuktikan tesis ini. Artinya, sebenarnya mutu pendidikan masih amat dipengaruhi besarnya dana untuk pembiayaan pendidikan, terlepas dana itu berasal dari mana. Semakin besar dana, semakin maju pendidikan. Pengembangan fasilitas pendidikan hingga kualitas SDM pendidikan juga sangat tergantung oleh besarnya dana ini.

Indonesia

Melihat Indonesia lebih jernih, sepertinya akan amat sulit untuk mengharap mutu pendidikan Indonesia beranjak naik jika biaya pendidikan dibebankan kepada lembaga pendidikan dan masyarakat. Beban biaya hidup menyangkut pangan dan kesehatan saja masih menjadi problem mayoritas rakyat Indonesia, alih-alih memikirkan pendidikan. Maka pemerintah harus menakar ulang kebijakan privatisasi pendidikan yang kini terus menggelinding.

Entahlah program BHPMN di tingkat pendidikan tinggi, atau MBS di tingkat pendidikan dasar dan menengah, tentu akan sulit untuk mewujudkan pemerataan pendidikan seperti amanat UUD 1945 jika semua dikelola secara swadana. Mungkin perlu diperhatikan sinyalemen pengamat ekonomi Revrisond Baswir yang mengingatkan adanya agenda kapitalisasi pendidikan yang dirancang negara-negara donor via Bank Dunia.

Terlepas dari hal itu, kita masih belum puas dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang pada 22 Maret lalu memutuskan UU No 13 Tahun 2005 tentang APBN 2006 yang mengalokasikan anggaran pendidikan 9,1 persen bertentangan dengan UUD 1945, tetapi tidak membatalkannya. Putusan MK, dengan pertimbangan untuk menghindari kemacetan dan kekacauan penyelenggaraan pemerintahan, hanya mengakibatkan hukum terhadap inkonstitusionalitas anggaran pendidikan secara terbatas. Menurut MK, masih ada peluang bagi pemerintah dan DPR untuk meningkatkan anggaran pendidikan secara lebih signifikan dengan realokasi anggaran melalui APBN Perubahan. Inilah yang kita tunggu. Atau kita biarkan pendidikan kian terpuruk.

Yusuf Wibisono
Pegiat Pendidikan, Dosen FTP Universitas Brawijaya

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home