| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, April 26, 2006,12:28 PM

Dicari, Hakim Agung Penegak HAM!

Usman Hamid

Komisi Yudisial mengumumkan dimulainya seleksi hakim agung untuk mengisi kursi jabatan hakim agung yang kosong. Kita berharap upaya tersebut dapat menghasilkan hakim agung-hakim agung dengan independensi, imparsialitas, dan integritas moral yang tinggi.

Adanya pengaduan dan laporan masyarakat menyangkut dugaan penyimpangan perilaku hakim dalam menangani perkara, tidak terkecuali hakim agung, telah membuat kita cemas. Untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), misalnya, dari seluruh berkas perkara yang diperiksa pengadilan HAM, tak satupun berhasil memenjarakan pelaku pelanggar HAM berat.

Kasus Timor Timur selama jajak pendapat (1999), semua terdakwa yang kebanyakan dari militer bebas, kecuali Eurico Guterres, salah seorang pemimpin milisi pro-integrasi. Pada kasus Tanjung Priok (1984) semua terdakwanya juga bebas. Amar putusan pun sama sekali tak menyebut perlunya para korban diberi kompensasi atau rehabilitasi oleh pemerintah.

Kenyataan ini membuat para korban pelanggaran HAM merasakan sulitnya mendapatkan keadilan setelah sekian lama diperlakukan tidak adil. Jangankan pelakunya dihukum dan dimasukkan penjara, usaha meminta pemerintah memperbaiki kehidupan korban pun seperti menabrak tembok tebal.

Kemungkinan adanya dugaan suap atau penyimpangan perilaku lainnya dalam kasus korupsi juga bisa terjadi pada kasus pelanggaran HAM. Termasuk kemungkinan adanya pengaruh atau tekanan ataupun intimidasi, seperti dialami sejumlah saksi dan korban pelanggaran HAM. Di sini, independensi peradilan yang katanya dijamin konstitusi malah diragukan. Masih adakah harapan?

Wewenang Komisi Yudisial

Seleksi hakim agung merupakan salah satu tugas yang menjadi bagian dari wewenang Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR. Bahkan, lebih jauh, tujuan mulia dari itu adalah untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Ini diatur tegas dalam Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Metode seleksi memang telah diatur dalam UU tersebut. Antara lain seleksi yang meliputi penelitian administrasi, pengumuman untuk mendapatkan masukan masyarakat terhadap pribadi dan tingkah laku calon, serta rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kriteria ini diperlukan agar seleksi menghasilkan hakim yang imparsial, independen, berintegritas, dan berkompeten. Dengan demikian, penilaian terhadap calon yang akan mengikuti seleksi berjalan secara obyektif.

Tidak boleh ada cara penilaian yang berbau subyektivitas dan diskriminasi berdasarkan alasan ras, warna kulit, gender, agama, pendapat atau keyakinan politik, asal-usul kebangsaan, atau sosial, harta kekayaan, kelahiran atau status, kecuali persyaratan bahwa seorang calon pejabat yudisial harus seorang warga negara dari negara yang bersangkutan, tidak dapat dinilai sebagai diskriminasi.

Masukan dari masyarakat jelas amat berarti untuk melacak integritas moral orang yang mengajukan diri menjadi calon hakim agung. Apalagi setiap calon hakim agung diwajibkan menyerahkan daftar riwayat hidup, pekerjaan, ijazah asli, surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari dokter rumah sakit pemerintah, daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon, dan nomor pokok wajib pajak. Perilaku dari seorang calon akan betul-betul diuji bukan hanya di atas kertas, tetapi juga berdasarkan laporan warga masyarakat yang tentunya telah melalui verifikasi panitia seleksi.

Rekomendasi KPK, seperti disyaratkan, amat penting untuk menilai integritas. Prinsip integritas mensyaratkan setiap (calon) hakim bersedia di-review oleh pengamat independen. Perilaku hakim juga harus menjamin kepercayaan publik. Ketentuan penjelasan Pasal 16 Huruf d UU Komisi Yudisial menyebutkan agar bagi yang sudah menyerahkan laporan kekayaan kepada KPK menyerahkan bukti, dan bagi yang belum menyerahkan melaporkan daftar harta kekayaannya.

Artinya, setiap calon harus diperiksa betul harta kekayaan yang dimilikinya selama ini. Rekomendasi KPK juga perlu diberikan untuk memastikan bahwa calon hakim agung yang dihasilkan melalui seleksi tidak pernah tersangkut perkara korupsi, kolusi dan nepotisme.

Persyaratan tersebut juga terkandung dalam prinsip-prinsip universal independensi peradilan dan bisa kita jadikan acuan lengkap. Di antaranya adalah Banglore Principles of Judicial Conduct dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Lawasia Region. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang kini telah diratifikasi dan menjadi hukum positif nasional menegaskan pentingnya kedaulatan hukum (rule of law) serta peradilan yang independen, adil, transparan, dan akuntabel (Pasal 9 dan 14).

Prinsip-prinsip dasar peradilan yang independen menuntut hakim untuk mampu membangun institusi peradilan yang independen tanpa campur tangan pihak lain, termasuk legislatif atau yudikatif. Independensi mensyaratkan hakim harus memutus perkara-perkara yang ditanganinya secara adil, atas dasar fakta-fakta dan sesuai dengan UU, tanpa pembatasan apa pun atau pengaruh yang tidak benar, bujukan langsung atau tidak langsung, dari mana pun atau karena alasan apa pun. Selain itu, hakim agung hasil seleksi diharapkan dapat menghormati hak-hak semua pihak dalam persidangan, tidak terkecuali mereka yang menjadi korban.

Prinsip-prinsip di atas juga memberikan kebebasan kepada hakim untuk menyampaikan pendapat dan berhimpun, seperti kebebasan yang diberikan kepada setiap warga lainnya. Dalam hal ini para hakim bebas untuk membentuk atau bergabung dalam himpunan para hakim atau organisasi yang bisa mewakili kepentingannya meningkatkan profesionalitas dan melindungi kemandirian yudisial mereka. Akan tetapi, hakim tidak boleh melakukan praktik hukum saat menjalankan fungsi yudisial.

Meskipun hakim diidealkan menjaga reputasi lewat forum-forum terbuka, seperti kuliah atau kegiatan lain yang berkenaan dengan sistem administrasi hukum, hakim disyaratkan untuk menjaga martabat jabatan mereka serta keadilan dan kemandirian peradilan. Kewajiban tersebut juga melekat pada Komisi Yudisial yang saat ini tengah melakukan proses seleksi untuk memenuhi lima kursi hakim agung yang lowong.

Masih banyak lagi prinsip universal yang bisa dirujuk. Yang terpenting, setiap hakim harus betul-betul mempertimbangkan rasa keadilan, terutama dari mereka yang menjadi korban langsung atau kehilangan anggota keluarga akibat terjadinya pelanggaran HAM.

Setiap hakim agung juga agar mampu memastikan terjaminnya hak-hak konstitusional korban untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Apabila ragam persyaratan tersebut benar-benar terpenuhi, pengalaman para korban pelanggaran HAM sebelumnya tidak boleh terjadi lagi.

Usman Hamid Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home