| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, April 02, 2006,12:46 PM

Suaka Papua dan Australia…

Rakaryan Sukarjaputra

Visa tinggal sementara akhirnya diberikan Pemerintah Australia kepada 42 dari 43 warga Papua yang berperahu ke Australia dan kemudian meminta suaka di negara itu karena alasan keamanan mereka terancam. Keputusan itu ditanggapi dengan cukup keras oleh Pemerintah Indonesia karena penjelasan-penjelasan yang sudah disampaikan jajaran pemerintah maupun kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia, bahkan upaya langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menelepon Howard untuk membicarakan soal ini, seolah tidak ada artinya sama sekali dibandingkan dengan penjelasan para warga yang meminta suaka itu serta pihak-pihak ketiga yang mendukungnya.


Kita di Indonesia memang patut marah karena pemberian visa itu memang bermakna banyak. Seperti disampaikan Departemen Luar Negeri RI, pemberian visa itu secara langsung maupun tidak langsung bisa dimaknai sebagai tanda pembenaran pemerintah Australia atas apa-apa yang disampaikan secara sepihak oleh para pengungsi warga Papua itu, yang beberapa di antaranya masih anak-anak.

Sebagai dampak langsung dari pembenaran itu, tentu saja gambaran bahwa Pemerintah Indonesia melakukan genosida, dan berbagai tindak kekerasan yang tidak berperikemanusiaan di Papua, semakin tergambar di kalangan publik internasional. Padahal, realitasnya tidak seperti itu.

Dampak ekonomi dari pemberian visa itu memang masih harus diperhitungkan dengan mendalam, tetapi semakin kuatnya gambaran negatif di Papua tentu akan membuat investor berpikir dua kali untuk berinvestasi di Indonesia dan khususnya di Provinsi Papua. Padahal, investasi itu adalah salah satu jalan keluar untuk memenuhi tuntutan warga Papua yang merasa terus dianaktirikan.

Dari sisi ini, melalui pemberian visa itu sebenarnya Pemerintah Australia juga ikut memberikan andil dalam lebih menyengsarakan rakyat Papua. Hal ini tentu bertolak belakang dengan tujuan dari gugatan atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua, yang justru ingin melihat warga Papua lebih sejahtera, damai, dan lebih di-wong-ke.

Keputusan itu, sebagaimana disampaikan Pemerintah RI melalui Deplu, juga semakin memperkuat dugaan bahwa memang ada elemen-elemen masyarakat di Australia, bahkan di dalam pemerintahan negara itu sendiri, yang lebih senang melihat Papua lepas dari Indonesia. Secara telanjang, Partai Hijau Australia melalui beberapa tokohnya terus menyorot persoalan Papua, bahkan berpandangan masalah Papua harus dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Bersiap diri

Dalam soal pendatang haram, Australia sesungguhnya punya kemampuan yang andal dalam menangkal setiap pendatang haram ke tempatnya, sebagaimana dibuktikan dalam banyak kasus manusia perahu dari Asia Tenggara, Asia Selatan, maupun Timur Tengah. Anehnya, Australia mengesankan tidak mencium kedatangan perahu yang mengangkut 43 warga Papua itu, padahal mereka menempuh perjalanan lima hari di laut sebelum sampai di Cape York, Australia utara.

Kesan Australia sudah bersiap diri menerima ke-43 warga itu juga semakin diperkuat dengan pemberian visa tinggal sementara dalam waktu yang relatif singkat, kurang dari dua bulan sejak mereka ditemukan petugas pantai Australia di Cape York, 18 Januari 2006. Padahal, kepada puluhan imigran gelap lain, negara kanguru itu membiarkan para pendatang haram menunggu di pusat penampung di Pulau Christmas, bahkan sampai bertahun-tahun.

Fakta bahwa Australia tidak pernah memberikan akses bagi pejabat konsuler Indonesia untuk menemui, bahkan sekadar mendapatkan identitas para warga itu, semakin memperkuat gambaran adanya keinginan Australia untuk ikut campur dalam masalah Papua. Padahal, pemberian akses kekonsuleran itu, seperti ditegaskan Juru Bicara Deplu RI Yuri Thamrin, merupakan salah satu kewajiban menurut Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler.

