| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, April 01, 2006,10:22 AM

Indonesia dan Suaka Politik Papua

Reni Winata

Sebagian besar protes yang dilontarkan terhadap kebijakan Pemerintah Australia yang memberi suaka politik kepada 42 orang Papua dinyatakan sebagai bentuk inkonsistensi atau pengkhianatan Australia terhadap Indonesia yang memberi dukungan untuk diterima dalam Komunitas Asia Timur.

Langkah Australia ini sebenarnya merupakan bagian (geo) strategi yang selama ini diterapkan. Memanfaatkan proksimitas geografis dengan Asia untuk menambah posisi tawar dan melayani kepentingan AS. Sebaliknya, memanfaatkan "kedekatan" dengan AS sebagai premi untuk mengangkat profil di kawasan Asia. Zigzag-ing dijalankan untuk memelihara kepentingan ekonomi Australia di Asia sekaligus jaminan "keamanan" dari AS.

Diplomasi dua muka

Memang, tidak banyak pilihan bagi Australia sebagai negara "kekuatan menengah" yang terisolasi di selatan bumi dan dikelilingi samudra luas. Isolasi dari dinamika kawasan regional maupun global merupakan skenario terburuk Australia. Memainkan diplomasi "dua muka merupakan strategi yang dapat menaikkan posisi tawar Australia". Setidaknya, demikianlah menurut Buku Putih Hubungan Luar Negeri dan Perdagangan Australia 2003.

Keberhasilan demi keberhasilan Howard dalam memanfaatkan strategi ini bisa membuatnya terlena. Memanfaatkan "dukungan" AS untuk terlibat kasus Timor Leste berhasil membuahkan miliaran dollar dari ladang minyak Laut Timor. Menggunakan unilateralisme AS, Australia berhasil memperkuat hegemoni atas Pasifik Selatan. Keterlibatan dalam aksi global antiterorisme AS juga berhasil meningkatkan Australia menjadi "pemain global". Kontribusi dalam aksi antiteror ini nyaris tanpa risiko, tanpa korban dari serdadu Australia.

Secara bersamaan, Australia memanfaatkan kedekatan dengan Indonesia dan negara ASEAN untuk mengambil bagian dalam pertumbuhan ekonomi Asia Timur. Rangkaian cerita sukses ini merupakan keberhasilan strategi zigzag-ing. Howard berulang kali menegaskan, Australia tidak harus memilih antara "sejarah dan geografis". Tetapi, menyimak terjadinya reciprocal hedging antardua kekuatan yang dapat memengaruhi stabilitas kawasan, Australia wajib berhati-hati jika tidak ingin dikucilkan dari pergaulan kawasan.

Australia perlu berpikir dua kali jika ingin memanfaatkan "koalisi dengan AS" untuk menekan Pemerintah Indonesia mengikuti agenda yang dimainkan— apakah itu hanya melayani kepentingan Australia atau melayani kepentingan bersama AS dan Australia—karena langkah ini berisiko bagi Australia. Indonesia dapat memanfaatkan pengaruh lewat Forum ASEAN guna memblokade inisiatif-inisiatif Australia dalam Forum Asia Timur.

Secara geopolitis, Indonesia lebih strategis daripada Australia bagi AS dalam mengembangkan kemitraan strategis di kawasan Asia. Indonesia, yang menempati bagian hulu alur komunikasi laut (SLOC) Asia Tenggara serta memiliki jalur pelayaran alternatif lewat Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), memiliki posisi tawar di mata AS dalam menghadapi perdagangan global.

Jalur laut

Peningkatan perdagangan global akan mendorong kapal-kapal AS menuntut "akses untuk melintasi di kawasan SLOC dan ALKI". Karena itu, menguasai "akses ke Selat Malaka maupun ALKI" merupakan strategi untuk menguasai perdagangan global dan transportasi energi jika terjadi konflik di kawasan Laut China Selatan yang merupakan kawasan pengaruh China.

Seperti AS, perdagangan Australia bergantung pada seaborne trade dengan negara-negara mitra di Asia. Secara geografis terisolasi di selatan, 80 persen komoditas perdagangan internasional Australia diangkut lewat laut. Akibatnya, Australia bergantung pada "akses ke jalur pelayaran SLOC dan ke tiga ALKI". Australia, misalnya, bergantung pada Selat Lombok untuk mengangkut biji besi ke China. Dapat dikatakan, sebagian besar pelayaran antarkawasan yang melintasi Selat Lombok adalah kapal-kapal niaga Australia. Karena itu, "akses untuk melintasi ALKI dan SLOC" merupakan faktor penentu kesuksesan perdagangan Australia.

Ketergantungan terhadap "akses" ini cenderung meningkat seiring bertambahnya volume perdagangan Australia dengan mitra dagang di Asia. Dengan kata lain, menutup "akses" kapal niaga Australia ke Asia sama dengan memblokade ekonomi Australia.

Dalam kondisi ini, pemberian suaka politik terhadap 42 orang Papua merupakan langkah berisiko bagi Australia. Pemberian suaka ini telah berkembang menjadi masalah "pelanggaran terhadap kedaulatan" Indonesia, terutama setelah dikeluarkannya pernyataan resmi Pemerintah Indonesia, orang-orang itu tidak termasuk daftar tangkal dan tidak dilibatkannya KBRI Canberra dalam proses pemberian suaka, padahal 42 warga Papua itu adalah warga negara Indonesia.

Pemberian suaka politik ini perlu ditinjau kembali oleh Pemerintah Australia karena dapat memicu Pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah tidak populer dan merugikan kepentingan Australia yang luas.

Jika Australia tidak membatalkan pemberian suaka politik itu, maka menerapkan strategi "anti-akses" dengan menutup Alur Laut Kepulauan Indonesia bagi kapal niaga dan militer Australia merupakan langkah strategis yang perlu diambil Pemerintah Indonesia. Langkah ini akan berdampak lebih cepat dan lebih luas ketimbang menutup KBRI atau memulangkan Dubes Indonesia di Canberra.

Reni Winata
Analis Politik Keamanan Pusat Kajian Australia Universitas Indonesia

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home