| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, April 20, 2006,10:58 AM

Revisi yang Tidak Pasti

M Ikhsan Modjo

Drama revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan belum berakhir. Pemerintah berinisiatif merembukkan usulan revisi dalam forum tripartit menyusul langkah serikat buruh dan sebagian mahasiswa yang menolak usulan revisi, yang dianggap merugikan pekerja.

Langkah pemerintah menarik kembali usulan revisi adalah tepat meski terlambat, mengingat dalam draf itu masih ada banyak ketidakjelasan dan ketidaksiapan infrastruktur yang diharapkan akan menunjang keberhasilan revisi UU dalam mereformasi pasar ketenagakerjaan di Indonesia.

Interpretasi

Ketidakjelasan dan ketidaksiapan infrastruktur ini, misalnya, dapat dilihat dalam penetapan upah minimum. Satu hal yang selama ini lebih banyak didasarkan proses arbitrer, yang dalam praktik menjadi ajang manipulasi dan adu kuat antara serikat pekerja dan asosiasi pengusaha, yang justru kontraproduktif bagi perekonomian nasional. Di mana untuk itu revisi yang memberikan lebih kepastian dan menutup pintu bagi proses-proses negosiasi yang sarat dengan kepentingan politik adalah mutlak diperlukan.

Sayang, draf revisi tidak hanya tidak memberi kepastian lebih, tetapi juga membuka kemungkinan luas konflik kepentingan dan proses arbitrer dalam penentuan upah. Revisi sekadar menyebut upah minimum akan ditetapkan sebagai jaring pengaman sosial, tanpa menjelaskan secara spesifik apa yang dimaksud jaring pengaman sosial berikut kriteria yang akan digunakan untuk menetapkan upah.

Akibat ketiadaan penjelasan spesifik, penetapan upah minimum sebagai jaring pengaman sosial akan diinterpretasikan sebagai penurunan upah. Sebab, garis kemiskinan yang sering dijadikan patokan dalam jaring pengaman sosial adalah setengah dari nilai rata-rata upah minimum pada kurun waktu lima tahun terakhir.

Maka, tidak mengherankan bila draf revisi ini dianggap amat berpihak kepada pengusaha dan merugikan pekerja. Padahal, keberpihakan pemerintah seharusnya netral. Isi revisi harus mengedepankan pemberian kepastian keberpihakan kepada buruh atau pengusaha.

Dalam hal ini, lebih bijak, misalnya, menyandarkan upah minimum pada tingkat inflasi tahunan daerah, yang bisa diverifikasi kedua pihak dan tidak mengimplikasikan penurunan upah minimum bagi pekerja. Dengan cara ini, revisi lebih mungkin diterima dan tidak dianggap hanya sebagai pragmatisme kebijakan yang berpihak secara membabi-buta kepada kepentingan pengusaha dan investor.

Soal kompensasi

Hal krusial lain yang juga kontroversial adalah soal kompensasi pemberhentian termasuk pesangon. Dalam draf revisi ada usulan yang secara tidak langsung mengimplikasikan bahwa pesangon hanya diberikan kepada pekerja dengan upah di bawah Rp 1,1 juta per bulan.

Sebagai kompensasi hilangnya pesangon, akan ada kewajiban perusahaan untuk meningkatkan setoran premi pensiun pekerja, lebih tinggi dari 11,7 persen. Namun, lagi-lagi tidak ada kejelasan berapa besar akan ada kenaikan kompensasi pensiun. Begitu juga apakah semua pekerja akan mendapat kenaikan atau hanya pekerja jenis tertentu (misalnya hanya untuk pekerja tetap) yang kelak mendapat kenaikan.

Selain itu, sebagaimana diakui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, hingga kini belum ada kesiapan infrastruktur hukum yang mengatur masalah pensiun nasional, yang dalam hal ini rencananya akan dikelola secara monopoli oleh PT Jamsostek (KCM, 9/4/2006).

Tanpa kesiapan mekanisme dan infrastruktur hukum memadai, rencana menghapus pesangon dan menggantinya menjadi pensiun nasional menjadi berisiko tinggi. Terutama dalam kondisi karut-marutnya pengelolaan lembaga Jamsostek di mana korupsi dan penyelewengan masih terjadi. Ini mengingat dana pensiun pekerja akan berjumlah besar dan rawan disalahgunakan bila tidak ada mekanisme pengawasan dan peraturan yang ketat dalam penggunaannya.

Ketidakpastian dan ketidaksiapan infrastruktur yang mengiringi rencana revisi UU ketenagakerjaan menjadikan revisi yang sebenarnya baik menjadi luas ditentang. Padahal, kini dibutuhkan reformasi sektor ketenagakerjaan. Beberapa kajian menunjukkan, akibat diberlakukannya UU No 13/2003, ada sekitar satu-dua juta pekerja yang tidak tertampung di pasar kerja setiap tahun.

Kebanyakan pekerja yang tidak tertampung berusia belia yang minim pengalaman atau baru pertama kali masuk pasar kerja. Begitu juga mereka yang terserap di pasar tenaga kerja formal kebanyakan dipekerjakan dengan sistem kontrak yang tidak memberi kepastian dan keamanan.

Untuk itu, revisi UU ketenagakerjaan patut ditarik, bukan hanya sekadar dirembuk kembali, tetapi sekaligus diberi bingkai menyeluruh dan lebih pasti, baik bagi pekerja maupun pengusaha. Ini satu kerja besar, tetapi bukan satu hal yang mustahil.

M Ikhsan Modjo Dosen FE Unair; Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Monash University

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home