| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, March 31, 2006,3:35 PM

Mencegah Internasionalisasi Masalah Papua

I Basis Susilo

Proses internasionalisasi masalah Papua akan berhasil apabila kita tidak terampil dalam menyikapi soal suaka Australia kepada 42 warga Papua. Reaksi-reaksi sesaat yang emosional, apalagi bila kemudian disertai tindakan-tindakan yang tidak simpatik, seperti pembakaran bendera, justru akan menarik perhatian media massa AS dan Australia sehingga menimbulkan antipati masyarakat di dua negara itu.

Upaya internasionalisasi itu harus kita anggap sebagai ancaman serius karena mendapat dukungan dari beberapa anggota DPR Amerika Serikat. Tercatat, 26 Januari lalu sembilan anggota DPR AS menulis surat kepada PM Australia, menekan Australia agar memberi suaka kepada 43 warga Papua yang telah seminggu berada di Australia. Di antara penulis itu ada Eni Faleomavaega dan Donald Payne, tokoh Black Caucus yang memasukkan klausul "mempersoalkan keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Juli-Agustus 1969" dalam bill atau RUU Otorisasi Hubungan Luar Negeri atau HR 2601.

Untuk mencegah internasionalisasi itu, pemerintah kita harus lebih serius dengan kebijakan menyeluruh dan strategis berikut implementasi yang konsisten. Selama ini koridor yang dipakai adalah hak asasi manusia (HAM) dan keabsahan sejarah. Beberapa hal bisa dilakukan segera.

Memperkuat lobi

Pertama, memperkuat lobi Indonesia di Australia dan AS. Diplomat kita di dua ibu kota negara itu mesti lebih meningkatkan upaya menjelaskan kebijakan Indonesia kepada massa kritis (critical mass) di sana. Khusus untuk di AS, diplomat kita harus berusaha menghapus klausul tentang Papua dalam HR 2601. HR 2601 adalah RUU yang mengkritisi banyak negara, di antaranya Pasal 1115 tentang pembangunan dan kebijakan terhadap Indonesia. Kalau perlu, pemerintah menyewa pelobi andal untuk menjaga dan memperjuangkan kepentingan kita di Capitol Hill itu. Untuk menghadapi kritik atas Pepera, kita bisa menyatakan Pepera adalah mandat PBB sesuai Perjanjian New York 1962.

Kedua, pemerintah kita tetap harus terus-menerus menjalin kontak dan hubungan dengan pemerintah dua negara itu. Pemerintah tidak terbatas eksekutif saja, tetapi juga legislatif. Kontak yang intens antareksekutif memberi jaminan kebijakan mereka dikomunikasikan dan dikompromikan sebelum diputuskan sehingga masing-masing eksekutif bisa memperkirakan sejauh mana dan sampai kapan isu itu berkembang. Kontak antarlegislatif diperlukan untuk saling memberi masukan tentang masalah dan kebijakan yang dianggap baik. Misalnya, Papua di bawah Indonesia lebih menguntungkan kepentingan mereka, campur tangan atas Papua meningkatkan sentimen antimereka dan mengancam kepentingan lain di Indonesia, serta menyulitkan dukungan Indonesia terhadap kampanye melawan terorisme internasional.

Ketiga, pemerintah kita harus mengusahakan sekuat tenaga agar kasus-kasus eksesif tak terjadi lagi di Papua. Beberapa kasus, seperti pembunuhan Theys Hiyo Eluay, kelaparan di Yahukimo, demonstrasi anti-Freeport, pembunuhan dua warga AS, demonstrasi berdarah di Kampus Universitas Cenderawasih, menunjukkan pemerintah kurang mampu mengatasi persoalan. Kematian akibat kelaparan maupun akibat pembunuhan, atas kelalaian apalagi kesengajaan, selalu mengusik nilai dan dawai hak-hak asasi manusia.

Keempat, pemerintah mesti mengimplementasikan secara sungguh-sungguh UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. UU itu pada dasarnya adalah kesepakatan kompromistis yang maksimal bisa dilakukan. Kalau diimplementasikan dengan benar akan menyelamatkan Papua. Tetapi, UU itu ternyata kurang berfungsi sehingga Dewan Adat Papua kecewa dan mengembalikan otonomi khusus itu (Agustus 2005). Dari sini tampak bahwa pada dasarnya warga Papua menghendaki otonomi khusus itu.

Harus ekstra hati-hati

Kelima, pemerintah mesti mengurangi pendekatan fisik-militer dan politik tinggi serta mengutamakan pendekatan kemanusiaan, yang melibatkan sumbangan sosiologi, antropologi, psikologi, dan ekonomi yang memahami, mengakui, menghargai, dan meningkatkan harkat hidup manusia. Intinya, menghentikan proses eksploitasi dan marjinalisasi masyarakat lokal dan memberi kesempatan dan jalan bagi masyarakat lokal untuk "bicara" dalam wacana nasional. Misalnya, di media massa kita, adakah penyanyi, penyiar, atau pemain sinetron asal daerah Papua? Tidak atau belum adanya "wakil" dari masyarakat-masyarakat lokal ke panggung nasional menunjukkan bahwa mereka tidak atau belum diterima sebagai bagian masyarakat nasional.

Pendekatan nirmiliter sangat strategis karena persoalan Papua mempunyai tingkat kesulitan lebih tinggi daripada Aceh. Walau organisasi dan fisik-militer OPM tidak sekuat GAM, Papua mempunyai aspek yang menyulitkan. Secara demografis dan antropologis, penduduk Papua tidak sama dengan mayoritas penduduk provinsi-provinsi lain. Secara historis, Papua juga menyimpan persoalan karena baru resmi masuk ke pangkuan Ibu Pertiwi pada masa Orde Baru. Karena itu, penanganannya harus ekstra hati-hati karena kalau tidak, akan timbul komplikasi masalah yang tak kita harapkan.

Keenam, pemerintah harus memberi jaminan yang lebih besar bahwa hidup berbangsa Indonesia memberi kesempatan seluruh warga meningkatkan kualitas hidupnya secara memadai dan tanpa diskriminasi. Gejala-gejala ekstremitas, sektarian, dan menjurus SARA akhir-akhir ini tentu menjadi kampanye buruk bagi warga Papua. Karena itu, pemerintah (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) serta massa kritis bangsa Indonesia mesti berpegang pada jati diri dan kesepakatan nasional bagi hidup berbangsa kita, yaitu Pancasila.

Tentu saja implementasinya tidak boleh seperti yang dilakukan rezim Orde Baru. Pancasila mesti kita jadikan petunjuk untuk membuat kebijakan, menjalankan kebijakan, dan sekaligus mengkritisi kebijakan. Karena hanya dengan Pancasila itu bangsa kita akan bisa bertahan dalam dinamika kehidupan internasional dan global ini.

Ketujuh, Pemerintah Indonesia harus lebih aktif meningkatkan upaya diplomasi, terutama Dunia Ketiga dan Eropa Barat. Dalam hearing di DPR AS (Maret 2005), Eni Faleomavaega mengutip pendapat tokoh-tokoh penting seperti Desmond Tutu dan Nelson Mandela yang memprihatinkan nasib rakyat di Papua. Indonesia mesti menggunakan semua organisasi internasional yang diikutinya, seperti GNB, OKI, ASEAN+3, APEC, Asia-Eropa, sebagai sarana untuk mencari dukungan dalam hal Papua.

Kita juga mesti mencari dukungan dari RRC dan Rusia dalam soal Papua ini mengingat mereka adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

I BASIS SUSILO Dosen Politik Internasional Unair dan Associate Member Pusham Ubaya

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home