| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, March 31, 2006,3:25 PM

Krisis Hubungan Indonesia-Australia

Hikmahanto Juwana

Pemberian suaka politik warga negara Indonesia asal Papua telah berubah menjadi krisis hubungan Indonesia-Australia. Pemerintah Indonesia telah menarik Duta Besar Hamzah Thayeb.

Dari pihak Australia, Menteri Luar Negeri Alexander Downer menyatakan sudah memperkirakan munculnya protes, tetapi memprediksi tak akan berlangsung lama. Perdana Menteri John Howard mengatakan dapat memahami kemarahan Pemerintah Indonesia.

Babak selanjutnya dari krisis ini adalah tuntutan dan pemenuhannya. Menjadi pertanyaan, apa yang menjadi tuntutan Indonesia dan apa yang dapat dilakukan oleh Indonesia agar Pemerintah Australia bersedia memenuhi tuntutan tersebut?

Argumentasi

Sebelum membahas apa yang menjadi tuntutan, perlu ditilik kesahihan argumentasi Pemerintah Australia atas kebijakan pemberian suaka. Ada dua argumen yang dikemukakan. Pertama, pemberian suaka merupakan urusan dalam negeri dan hukum Australia. Kedua, keputusan Departemen Imigrasi tidak bisa dicampuri oleh eksekutif.

Argumen pertama ini tentu tidak bisa diterima secara bulat oleh Pemerintah Indonesia. Pertama, memang pemberian suaka merupakan masalah internal dan hukum negara pemberi, tetapi sudah sewajarnya bila Australia memberi pertimbangan politis.

Tidakkah Australia mempertimbangkan sensitivitas hubungannya dengan Indonesia? Apalagi Pemerintah Australia masih memiliki banyak kepentingan dengan Indonesia, terutama dalam pemberantasan terorisme dan imigran gelap?

Argumen kedua pun tidak dapat diterima. Pemerintah Australia harus berani memilih antara menjaga hubungan baik dengan Indonesia atau memelihara independensi departemen imigrasinya.

Dalam banyak hal, Pemerintah Indonesia berada pada situasi yang sama bila ada kepentingan dari Australia. Kasus Ba’asyir dan Corby adalah contohnya. Pemerintah Indonesia pun kerap mengedepankan persahabatan ketimbang independensi. Oleh karena itu, tidakkah Pemerintah Indonesia dapat berharap sebaliknya (reciprocal)?

Menjadi pertanyaan pula, apakah Departemen Imigrasi Australia betul-betul steril untuk diintervensi? Bagaimana bila yang meminta negara sekaliber AS? Selanjutnya, apakah Departemen Imigrasi telah diingatkan oleh eksekutifnya konsekuensi bila kacamata kuda yang digunakan?

Pencabutan suaka

Untuk dapat masalah ini terselesaikan dengan baik, Pemerintah Indonesia perlu merumuskan apa yang dimaui. Ini terkait dengan apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Australia.

Secara umum, paling tidak ada tiga tuntutan yang dapat dipilih. Pertama, Australia dituntut agar memahami kemarahan dan ketidaksukaan Pemerintah Indonesia. Kedua, Pemerintah Indonesia meminta Australia menarik kembali suaka yang telah diberikan kepada 42 WNI asal Papua. Ketiga, Australia diminta untuk melakukan dua hal tersebut, ditambah dengan harapan agar pengambil kebijakan dan politisi di Australia lebih berhati-hati dan sensitif bila masalah Indonesia yang menjadi perhatian.

Memang bila yang diharapkan adalah agar Pemerintah Australia memahami kemarahan Pemerintah Indonesia, tentunya ini sudah dilakukan. Dalam konteks demikian, krisis pun terselesaikan. Namun, sepertinya ini bukan yang dikehendaki oleh Pemerintah Indonesia.

Dari tiga rumusan tuntutan, paling realistis dan mencerminkan penyelesaian yang dapat diterima oleh Pemerintah Indonesia adalah pencabutan suaka.

