| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, April 28, 2006,1:21 AM

Disorientasi Rezim Kesusilaan

Sri Palupi

Satu hal yang membedakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dengan pemerintahan sebelumnya adalah bahwa pemerintahan saat ini punya perhatian lebih terhadap masalah moral dan kesusilaan. Perhatian terhadap masalah moralitas ini sedemikian besarnya hingga di banyak daerah wajah pemerintah identik dengan wajah polisi moral.

Dengan wajah seperti itu, pemerintahan Yudhoyono-Kalla pantas menyandang sebutan rezim kesusilaan.

Tubuh perempuan

Fenomena menonjol di era pemerintahan Yudhoyono-Kalla adalah perhatian negara terhadap masalah moralitas dan kesusilaan warga. Keseriusan negara dalam menangani masalah moral dan kesusilaan ditunjukkan oleh hadirnya berbagai kebijakan tentang kesusilaan di tingkat nasional dan lokal. Di tingkat nasional, DPR tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti-Pornografi dan Pornoaksi yang kontroversial. RUU itu diarahkan untuk mengatur masalah moralitas dan kesusilaan warga, mulai dari cara berpakaian, berpenampilan, hingga berkesenian.

Di tingkat lokal, berbagai peraturan daerah (perda) dan aturan dirumuskan atas nama kesusilaan. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mencatat sedikitnya ada 25 perda dan kebijakan lain di tingkat lokal serta tujuh rancangan perda (raperda) yang mengatur masalah kesusilaan. Aturan soal kesusilaan itu pada umumnya mengarah ke penanganan pelacuran dan kemaksiatan, pengaturan tentang pakaian, dan peningkatan ketakwaan.

Sebut saja di antaranya di Kota Tangerang dan Palembang di mana terdapat perda tentang larangan pelacuran. Di Provinsi Gorontalo, Sumatera Selatan, dan beberapa daerah lain ada perda tentang pencegahan maksiat. Di Kabupaten Garut ada perda soal kesusilaan. Di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Kabupaten Bulukumba, dan beberapa daerah lain ada perda tentang busana Muslim. Di Kabupaten Maros, Tasikmalaya, Kota Bengkulu dan beberapa daerah lain ada aturan tentang peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan. Sementara di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ada raperda tentang busana wajib jilbab, di Banjarmasin ada raperda tentang larangan mandi di kali.

Perda-perda tersebut melahirkan pro dan kontra yang tak ada putusnya karena bersandar pada moralitas mainstream dan memandang tubuh perempuan sebagai sumber masalah. Sebagian perda mengatur tentang pakaian perempuan bersusila, sebagian lain mengatur jam kerja perempuan bersusila, dan sebagian lainnya mengatur perilaku dan seksualitas perempuan bersusila. Mereka yang berada di luar kerangka kesusilaan dinilai mengancam ketertiban sosial dan karenanya harus dikontrol.

Dengan memandang tubuh perempuan sebagai sumber masalah, lahirnya beragam perda tentang kesusilaan itu pada akhirnya mengarah ke domestifikasi perempuan dan kriminalisasi perempuan, khususnya perempuan miskin. Sebagai gambaran, dalam Perda Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 Pasal 4 ditegaskan bahwa setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah.

Perda semacam ini secara substansial telah mengkriminalkan perempuan miskin. Sebab, mayoritas warga yang berada di jalan dan karenanya rentan dicurigai sebagai pelacur adalah perempuan miskin. Terbukti, beberapa korban salah tangkap yang dicurigai sebagai pelacur ternyata adalah buruh yang sedang menunggu angkutan umum. Dengan membuat beragam kebijakan atas nama kesusilaan, pemerintah telah menegaskan diri sebagai polisi moral yang mengontrol tubuh dan gerak-gerik perempuan. Lalu apa masalahnya apabila negara berperan sebagai polisi moral?

Kemunafikan publik

Dengan menjadikan diri sebagai rezim kesusilaan, disadari atau tidak, pemerintahan Yudhoyono-Kalla tengah melakukan kebohongan politik dan membangun kemunafikan publik. Betapa tidak. Negara demikian getol mengontrol moralitas warga, sementara korupsi, kemiskinan, kelaparan dan pengangguran kian merajalela. DPR lantang bicara soal moral, namun tidak merasa bersalah dengan gajinya yang naik berlipat-lipat dan studi bandingnya ke luar negeri di saat beban hidup rakyat semakin berat.

Ironis, bahwa di tengah antusiasme negara mengurus soal moral dan kesusilaan, masalah mendasar terkait dengan hidup dan mati mayoritas rakyat justru terabaikan. Nurani pemerintah dan parlemen demikian terusik oleh cara warga berpakaian, tetapi ironisnya nurani itu tak terganggu oleh meluasnya anak- anak yang mati kelaparan. Terbukti, merebaknya anak-anak busung lapar di berbagai daerah tidak cukup mendapat perhatian.

Di beberapa daerah, seperti Tangerang, Banten, Sulawesi Selatan, NTB, dan Sumatera Barat, masyarakat tengah dihadapkan pada masalah meluasnya busung lapar. Bahkan, dua hingga empat anak balita dari sepuluh anak balita di 72 persen kabupaten di Indonesia tengah menderita busung lapar. Di Kabupaten Bone, misalnya, dalam dua bulan terakhir jumlah anak penderita busung lapar meningkat 700 persen, dari 40 anak menjadi 281 anak.

Di saat busung lapar menjadi ancaman serius dan generasi yang hilang ada di depan mata, bukan kebijakan memerangi kemiskinan dan kelaparan yang diprioritaskan, tetapi kebijakan memerangi pelacuran. Bagaimana mungkin mengatasi pelacuran tanpa memerangi pemiskinan dan pengangguran?

Perkara privat

Dengan menegaskan diri sebagai rezim kesusilaan, pemerintah telah kehilangan kapasitas untuk melihat esensi persoalan yang tengah dihadapi bangsa ini. Pemerintah juga kehilangan kemampuan untuk membedakan mana perkara publik dan mana perkara privat. Perkara privat menyangkut cara berpakaian dan peningkatan ketakwaan diangkat sebagai perkara publik. Sementara perkara publik menyangkut meluasnya pemiskinan, busung lapar, pengangguran, wabah penyakit, meningkatnya angka bunuh diri di kalangan anak-anak dan kekerasan terhadap perempuan akibat deraan kemiskinan, dan lain-lain perkara hidup mati mayoritas rakyat justru dimarjinalkan menjadi perkara privat. Lalu apa artinya pemerintah dan DPR meratifikasi Kovenan Hak- hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ecosoc)?

Dihadapkan pada masalah mendasar menyangkut hilangnya hak hidup mayoritas warga akibat pemiskinan, pengangguran, dan wabah penyakit, serta hilangnya satu generasi akibat busung lapar, kehadiran berbagai kebijakan yang mengatur masalah moral dan kesusilaan itu bukan saja kontroversial, tetapi juga menegaskan kondisi rezim kesusilaan yang tengah kehilangan orientasi.

Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home