| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, April 28, 2006,9:40 PM

Hilangnya Watak Transformatif Agama

Umaruddin Masdar

Pada akhir 1970-an, Abdurrahman Wahid dan Zamakhsyari Dhofier pernah mengkritik pendekatan fungsional yang banyak digunakan untuk memahami agama.

Dalam tulisannya, "Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua Kasus dari Jombang", yang dimuat Jurnal Prisma edisi April 1978, keduanya menyatakan pendekatan fungsional selalu menekankan aspek perpaduan dan penyatuan (harmonizing and integrating aspects) dari ajaran-ajaran agama dengan melupakan aspeknya yang bersifat mengubah (transformative aspects). Pendekatan demikian menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang statis dan pandangan sangat konservatif atas ritual dan ajaran keagamaan dalam kehidupan.

Kritik tersebut ditujukan kepada para ahli dari kalangan luar agama (sosiolog, antropolog, dan pengambil kebijakan) yang cenderung memandang agama sebagai unsur yang paling sukar dan lambat berubah. Agama dianggap menghambat pembangunan atau modernisasi.

Pada dasarnya, menurut Gus Dur dan Dhofier, setiap agama memiliki watak transformatif. Agama berusaha menanamkan nilai-nilai baru dan mengganti nilai lama yang dianggap bertentangan dengan ajarannya. Dengan watak demikian, agama tidak selalu menekankan segi harmoni dan aspek integratif dalam kehidupan masyarakat, tetapi sering kali menimbulkan konflik baru karena misinya yang transformatif mendapat tantangan dari pihak lain.

Kritik tersebut kini tampaknya relevan ditujukan untuk "orang dalam", terutama di tengah maraknya dakwah Islam di televisi yang hampir seluruh perspektifnya menggunakan pendekatan fungsional. Dalam berbagai acara keagamaan di televisi tersebut, bisa dikatakan agama telah kehilangan watak aslinya yang transformatif. Contoh yang bisa dikatakan ekstrem adalah iklan layanan masyarakat yang mendukung kenaikan harga BBM yang menampilkan dai kondang, Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), beberapa waktu lalu.

Dalam pendekatan fungsional selalu dikedepankan ajakan untuk bersabar menerima keadaan, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, bersatu, dan sebagainya. Persoalan tidak dilihat secara struktural, tetapi disikapi secara individual. Sikap individu yang sabar dan rendah hati diyakini mampu mengatasi persoalan struktural sebesar apa pun yang dihadapi bangsa.

Pencerahan yang kondusif

Sepintas lalu pendekatan demikian menghasilkan sikap keberagamaan yang dewasa. Semangat untuk melaksanakan ritual dan menggunakan simbol agama juga meningkat. Namun, apakah perkembangan ini bisa menjadi proses pencerahan yang kondusif bagi penyelesaian persoalan struktural bangsa secara kolektif, masih perlu dikaji lagi.

Kalau diamati secara saksama, ada beberapa hal yang perlu direfleksikan lebih jauh tentang dakwah fungsional itu, terutama menyangkut implikasi jangka panjang bagi kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan. Pertama, pendekatan fungsional bisa menjebak umat beragama dalam sikap fatalistik dan mematikan sikap kritis. Hal ini terjadi karena dalam pendekatan fungsional tidak jelas sampai batas mana persoalan struktural bisa ditoleransi dan disikapi secara individual.

Kedua, keberagamaan tanpa watak kritis menjadi salah satu ekspresi yang sesuai dengan kebutuhan "pasar". Kita tahu bahwa pasar sangat sensitif dengan gejolak sosial, termasuk yang bersumber dari sikap keagamaan, karena itu tidak mengherankan jika pelaku pasar mendukung tayangan-tayangan dakwah yang menopang stabilitas sosial.

Ketiga, para penguasa juga sangat menyukai tokoh-tokoh agama yang selalu mengampanyekan persatuan, harmoni, integrasi, dan sikap-sikap lain yang mendukung stabilitas politik. Mereka paham bahwa keadaan paling berbahaya adalah instabilitas karena ada gerakan protes yang bersumber pada ajaran agama. Karena agama miliki unsur keabadian, instabilitas yang ditimbulkan biasanya juga berlangsung lama. Artinya, dakwah fungsional, disadari atau tidak, lebih merupakan upaya menyesuaikan ajaran agama untuk kepentingan pasar dan penguasa daripada kepentingan agama dan umat itu sendiri.

Keempat, ada konvergensi di mana tuntutan pasar dan pemerintah itu bertemu dengan meningkatnya gairah keagamaan "kelas menengah keagamaan-kota" yang secara umum ingin bergaya hidup agamis, tetapi dengan cara-cara yang sedikit instan. Konvergensi demikian dengan sendirinya menghadirkan pemahaman dan penafsiran agama yang cenderung manipulatif, yaitu para juru dakwah menjadi penafsir yang menyediakan simbol-simbol agama sebagai legitimasi tidak terbatas terhadap gaya hidup, kekuasaan politik, dan pasar.

Kelima, dalam jangka panjang, pendekatan fungsional terhadap ajaran agama bisa berakibat pada pendangkalan pemahaman keagamaan yang jika tidak disadari sejak dini akan menyuburkan radikalisme di masa mendatang.

Legitimasi agama

Kebutuhan untuk menyediakan legitimasi agama guna membangun harmoni sosial di tengah menumpuknya berbagai persoalan struktural mendorong juru dakwah untuk mengambil dalil agama apa saja yang bisa melegitimasi keadaan di satu sisi dan membangun gaya hidup agamis di sisi lain secara simbolis dan verbalistik. Konsekuensinya, ajaran agama direduksi sedemikian rupa sehingga ia kehilangan spiritnya yang berwatak membebaskan.

Perspektif kesejarahan dan sentuhan humanitarianisme hilang dari pemahaman dan penafsiran ajaran agama. Agama tidak lagi bisa menjadi salah satu alat analisis sosial, tetapi memunculkan sikap umat yang cenderung apolitis, apatis, dan individualistis karena semua persoalan dikembalikan kepada sikap individu.

Dalam kondisi seperti itu, sesungguhnya dibutuhkan keberanian moral para tokoh agama untuk bersikap dan berpihak kepada kepentingan rakyat guna mewujudkan keadilan dan kemaslahatan bersama. Netralitas menjadi sesuatu yang absurd dan bisa dianggap sebagai pengingkaran terhadap komitmen untuk membela kepentingan umat.

Sikap demikian mungkin akan menimbulkan suasana konflik. Namun, konflik yang dipahami akar persoalannya secara menyeluruh akan bermakna positif bagi dinamisasi kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan, terutama bagi pematangan dan pendewasaan sikap hidup kaum beragama itu sendiri.

Umaruddin Masdar Politik; Penulis Buku "Gus Dur Pecinta Ulama Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas Etnis Keagamaan" (2005)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home