Tuntutan pencabutan tidak seharusnya dilihat sebagai rengekan anak kecil. Pencabutan harus dimaknai sebagai simbol bahwa Pemerintah Australia mendukung keutuhan wilayah NKRI dan menyerahkan masalah internal Indonesia untuk diselesaikan melalui mekanisme yang ada di dalam negeri dan terbebas dari pelanggaran hak asasi manusia.

Musuh bersama

Dalam penyelesaian krisis ini, tidak seharusnya Pemerintah Australia menyederhanakan penyelesaian. Apa yang diungkap oleh Menlu Downer mengindikasikan hal tersebut.

Boleh jadi pernyataan Downer didasarkan pada kenyataan di Indonesia bahwa suatu berita ataupun masalah paling lama bertahan selama dua minggu. Bila media massa sudah tidak memberitakan lagi dan ada isu lain yang lebih besar muncul, maka sebuah isu akan hilang.

Perkiraan Menlu Downer bisa jadi meleset. Meleset karena tiga alasan. Pertama, baru kali ini suara publik, anggota DPR, dan pemerintah paralel dalam menyikapi hubungan dengan negara lain. Kedua, dalam krisis kali ini, pemerintah melakukan respons yang tegas dalam waktu yang sangat singkat. Bahkan, bentuk tindakan tersebut sudah pada level yang lumayan tinggi dalam dunia diplomasi, yaitu pemanggilan pulang duta besar.

Ketiga, pada saat ini pemerintah, anggota DPR, dan publik sedang mencari musuh bersama (common enemy) atas dominasi asing di Indonesia. Pemberian suaka oleh Australia seolah menjadi jawaban atas pencarian ini.

Upaya diplomasi

Pada saat ini Pemerintah Indonesia sudah menjalankan upaya diplomasi agar Australia memenuhi tuntutannya. Bila Pemerintah Australia tetap pada pendiriannya, menjadi pertanyaan, opsi apa yang terbuka bagi Pemerintah Indonesia?

Pascapenarikan Dubes Thayeb, masih terdapat sejumlah opsi yang dapat dilakukan sebelum pada pemutusan hubungan diplomatik. Opsi tersebut antara lain penghentian bantuan dari Australia ke Indonesia sebagaimana pernah dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto terhadap Belanda di saat Menteri Pembangunan Pronk banyak mengkritik pembangunan yang dilakukan oleh Indonesia.

Pemerintah juga dapat memperkecil jumlah staf diplomat di KBRI Australia, bahkan sampai pada menitipkan urusan Indonesia ke salah satu negara sahabat Indonesia, semisal Malaysia atau Filipina. Pemerintah juga dapat meminta Pemerintah Australia untuk menciutkan jumlah staf diplomatik di Indonesia.

Dari berbagai opsi yang ada, publik harus memberi kesempatan kepada pemerintah untuk memilih sesuai situasi dan proporsionalitas. Peran publik dan anggota DPR adalah mengawal agar pemerintah tidak mundur dari tuntutannya. Sekali mundur dari tuntutannya, maka Indonesia akan terkesan sebagai negara yang lemah.

Krisis saat ini harus dipandang sebagai sinyal bahwa Indonesia bisa bertindak keras dan tegas bila harga diri dan kedaulatan yang menjadi taruhan. Setiap komponen bangsa perlu mendukung sikap pemerintah agar Indonesia tidak dijadikan konsumsi politisi Australia untuk kepentingan mereka. Tindakan tegas pemerintah atas Australia akan menunjukkan kekesalan Indonesia selama ini terhadap politisi dan elite Australia.

Para pengambil kebijakan dan elite politik Australia seharusnya sadar bahwa perilaku sebagian besar publik Indonesia di masa yang demokratis ini tidaklah sama dengan publik Australia. Kebijakan tidak bersahabat Pemerintah Australia akan digeneralisasi oleh publik sebagai tindakan negara Australia. Akibatnya, kemarahan publik Indonesia bisa jadi ditimpakan pada warga negara, pelaku bisnis, dan perusahaan Australia. Padahal, mereka ini tidak terlibat dalam pengambil kebijakan dan mungkin saja berseberangan dengan pemerintahnya.

Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional FHUI, Depok

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home