| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, April 26, 2006,12:24 PM

Menggairahkan Panggung Kedua

YUDI LATIF

Alexis de Tocqueville menyebut dunia usaha sebagai "panggung kedua", yang idealnya bergerak kompak dengan aksi-aksi di "panggung pertama" (negara) dan "panggung ketiga" (civil society) dalam menggapai kemajuan suatu bangsa.

Tujuh tahun setelah kenduri reformasi digelar di ruang publik, kita dapati aneka transformasi telah terjadi di panggung negara dan civil society, namun suasana demikian tak tampak di dunia usaha. Seperti yang sering dikeluhkan oleh Jakob Oetama, Pemimpin Harian Kompas, aksi- aksi di dunia usaha masih terlalu sepi untuk menggairahkan panggung yang begitu besar perannya bagi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keprihatinan akan hal ini terasa menekan-mendesak karena bersemayam begitu lama dalam urat nadi sejarah Indonesia. Setidaknya sejak dekade awal abad ke-20, perdebatan sengit telah terjadi di kalangan homines novi intelegensia Indonesia tentang suatu dilema yang masih memaguti kita hingga saat ini: apakah yang harus diikhtiarkan terlebih dahulu adalah kemajuan anak negeri dalam perkara harta (economisch) ataukah kebebasan politik?

Hak-hak politik

Menulis di koran Neratja (11 Oktober 1917), Agus Salim membentangkan silang pendapat ini. Ada pendapat mengemuka: "Rakyat yang hendak beroleh hak-haknya, bangsa yang menuntut kebebasannya terlebih dahulu harus pandai mencari harta dan kekayaan." Bagi kalangan ini, "Apakah gunanya kemerdekaan atau kebebasan bagi suatu bangsa yang tidak mempunyai harta dan kekayaan?" Pendapat lain menyanggah: "Kemerdekaan dan hak-hak kebebasan dahulu dan kekayaan kemudian." Bagi kalangan ini, "Kenaikan derajat bangsa kita dalam perkara harta atau ekonomi mustahil selagi belum naik derajat kemerdekaan kita tentang hak-hak politik."

Dihadapkan pada pilihan pelik ini, Salim sendiri—mewakili suara progresif kaum terjajah—tiba pada pilihan subyektifnya: "Berpuluh-puluh teladan boleh kita dapati dalam tarikh dunia…bahwa tiap-tiap bangsa yang hina-papa beroleh kemerdekaan dan hak-hak kebebasan lebih dahulu, setelah itu mendapat kekuasaan, akhirnya mengumpulkan harta."

Enam puluh tahun setelah kemerdekaan (politik) Indonesia, bangsa ini memang telah sanggup menegakkan kekuasaannya sendiri. Namun, ternyata tidak diikuti kesanggupan untuk mengumpulkan harta secara memadai bagi kesejahteraan warganya. Mengapa demikian?

Ketika kemerdekaan tercapai, kaum intelegensia tampil sebagai elite politik yang dominan. Ini terjadi karena sisa-sia kekuatan kerajaan dan aristokrasi lama pudar; para klerik tua, penjaga teks-teks suci, dipandang tak memiliki kapasitas untuk mengelola negara modern; borjuasi Belanda dan Tionghoa terus menguasai kapital, namun tak bisa menjadi ruling class dalam arti sesungguhnya di negeri ini—karena terkucilkan dari partisipasi politik formal; borjuasi pribumi bisa terlibat secara politik, namun posisi kapital mereka terlalu lemah untuk mampu mengendalikan politik. Dalam situasi demikian, inteligensia politik, berkat kepemimpinannya dalam pergerakan kebangsaan dan perkumpulan politik, berhasil memanfaatkan modal kultural dan politiknya untuk menguasai kepemimpinan kenegaraan.

Kalangan inteligensia Indonesia yang memimpin kabinet pada awal kemerdekaan, kendatipun menyerukan ideologi-politik yang bercorak sosialis dan nasionalis, tidak menunjukkan hasrat untuk segera melakukan nasionalisasi ekonomi dan mengontrol redistribusi surplus ekonomi. Mereka percaya bahwa perubahan yang cepat dari perekonomian kolonial ke perekonomian nasional akan menimbulkan gangguan yang tak bisa mereka kendalikan (Robison, 1978).

Hal ini diperkuat oleh Kesepakatan Ekonomi-Finansial antara pihak Indonesia dan Belanda pada Perjanjian Meja Bundar. Berdasarkan perjanjian ini, perusahaan-perusahaan Belanda bisa menjalankan bisnisnya seperti sedia kala, dan Pemerintah Indonesia berkewajiban berkonsultasi dengan pemerintah Belanda tentang pelbagai kebijakan ekonomi dan keuangan yang bisa berdampak bagi kepentingan Belanda.

