| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, April 01, 2006,10:26 AM

Segitiga Maut Indonesia-Malaysia-Thailand

Iwan Santosa

Malaysia dan Thailand tidak mengalami aksi teror seperti Indonesia. Namun, dua negara tersebut menjadi mata rantai aksi teror global, terutama di Indonesia. Dalam seminar Menggalang Kerja Sama Internasional Melawan Terorisme, akhir Februari 2006, salah satu tokoh yang aktif menangani sejumlah kasus bom di Indonesia, Komisaris Besar Polisi Petrus Golose, menjelaskan, sesuai pedoman kelompok teror itu, maka wilayah Malaysia-Singapura dijadikan basis untuk mendanai kegiatan.

"Sasaran pertama adalah Indonesia. Pelbagai teror mereka lakukan di Indonesia dan tidak menyentuh Malaysia atau Singapura sama sekali. Sasaran utama kelompok itu adalah mendirikan negara agama di seluruh Asia Tenggara hingga Papua Niugini serta Australia. Mereka memiliki langkah taktis dan strategis yang menjadikan Indonesia sebagai medan perang dalam arti sesungguhnya," kata Golose.

Dari Malaysia dan Thailand, aliran dana ataupun transit uang untuk kelompok teror mengalir. Petrus Golose menjelaskan, seorang warga Arab Saudi yang terlibat peledakan bom menara World Trade Centre New York mendanai aksi teror di Indonesia dengan menggunakan jaringan teroris di Thailand dan Malaysia dan dialirkan ke negara lain. Salah satu bukti kegiatan teror lintas negara tersebut adalah penemuan pelbagai jenis senjata api terdampar di pesisir selatan Thailand dan pantai barat laut sejumlah pulau di Semenanjung Malaya akibat hempasan Tsunami, Desember 2005. Sedianya, senjata tersebut akan diselundupkan dari kelompok ekstremis di Thailand Selatan menuju pantai timur Aceh.

Eddie Chua, seorang wartawan senior harian The Sun yang berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia, membenarkan terjadinya peristiwa tersebut. Sumber intelijen di Bangkok menceritakan, penyelundupan senjata dari Thailand Selatan melalui Provinsi Satun ke Sumatera melalui perairan Malaysia di sekitar Langkawi-Penang adalah jalur favorit bagi kelompok radikal, penyelundup, hingga teroris. Berbagai kedok digunakan untuk menutupi kegiatan tersebut, bermula dari mengawini wanita lokal di Satun kemudian membangun bisnis tertentu seperti jasa angkutan darat dan laut.

Berlangsung lama

Praktik itu sudah berlangsung lama dan sulit diberantas. Konsentrasi senjata gelap di perbatasan Malaysia-Thailand sudah berlangsung sedemikian lama sejak zaman keadaan darurat (Malaya Emergency 1948-1960). Senjata dari masa Emergency merupakan peninggalan sekutu dalam Perang Dunia II yang diterjunkan untuk gerilyawan anti-Jepang pimpinan Chin Peng.

"Selain senjata antik tersebut, masuk pula senjata pascakonflik Kamboja ditambah penyelundupan dari Pakistan, serta Banglades. Kondisi itu menambah pesat aktivitas penyelundupan senjata untuk teror," ujar sumber di Bangkok.

Pada masa konflik, sejumlah aktivis asal Aceh memang diketahui bermukim di Satun, Thailand. Sebaliknya, aktivis separatis di Thailand Selatan, yakni Pattani United Liberation Organization (PULO), memiliki kontak dengan kelompok tersebut. Bahkan, hubungan tersebut juga dijalin di luar Thailand dan Indonesia, setidaknya, sumber kepolisian Thailand membenarkan adanya hubungan aktivis asal Aceh dengan PULO di Stockholm, Swedia.

Kondisi geografis dan demografis segitiga Thailand-Malaysia-Indonesia memang ideal bagi kegiatan kelompok radikal dan aksi terorisme. Pergerakan masyarakat secara tradisional berlangsung intensif di kawasan itu. Warga Thailand Selatan di Yala, Naratiwat, dan Pattani memiliki hubungan kekerabatan dengan etnis Melayu di negara bagian Kelantan.

Bahkan diketahui, Hambali alias Riduan Ihsamudin alias Encep Nurjaman—asal Cianjur—tokoh teroris yang ditangkap di Ayutthaya, Thailand, menjalankan bisnis di Malaysia. Bisnis tersebut menangguk untung jutaan ringgit di Malaysia dengan menjalankan pelbagai proyek besar, termasuk pekerjaan sejumlah instansi pemerintah setempat. Uang yang diperoleh digunakan untuk mendanai ekstremis dan jaringan teroris.

Tidak hanya Hambali, kelompok radikal kanan yang memperjuangkan negara agama di salah satu negara ASEAN juga diketahui memiliki jaringan bisnis di Malaysia, termasuk bidang infrastruktur seperti jalan raya.

Kelompok ini juga menyiapkan basis kegiatan pembinaan ideologis di sejumlah lokasi seperti sebuah pulau di Riau yang memiliki posisi strategis berdekatan dengan kota pelabuhan Port Dickson di Malaysia. Sejumlah basis lain juga disiapkan di pulau dekat Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, serta sejumlah wilayah lain dengan kedok lembaga pendidikan keagamaan.

Selain senjata, lalu lintas bahan peledak merupakan salah satu kegiatan kelompok teror di Asia Tenggara ini. Sejak setahun terakhir diketahui begitu mudah detonator dan bahan baku peledak dari Sabah, Malaysia Timur, ke wilayah Kalimantan Timur atau pantai barat Sulawesi.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home