| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, April 28, 2006,9:43 PM

Saatnya Kendali Devisa Terbatas

Abdillah Toha

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa perbaikan indikator ekonomi (makro) belum mencapai sasaran jika kemiskinan dan pengangguran belum dapat dikurangi (Kompas, 20/4). Pernyataan ini kurang lengkap.

Perbaikan indikator ekonomi makro Indonesia belakangan ini—yang antara lain ditandai dengan terus menguatnya rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dan melejitnya indeks saham BEJ di atas fundamental ekonomi Indonesia yang masih rapuh—justru mengkhawatirkan dan berisiko tinggi.

Kita semua tahu bahwa menguatnya rupiah selama beberapa bulan terakhir ini tidak lain disebabkan oleh masuknya jumlah besar uang panas dollar berupa investasi jangka pendek dan cenderung spekulatif dalam bentuk pembelian saham di bursa dan surat berharga SBI yang memberi hasil bunga cukup tinggi (portfolio investment/PI). Capital inflow ini tidak ditanamkan dalam bentuk pembukaan usaha-usaha baru berjangka panjang (foreign direct investment/FDI). Itulah me- ngapa dia tidak memberikan sumbangan dalam menyerap tenaga kerja baru.

Memang benar bahwa di luar uang panas itu, selama beberapa tahun terakhir sejak krisis ekonomi 1997, ada pula bermiliar dollar yang masuk untuk investasi jangka panjang. Namun, jenis investasi ini, di samping banyak dikritik karena membiarkan modal asing mengontrol aset strategis kita, juga tidak menyumbang penyerapan tenaga kerja karena diinvestasikan dalam bentuk akuisisi perusahaan yang sudah dan sedang berjalan, seperti Indosat, Telkomsel, BCA, Bank Danamon, yang menurut beberapa pengamat sebagian juga telah dijual obral dengan harga murah.

Menguatnya rupiah secara drastis menciptakan ketidakpastian baru kalkulasi harga pedagang dan berpotensi menekan daya saing eksportir kita. Harga jual produk ekspor menjadi lebih tinggi dalam dollar dan konsekuensinya eksportir kita yang biaya produksinya dalam rupiah sering kali harus menurunkan marjinnya agar tetap bisa bersaing di luar negeri. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah ketidakpastian nilai mata uang kita karena uang dollar panas jangka pendek ini sewaktu-waktu dapat ditarik keluar tanpa kendali.

Krisis moneter akan terulang

Meningkatnya PI secara cepat dan besar-besaran bisa dan sudah mulai berdampak langsung kepada kenaikan tidak wajar (over valuation) nilai mata uang rupiah mendorong kenaikan impor dan penurunan ekspor dengan akibat meningkatnya defisit perdagangan dan pinjaman luar negeri. Bila kemudian penarikan dana asing ini dilakukan secara mendadak dan besar-besaran, maka yang terjadi adalah terulangnya krisis moneter seperti yang dialami Asia pada tahun 1997 dengan Indonesia sebagai penanggung akibat terparah.

PI tidak dilakukan atas dasar pertimbangan jangka panjang, tetapi dipicu sepenuhnya oleh perubahan sentimen subyektif tentang prospek perekonomian. Dornbusch (1993) mengatakan bahwa PI seperti pesawat yang berada di atas landasan dengan mesinnya tetap hidup ("sitting on the tarmac with the engine running") yang setiap saat bisa lepas landas.

Mengapa China dan Taiwan di Asia dan Chile di Amerika Latin tidak terkena dampak krisis moneter di masing-masing belahan dunia itu pada waktu yang berbeda? Tidak lain karena di negara-negara tersebut rezim mata uangnya tidak seliberal kita dan mereka mempunyai kebijakan kendali terbatas devisa guna menghindari pengaruh negatif aliran mata uang luar negeri yang spekulatif.

Kebijakan investasi yang sehat seyogianya di satu sisi mengutamakan dan mendorong FDI dengan insentif yang menarik, serta di sisi lain mewaspadai PI yang cenderung spekulatif itu dengan regulasi dan kendali yang efektif. Apakah kontrol terhadap PI akan mengurangi minat investor FDI? Kasus Chile membuktikan tidak demikian. Pajak yang dikenakan terhadap aliran dana asing jangka pendek di Chile telah berhasil mengubah komposisi dan minat investor dari penanaman jangka pendek ke jangka panjang.

Tetap tidak menjamin

Harus diakui bahwa berbagai regulasi telah diterapkan sejak krisis moneter 1997 yang membuat perbankan kita dan pemain pasar uang menjadi lebih berhati-hati dan bertanggung jawab. Bank Indonesia, walau kadang masih juga kecolongan, telah menciptakan sistem pengawasan dan informasi yang lebih maju dalam menciptakan transparansi serta sistem peringatan dini terhadap kemungkinan gejolak di pasar uang.

Meski demikian, sebagaimana dikatakan oleh Stiglitz, betapapun sempurnanya sebuah sistem informasi dan regulasi pasar uang, tetap tidak menjamin bahwa pasar akan sepenuhnya terkendali karena tekanan eksternal sebagai akibat dominasi global hubungan swasta ke swasta dalam aliran modal sering kali sulit untuk diperkirakan dampaknya. Sistem informasi dan regulasi yang baik menurut Stiglitz bagaikan sistem navigasi yang baik, tetapi tetap bukan segalanya.

Aliran dana luar negeri yang tidak terkendali pada gilirannya akan menciptakan ekspansi kredit dan likuiditas yang kemudian, seperti telah kita alami sebelum ini, mengakibatkan non performing loans (NPL) dan kredit macet sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi maya dalam bentuk apa yang disebut sebagai ekonomi buih (bubble economy).

Oleh karena itu, sekadar regulasi dan pengawasan saja sering kali tidak cukup. Diperlukan tindakan dalam bentuk pengendalian devisa yang nyata walau mungkin untuk sementara sampai fundamental ekonomi kita benar-benar kuat.

Dalam rangka menggalakkan investasi asing dan dalam negeri, pemerintah bersama DPR sedang dan akan merancang beberapa paket perubahan RUU investasi, pajak, dan tenaga kerja. Maka, tepatlah kiranya bila kebijakan pengendalian devisa terbatas mulai diwacanakan dan dimasukkan ke dalam beberapa RUU itu yang dapat mengambil berbagai bentuk dan pilihan.

Kita tidak perlu takut dan khawatir berlebihan terhadap kebijakan kendali devisa terbatas. Buktinya, beberapa negara yang sampai sekarang masih mempraktikkan kendali devisa, seperti China dan Taiwan, tetap tumbuh dengan pesat dan tetap diminati investor asing. Kekayaan alam dan beragam kemungkinan investasi di Indonesia yang lebih luas dari seluruh daratan Eropa itu, dengan konsistensi kebijakan yang rasional, relatif masih tetap bisa menarik bagi investor asing.

Dengan kendali devisa terbatas tersebut, negara bisa mengarahkan jenis investasi asing apa yang terbaik bagi Indonesia.

Abdillah Toha Ketua Fraksi PAN DPR, Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home