Alhasil, inteligensia Indonesia tampil sebagai elite politik tanpa basis ekonomi yang kuat. Kenyataan seperti ini sudah disadari oleh pemimpin-pemimpin politik pada awal kemerdekaan. Usaha untuk memperkuat basis ekonomi ini ditempuh antara lain lewat politik Benteng, yang mempertautkan kekuatan politik dan borjuasi pribumi. Tetapi, proyek ini gagal, karena ketercerabutan dunia politik dari dunia bisnis membuat para politisi hanya sibuk dengan panggung politiknya dan tak memiliki perspektif tentang dunia usaha, kecuali menjadikan yang terakhir sebagai sapi perah bagi kepentingan politiknya. Proyek ini ditakdirkan gagal karena yang muncul hanyalah jual-beli lisensi impor, bukan menghidupkan dunia usaha secara sejati.

Ekonomi jadi panglima

Orde Baru tampil dengan menjadikan ekonomi sebagai panglima. Tetapi, pertumbuhan ekonomi tanpa demokratisasi hanyalah melahirkan konglomerasi dalam kerangka kapitalisme birokratik yang berbasis kronisme. Yang muncul adalah "ekonomi buih" (bubble economics) dengan fondasi yang rapuh serta kesenjangan yang lebar.

Kemunculan Orde Reformasi membawa aspirasi neoliberal dalam ekonomi dan memberi ruang kompetisi yang lebar dalam politik. Tetapi kebebasan kompetisi dalam lanskap kesenjangan ekonomi yang diwariskan rezim sebelumnya ternyata ditakdirkan untuk dimenangi oleh oligarki. Unsur-unsur kapitalis kroni yang dibesarkan Orde Baru berhasil mengawinkan modal ekonomi dengan modal politik. Dalam kemunculannya sebagai elite politik, kaum kapitalis "semu" ini tidak punya komitmen yang tulus untuk mengembangkan dunia usaha dan kesejahteraan rakyat, kecuali untuk memperkuat pundi-pundi ekonominya sendiri.

Perubahan rezim, perbaikan prosedur demokrasi, dan penguatan peran masyarakat sipil tetap tak memberi gairah pada dunia usaha dalam skala luas. Investasi asing masih tersendat, modal domestik masih banyak yang diparkir di luar negeri, sedangkan kemampuan investasi negara terhadang oleh beban utang luar negeri. Dalam pada itu, statistik BPS (2005) berkenaan dengan pengangguran terbuka menunjukkan adanya situasi yang sangat memprihatinkan. Pengangguran terbuka telah mencapai 10,84 persen dari total angkatan kerja yang mencapai 106,9 juta orang; sedangkan daya beli masyarakat dan indeks kesejahteraan masyarakat pascakenaikan harga BBM terus merosot.

Tidak ada pilihan lain kecuali menghidupkan iklim yang sehat bagi perkembangan dunia usaha. Pekerjaan rumah untuk "mengumpulkan harta" setelah tercapai kemerdekaan politik tak bisa ditunda lagi. Pertumbuhan kebebasan harus sejalan dengan pertumbuhan dunia usaha. Kita ingin pandangan Voltaire tentang kejayaan Inggris berlaku di sini: "Perdagangan, yang sudah memperkaya warga Inggris, telah membantu mereka bebas, dan, sebaliknya, kebebasan ini memperluas perdagangan". Kebebasan buah berdagang itulah, menurut Voltaire, yang menyumbangkan bagi bangsa Inggris, the greatness of the nation.

Komitmen negara dan warganya untuk menggairahkan dunia usaha harus sebanding dengan komitmen dunia usaha untuk berkontribusi terhadap kehidupan bangsa. Selain mengembangkan kapasitas daya saingnya sendiri, dunia usaha dituntut untuk mempertautkan usaha dengan nurani, menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan, berkhidmat pada kemaslahatan bersama, dan berkomitmen pada penguatan demokrasi dan kebajikan sipil (civic virtues).

Ketercerabutan dunia usaha dari dunia politik dan masyarakat sipil harus diakhiri. Sinisme terhadap sektor ini harus beralih menjadi simpati. Panggung yang sepi harus digairahkan. Setelah karnaval kebebasan diraih, saatnya setiap orang menikmati tumpengan.

Yudi Latif Direktur Eksekutif Reform Institute dan Deputi Rektor Universitas Paramadina

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home