| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, April 19, 2006,12:44 PM

Bukti Negosiasi Kebudayaan

Oleh Dody Wisnu Pribadi

Tahun 1950-an, jauh sebelum Kota Malang berubah status menjadi "Kota Ruko" seperti sekarang, Kayutangan adalah pusat keramaian. Kayutangan memiliki posisi unik sebagai titik singgung penting, pergeseran perencanaan kota antara era prakolonial sebelum Malang menjadi penting secara ekonomi politik dan masa kolonial.

Paling tidak, itulah yang terungkap dalam deskripsi sejarah perencanaan kota sebagaimana diuraikan dalam buku Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang tulisan Handinoto dan Paulus Soehargo (1996). Kayutangan adalah kawasan yang mempertemukan Alun-alun Lama dan Alun-alun Bunder.

Alun-alun Lama mengikuti konsep perencanaan kota-kota Jawa pada umumnya (meski Malang mengalami perkecualian bahkan pertentangan dengan umumnya konsep kota di Jawa). Adapun alun-alun yang baru, Alun-alun Bunder, yang dibangun setelah Malang berubah mengalami perencanaan kota gaya Eropa yang diistilahkan mengikuti konsep jala.

Pemerintah Kota (Pemkot) Malang telah mengumumkan wacananya hendak melakukan apa yang diistilahkan sebagai revitalisasi sebagaimana diungkap Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Fisik Badan Perencanaan Pembangunan Kota Jarot Edy Sulistyono. Salah satu yang mula-mula hendak digarap adalah kawasan Kayutangan.

Budayawan Dr Djoko Sarjono yang memilih nama Kayutangan pada lembaga kebudayaan dan penerbitan buku yang ia pimpin, "Pustaka Kayutangan", menilai bahwa Kayutangan menyimpan monumen penting sejarah hubungan sosial dalam kisah lama kota ini.

"Pada awal abad 20, ketika kota ini dimulai perencanaannya, sesungguhnya sudah terbentuk rencana hubungan yang setara antara bisnis, kekuasaan, dan kebudayaan," kata Djoko, Ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Bisnis dan pusat kekuasaan

Kawasan yang berada di utara Alun-alun Lama ini adalah salah satu tempat yang meletakkan kawasan bisnis, sepanjang jalan Kayutangan yang sekarang menjadi Jalan Basuki Rahmat, dengan gedung Gereja dalam satu wilayah dengan pusat kekuasaan. Yakni, kantor Bupati Kabupaten Malang di sebelah barat alun-alun dan Kantor Asisten Residen (pada masa itu) di sebelah selatan (sekarang sudah tidak ada).

Bukti itu masih bisa ditambah dengan berdirinya bangunan masjid dan gereja di sebelah barat Alun-alun Lama serta gedung kelab orang Belanda Societteit Concordia di utara alun-alun.

Hubungan negosiasi yang setara antara bisnis, kekuasaan, dan ruang kebudayaan itu malahan sempat terpelihara hingga tahun 1950- an, ketika Pemkot Malang meletakkan lokasi pembangunan patung dada penyair yang kondang pada masa itu, Chairil Anwar, di Kayutangan. Patung dada itu masih berdiri hingga sekarang. Ketika menjabat redaktur harian Suara Indonesia yang terbit dari Kota Malang akhir dekade 1980-an, Pemimpin Padepokan Seni "Tantular" Henricus Supriyanto mengaku pernah meminta izin berwawancara dengan pematungnya, Widagdo. Namun, pematung ini menolak.

Henricus menduga, penyebabnya mungkin kritik terhadap pembuat karya patung dada itu.

Laporan liputan pendirian patung itu terekam di salah satu edisi majalah "Seni" terbitan Agustus 1955 yang ditulis Sunindya. Ia menulis liputannya saat peresmian," Kemudian patung dibuka selubungnya, patung pahatan Widagdo menonjol ke muka nampak dikerumuni oleh masyarakat Malang, disinari matahari pagi. Tetapi sayang hasil kerja siang-malam, hasil cucuran keringat Widagdo tidak sanggup bercerita apa-apa tentang penyair yang menjadi pujaan kebanyakan pemuda sekarang. Melihat bahannya, khawatir kita sebentar lagi kan hancur, melihat ekspresi sukar dicari, voetstuk (pedestal - Red) menyedihkan..."

Widagdo, pematungnya, juga dikutip oleh Sunindya," Memang kita tidak pernah puas. Habis, kita disini harus bekerja dengan serba kurang: kurang tenaga, kurang bahan, dan kurang biaya! Dan kalau kita sudah puas kan takkan maju-maju nanti?"

Kayutangan dan bukti-bukti bangunan di atasnya, termasuk patung dada Chairil Anwar itu, jelas menyimpan sejarah hubungan negosiasi yang "setara" antara pemerintah, bisnis, dan kebudayaan. Kini semuanya sudah jauh berbeda.

Tanah-tanah luas di pusat kota dicaploki untuk membangun mal, plasa, dan ruko, seperti di Stadion Gajayana, Lapangan Rampal, dan ruang terbuka hijau di Jalan Veteran yang kini menjadi Matos.

Terlebih, belum terhitung deretan ruko lain yang entah dibangun dengan perencanaan apa yang menjadikan Malang kini layak mendapat sebutan "Kota Ruko" menggantikan sebutan Kota Pendidikan, Kota Garnizun, Kota Bunga.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home