| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, April 20, 2006,10:49 AM

Kemiskinan Belum Berkurang

Indikator Makro Tak Mencerminkan Dinamika Ekonomi Masyarakat

JAkarta, Kompas - Perbaikan berbagai indikator ekonomi belum mencapai sasaran jika kemiskinan dan pengangguran belum dapat dikurangi. Tantangan dan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia dan pemerintah saat ini adalah bagaimana kemiskinan dan pengangguran dapat dikurangi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pernyataan tersebut dalam sambutannya ketika membuka Pameran Inacraft 2006, Rabu (19/4) di Jakarta.

Upaya pemerintah menurunkan jumlah penganggur dan kemiskinan sesuai dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009, masing-masing 5,1 persen dan 8,2 persen, sulit dicapai.

Pasalnya, jumlah lapangan kerja baru yang tercipta oleh satu persen pertumbuhan ekonomi masih sangat rendah, sementara tingkat kemiskinan tahun 2006 diperkirakan masih tinggi.

"Kita lihat hari-hari ini, indeks harga saham gabungan mencapai rekor tertinggi 1.400 sekian, nilai tukar rupiah yang sempat terguncang tahun lalu juga menunjukkan perbaikan penguatan yang sangat besar, cadangan devisa kita mencapai 41,8 miliar dollar AS, tertinggi dalam sejarah ekonomi kita. Tetapi, semua itu belum mencapai sasaran yang sesungguhnya apabila belum kita transformasikan langsung untuk mengurangi kemiskinan dan mengurangi pengangguran," kata Presiden.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) angka pengangguran sudah mencapai 40,1 juta orang atau sekitar 37 persen dari 106,9 juta angkatan kerja yang ada. Dari jumlah ini, sebanyak 10,48 persen atau 11,6 juta orang adalah penganggur terbuka bekerja kurang dari 35 jam per minggu). Itu angka per Oktober 2005 atau belum mempertimbangkan kenaikan harga BBM, sebesar rata-rata 126 persen pada Oktober 2005.

Sejak kenaikan harga BBM yang terakhir itu, gelombang PHK, terutama di sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, makanan, mainan, elektronik, kayu, mebel, belum berhenti, misalnya di Indofood, Unilever, Bank Danamon, Bank BNI, dan BII.

Tidak mudah

Lebih lanjut, Presiden menjelaskan, pemerintah sangat mengetahui bahwa yang perlu dituju adalah pengurangan kemiskinan dan pengangguran.

Akan tetapi, pengalaman Indonesia dan pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa usaha itu tidak semudah membalikkan telapak tangan dan harus diperjuangkan secara gigih, antara lain dengan perbaikan iklim investasi untuk membangkitkan dunia usaha.

"Jika dunia usaha bangkit, kesejahteraan buruh akan lebih bagus dan jangan lupa saudara-saudara kita yang masih menganggur diharapkan juga akan mendapatkan pekerjaan. Kita melindungi buruh, tetapi kita juga harus memberikan lapangan pekerjaan pada yang menganggur dengan cara menumbuhkan sektor riil, menumbuhkan dunia usaha di negeri ini," kata Presiden.

Presiden mengingatkan, pemahaman yang utuh mengenai sasaran tersebut perlu diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia. Persoalan yang terjadi sebaiknya tidak dilihat secara sepotong-sepotong.

Pada kesempatan terpisah, Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Fadhil Hasan menyampaikan, penguatan indikator makro-ekonomi, seperti penguatan saham dan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini, memang tidak mencerminkan dinamika ekonomi masyarakat.

Permasalahan dalam kondisi ekonomi riil itu antara lain ditunjukkan dengan melemahnya tiga sektor yang berkontribusi paling besar terhadap produk domestik bruto (PDB), yakni pertanian, perdagangan, dan industri manufaktur.

Sektor pertanian yang pada tahun 2002 memiliki kontribusi sekitar 16 persen terhadap PDB turun menjadi 13,4 persen pada tahun 2005. Perdagangan, yang memiliki kontribusi 16,9 persen terhadap PDB pada tahun 2002, juga melemah menjadi 15,7 persen pada tahun 2005. Kontribusi industri manufaktur terhadap PDB pun melemah dari 30,1 persen tahun 2002 menjadi 28,1 persen pada tahun 2005.

Penurunan produktivitas pada sektor pertanian yang menyerap hampir 45 persen dari angkatan kerja seharusnya diikuti dengan peningkatan kinerja sektor perdagangan dan manufaktur sehingga tenaga kerja beralih ke sektor perdagangan dan manufaktur.

Akan tetapi, kenyataan demikian tidak terjadi. Penurunan produktivitas pada sektor pertanian justru diikuti dengan melemahnya sektor perdagangan dan industri manufaktur.

Sementara jumlah tenaga kerja di sektor pertanian stagnan, sedangkan produktivitas sektor itu merosot. Dengan begitu, tingkat kesejahteraan masyarakat pun memburuk.

"Peningkatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat moderat 5,6 persen justru terjadi pada sektor pertambangan dan keuangan yang bersifat padat modal," kata Fadhil.

Ekonomi biaya tinggi

Kondisi tersebut menjelaskan mengapa indikator ekonomi yang membaik tidak bisa menolong mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

"Sebenarnya ini bisa jadi karena pemerintah sendiri terlalu berorientasi pada stabilitas makro-ekonomi, seperti defisit anggaran dan penguatan nilai tukar rupiah yang seharusnya menjadi sasaran antara," kata Fadhil.

Dalam menetapkan prioritas untuk mencapai sasaran pengurangan kemiskinan dan pengangguran, sampai pada batas-batas tertentu terjadinya trade-off perlu ditoleransi.

Fadhil mengakui, memang dibutuhkan waktu untuk membuat stabilitas makro berdampak positif terhadap perbaikan kondisi ekonomi riil masyarakat. "Namun, masyarakat sudah menunggu terlalu lama," katanya.

Stabilitas makro yang tidak banyak menolong perekonomian riil masyarakat adalah permasalahan yang juga dihadapi oleh pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Fadhil mengingatkan, ketika mencalonkan diri dalam kampanye pemilu tahun 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyebutkan kebijakan yang perlu dilakukan mengarah pada sasaran pengurangan kemiskinan dan pengangguran. "Tetapi, kenapa kok sekarang malah terulang lagi?" katanya dengan nada prihatin.

Sementara itu ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Chatib Basri berpendapat, stabilitas makro adalah prasyarat yang harus dipenuhi agar pertumbuhan ekonomi dapat mendorong produksi sektor riil.

Dalam perjalanan perekonomian Indonesia sejak pemerintahan Megawati terdapat lonjakan kenaikan harga minyak dunia yang tidak dapat dihindari.

Pemerintah menyikapi kondisi tersebut dengan menaikkan harga BBM lebih dari 100 persen, diikuti dengan kenaikan suku bunga akhir tahun lalu sebagai pilihan menyelamatkan stabilitas makro-ekonomi.

Setelah stabilitas makro-ekonomi mulai membaik, masalah yang menghadang adalah pembenahan sektor riil. (DAY/INU)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home