| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, April 21, 2006,12:49 PM

Polisi dan Pemberantasan Korupsi

Kastorius Sinaga

Pada Konferensi Ke-19 International Criminal Police Organization beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan agar polisi mengambil posisi terdepan dalam memberantas korupsi.

Dengan menyebut korupsi sebagai musuh rakyat nomor satu, Presiden meminta pemberantasan dimulai dari kepolisian sendiri. Ia mencontohkan Singapura dan Hongkong yang berhasil memberantas korupsi karena dimulai dari institusi kepolisian (Kompas, 11/4/2006).

Ihwal korelasi positif antara korupsi dan kepolisian telah lama eksis. Sering studi pemetaan korupsi di Indonesia memosisikan institusi ini di peringkat teratas. Yang jarang terdengar adalah analisis anatomi berikut kondisi yang mendukung pemberantasan korupsi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Empat zona

Sedikitnya ada empat zona yang menjadi titik rawan korupsi di kepolisian. Keempat zona memiliki modus berbeda, namun semuanya melekat dengan tugas dan diskresi fungsi kepolisian.

Pertama, korupsi di "zona pelayanan" yang berlangsung dalam urusan pemberian izin, registrasi, verifikasi dan sebagainya, yang dalam struktur pendapatan negara termasuk sumber pendapatan nonpajak. Meski kualitas layanan perizinan relatif membaik, transparansi pengelolaan dana dinilai masih kurang.

Tipe kedua, korupsi di zona kewenangan, khususnya dalam tugas kepolisian selaku penegak hukum. Pada lini ini, ragam ini amat majemuk, mulai dari petty corruption di jalan raya, back up atas praktik ilegal (logging, mining, smuggling), hingga korupsi saat penyusunan berkas acara pemeriksaan. Praktik korupsi dari kategori ini memiliki implikasi unik karena berbanding lurus terhadap citra kepolisian dan sistem hukum kita. Semakin majemuk dan tinggi perilaku korupsi di ranah ini, akan semakin dalam luka penyebab kebobrokan sistem hukum kita secara keseluruhan.

Tipe ketiga, korupsi fiskal atau anggaran. Pos belanja barang kepolisian, khususnya alat utama sistem persenjataan (alutsista), seperti pengadaan infrastruktur, helikopter, kapal patroli air, water cannon, dan senjata, telah lama menjadi sasaran empuk pemburu ekonomi rente (rent seeker) negeri ini. Nilai anggaran di pos ini tergolong besar dan selama era reformasi terus meningkat. Dalam banyak kasus di masa lalu, bermodalkan jaringan kedekatan terhadap para petinggi di markas besar, seseorang bisa mengeruk keuntungan besar dalam tempo singkat. Di bulan-bulan terakhir, banyak kasus korupsi fiskal Polri sedang disidik, yang akhirnya menjerat oknum korup di polisi tanpa pandang pangkat maupun jabatan.

Tipe keempat, korupsi kepolisian di ranah manajemen personalia. Telah menjadi rahasia umum bila perekrutan, promosi, mutasi, bahkan diklat untuk jabatan strategis selalu dibayang-bayangi money politics. Pengamat banyak menyinyalir, apabila korupsi di tubuh Polri melembaga lewat zona ini, di satu pihak ia melumpuhkan semangat merit system dan di pihak lain ia mengembangbiakkan tradisi pemberian upeti yang bersifat hierarkis.

Keempat ranah korupsi itu merupakan anatomi sederhana tentang sinyalemen korupsi di Polri. Pembersihan internal bersifat parsial tak banyak berarti jika tak diikuti peningkatan integritas dari segenap subsistem manajemen kepolisian.

Sistem desentralisasi pengadaan barang, penerapan sistem key performance indicator terhadap kepala polda, adopsi sistem anggaran berorientasi pada kinerja, transparansi pengelolaan personalia sesuai aturan baku, serta penegakan etika profesi adalah beberapa contoh terobosan yang diambil baru-baru ini. Langkah ini merupakan benih pembenahan diri yang membutuhkan waktu hingga membuahkan postur kepolisian yang profesional, memiliki integritas, dan bebas dari KKN.

Di pusaran risiko

Saat ini kepolisian terkesan "maju tak gentar" membongkar berbagai kasus megakorupsi yang secara kasatmata merugikan keuangan negara. Kasus manipulasi interkoneksi Telkom di Jawa Barat, kasus PLN, masalah penyeludupan BBM di Kaltim, korupsi di PTP II Medan, kasus kredit ekspor fiktif di wilayah Metro Jaya, pemberantasan illegal logging di Papua, penindakan pelaku korupsi APBD di berbagai daerah, serta kasus BLBI adalah beberapa bentuk operasi proaktif kepolisian yang mengundang banyak kontroversi. Operasi yang dilakukan bersamaan dengan agresi pemberantasan kejahatan sindikasi, seperti perjudian, narkoba, dan terorisme ini, dalam banyak hal memosisikan institusi kepolisian di pusaran utama berbagai arus risiko pemulihan Indonesia.

Ada dua efek samping positif dari fenomena ini terhadap internal kepolisian. Pertama, aparat kepolisian, khususnya mereka yang ada di lini manajemen anggaran dan penegakan hukum, kini serius berupaya tidak terjebak penyalahgunaan wewenang (abuse of power) karena hal ini akan menjadi bumerang fatal, baik secara personal maupun institusional.

Kedua, tanpa dikondisikan, kiprah dan kinerja Polri jadi titik perhatian amat intensif dari radar berita dan opini media yang begitu intens mengawasi perilaku lembaga-lembaga pemegang otoritas kekuasaan negara. Hal seperti ini tentu meningkatkan efek psikologis berupa kehati-hatian dan komitmen jajaran petinggi Polri untuk secara top-down berbenah diri dalam menjalankan mandat yang diberikan publik.

Kastorius Sinaga Sosiolog dan Penasihat Ahli Kepala Polri

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home