Pemerintah Australia melalui menteri luar negerinya, Alexander Downer, PM John Howard, maupun sejumlah tokoh politik lainnya memang berupaya berlindung di balik "independensi" Departemen Imigrasi Australia (DIMA). Akan tetapi, kita juga mungkin tidak lupa dengan kasus dua diplomat China yang bertugas di Australia, yang meminta suaka kepada Pemerintah Australia ketika akan ditarik kembali ke China, tahun lalu. Dalam kasus itu, DIMA menolak permohonan mereka karena pertimbangan politik di belakangnya, yaitu kemungkinan terganggunya hubungan Australia-China. Dengan demikian, selalu ada "pertimbangan politik" tertentu di balik pemberian suaka atau visa tinggal itu. Bahkan, editorial The Australian, 25 Maret, menegaskan bahwa visa kepada warga Papua itu tidak akan mungkin diberikan tanpa persetujuan PM Howard.

Jika tidak ada pertimbangan politik tertentu di balik pemberian visa itu, sebenarnya para warga asal Papua itu bisa dengan tenang tinggal di Pulau Christmas, sementara permohonan suaka mereka diproses, yang "proses normalnya" akan memakan waktu lebih dari setahun bahkan bertahun-tahun. Pemerintah RI pun sebenarnya memahami prosedur keimigrasian Australia itu sehingga tidak terlalu memaksa ketika para warga Papua itu masih berada di Pulau Christmas. Persoalannya menjadi lain dengan pemberian visa tersebut karena, dengan adanya visa itu, para warga Papua itu bisa tinggal di daratan Australia dan menikmati berbagai fasilitas tinggal di Melbourne.

Sesungguhnya juga tidak sulit untuk menebak adanya pertimbangan politik tertentu di balik pemberian visa itu. Bagi Partai Hijau, soal Papua adalah salah satu jualan mereka untuk "menjatuhkan" pemerintahan Howard. Senator Bob Brown dari Partai Hijau, misalnya, dengan gamblang menuduh pemerintahan Howard hipokrit dalam soal Papua.

"Pemerintahan Howard bicara mengenai kebebasan dan demokrasi, dan juga menyiapkan diri mengambil bagian dalam invasi Bush ke Irak atas nama kebebasan dan demokrasi. Tetapi dalam soal dengan tetangga kita (Indonesia), pemerintah berpaling dari kebebasan dan demokrasi," katanya tegas sebagaimana dikutip The Australian.

Meski kekuatan Partai Hijau masih jauh untuk menandingi popularitas Partai Buruh dan koalisi Partai Liberal-National Howard saat ini, Partai Hijau semakin banyak dilirik warga Australia. Melalui pemberian visa itu, setidaknya pemerintahan Howard ingin menunjukkan bisa bersikap terkait dengan persoalan Papua.

Tantangan bagi pemerintah

Dalam soal Papua, pemerintah, parlemen, maupun banyak kelompok masyarakat di Indonesia menyadari masih banyak masalah yang belum selesai di Papua. Inilah memang tantangan terbesar bagi Pemerintah RI untuk segera menuntaskannya sehingga benih-benih separatisme bisa dikubur dalam-dalam. Sebagaimana disampaikan banyak kalangan, pembangunan prasarana dan peningkatan kesejahteraan saudara-saudara kita di Papua harus semakin diupayakan dan diwujudkan.

Suara-suara ketidakpuasan dan kekecewaan dalam persoalan apa pun akan selalu terdengar. Namun, dampak dari suara-suara tersebut hanya akan besar, bisa apa yang disuarakan itu memang tampak nyata. Puluhan warga Papua lagi mungkin akan lari ke Australia, Papua Niugini, ataupun tempat-tempat lainnya di luar Indonesia karena banyak alasan, salah satunya "kampanye" untuk memerdekakan Papua. Suara mereka akan didengar kalau kita juga tidak bisa menunjukkan fakta yang lebih positif di Papua.

Pertanyaannya, apakah kita akan terus bersikap serupa terhadap pencari suaka asal Papua di kemudian hari?

Penyikapan yang tegas atas kisah 43 warga Papua itu cukup menjadi bukti bahwa Pemerintah RI bisa bersikap keras, terlepas dari berbagai bantuan yang diberikan Australia selama ini. Akan tetapi, penyikapan serupa akan kontraproduktif untuk kasus-kasus serupa di kemudian hari. Bagaimanapun hubungan bertetangga yang baik lebih menguntungkan ketimbang bermusuhan. Ada perlunya juga suatu ketika kita bersikap "anjing menggonggong, kafilah berlalu...."

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home