| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, April 26, 2006,12:34 PM

Beda Pendapat soal Syariat di Aceh

Perbedaan Pandangan soal Mahkamah Syariah Lebar

Jakarta, Kompas - Perbedaan pandangan dalam pembahasan Rancangan Undang- Undang mengenai Pemerintahan Aceh pada materi soal kewenangan Mahkamah Syariah terentang sangat lebar.

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera secara tegas meminta agar kewenangan Mahkamah Syariah diberlakukan bagi seluruh orang/ badan yang berada dan bertempat tinggal di Aceh.

Di "kubu berseberangan", Fraksi Partai Damai Sejahtera justru mengusulkan agar kewenangan itu terbatas hanya berlaku bagi orang Islam dan tidak berlaku secara keseluruhan.

Perbedaan pandangan antara F-PKS dan F-PDS terjadi juga dalam ketentuan mengenai pelaksanaan syariat Islam. Juru bicara F-PKS Nasir Djamil meminta ada ketentuan bahwa setiap warga negara Indonesia atau siapa pun yang bertempat tinggal atau singgah di Aceh wajib tunduk dan menghormati pelaksanaan syariat Islam.

Rufinus Sianturi dari F-PDS menilai, rumusan yang diajukan F-PKS tersebut berlebihan. Bahkan, untuk rumusan RUU yang menyatakan siapa pun wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam pun sudah dipertanyakan tentang rumusan penghormatan itu.

Persoalan dua pandangan soal pemberlakuan syariat Islam itu terlihat saat Rapat Kerja Panitia Khusus RUU Pemerintahan Aceh di Gedung DPR, Selasa (25/4).

Di luar perbedaan pandangan antara F-PKS dan F-PDS, pendapat fraksi lain pun beragam. Ada yang berpendapat bahwa kewenangan itu hanya untuk pemeluk agama Islam, seperti F-PDIP dan F-PD. Namun, ada pula fraksi yang mengusulkan agar kewenangan Mahkamah Syariah juga diberlakukan bagi warga non-Muslim yang melakukan tindak pidana atau sengketa perdata bersama warga Muslim, seperti F-KB.

Selain itu, misalnya, F-PG, F-PAN, ataupun F-BPD menawarkan agar kewenangan Mahkamah Syariah juga dapat diberlakukan bagi warga non-Muslim atas dasar kesukarelaan.

Sementara Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra menyebutkan tidak ada pilihan hukum menyangkut hukum publik. Pilihan itu hanya ada untuk hukum privat. Secara sosiologis, pemerintah mengintrodusir pemberlakuan syariat Islam di Aceh karena memang hukum itu hidup dalam kesadaran hukum masyarakat Aceh. "Ketentuan hukum materiil dan beracara dapat diserahkan pada qanun Aceh," katanya.

Anggota pansus Permadi (F-PDIP, Jawa Timur IX) mengingatkan, jika ketentuan syariat Islam diberlakukan di Aceh, penerapannya harus dihormati dan tanpa pandang bulu.

Di luar Gedung DPR, secara terpisah anggota pansus Marzuki Darusman menilai keberatan yang dilontarkan F-PDIP dan F-PDS itu sekadar bentuk tawar- menawar politik.

Tolak RUU

Sementara elemen masyarakat Aceh pendukung pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (Abas) menyatakan penolakan mereka atas RUU Pemerintahan Aceh yang tidak aspiratif. Pasalnya, kehendak masyarakat di 11 kabupaten di Aceh untuk membentuk dua provinsi baru itu tak dimuatkan secara jelas dan tegas dalam RUU Pemerintahan Aceh.

Kepada Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno dan anggota Pansus RUU Pemerintahan Aceh Permadi, mereka mengancam mogok massal, memboikot pelaksanaan pemilihan kepala daerah, dan bahkan "berontak" lepas dari Aceh jika klausul itu tidak termuat dalam RUU.

Menteri Dalam Negeri Moh Ma’ruf yang ditemui secara terpisah menyebutkan, ide pembentukan daerah otonom baru tetap mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah yang berlaku umum. (dik/DWA)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home