| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, April 19, 2006,1:19 AM

Nuklir Iran dan Keamanan Internasional

Anak Agung Banyu Perwita

Isu nuklir Iran akan menjadi salah satu isu keamanan internasional terpenting di tahun 2006. Bahkan, banyak analis menyatakan Iran memiliki kemampuan senjata pemusnah massal, yang apabila tidak segera dilucuti akan sangat membahayakan keamanan internasional.

Apakah memang Iran memiliki (kemampuan) senjata nuklir? Bagaimana respons masyarakat internasional mengenai isu nuklir Iran?

Ketertarikan Iran pada upaya untuk memiliki dan mengembangkan nuklir sudah berlangsung setidaknya sejak tahun 1957. Pada masa itu, hubungan AS dan Iran yang berada di bawah pemerintahan Shah Reza Pahlevi sangatlah mesra yang ditandai dengan perjanjian kerja sama nuklir sipil sebagai bagian dari program "Atom for Peace" AS.

Melalui perjanjian ini, AS menyediakan bantuan teknis, menyediakan bantuan pengayaan uranium, dan kerja sama penelitian penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai. Pada tahun 1968, Iran menandatangani perjanjian nonproliferasi (NPT) dan sejak itu pulalah Iran mengklaim memiliki hak mutlak (unalienable right) menggunakan dan mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai.

Pecahnya Perang Iran-Irak dari tahun 1980 hingga 1988 dan uji coba nuklir yang dilakukan Pakistan dan India pada Mei 1998 telah mendorong Iran untuk mempertimbangkan kepemilikan senjata nuklir sebagai modal dasar untuk pertahanan nasionalnya. Persoalan di Timur Tengah yang semakin rumit, terutama eksistensi kapabilitas nuklir Israel, juga semakin mendorong Iran untuk memiliki senjata nuklir. Dubes AS untuk IAEA Gregory L Schulte memperkirakan kini Iran memiliki—mengutip perkiraan IISS (International Institute for Strategic Studies)—85 metrik ton uranium yang dapat diolah menjadi senjata nuklir dalam waktu kurang dari satu tahun.

Dari sisi Pemerintah Iran, motivasi dan ambisi kepemilikan program nuklir didorong dua aspek penting. Pertama, kepemilikan program nuklir dapat digunakan sebagai faktor deterrent dan penyeimbang realitas hubungan internasional kontemporer. Kepemilikian teknologi nuklir bukan semata-mata hanya ditujukan untuk kebutuhan (energi) domestik semata, tetapi merupakan alat penting politik luar negeri dalam interaksinya di sistem internasional. Selain itu, faktor deterrent ini juga menjadi alat utama kebijakan pertahanannya yang tertuang sebagai doktrin pertahanan dalam melindungi kepentingan keamanan nasionalnya.

Sementara itu, aspek kedua yakni peningkatan prestise internasional, mobilitas sosial dan barganing power lebih ditujukan pada tingkat regional di mana Iran dikelilingi negara-negara yang juga memiliki teknologi (persenjataan) nuklir, seperti Irak dan Israel. Iran tidak memiliki pilihan lain selain berupaya untuk memiliki program nuklir, terutama di saat interaksi antarnegara di Timur Tengah sangat diwarnai oleh struggle for power yang sangat menekankan aspek politik-militer. Lalu bagaimana reaksi masyarakat internasional mengenai isu nuklir Iran ini?

Krisis cukup serius

Dalam konteks kepemilikan teknologi (senjata) nuklir Iran terdapat beberapa kemungkinan reaksi dan bahkan dilema yang akan mungkin muncul.

Kemungkinan pertama, Presiden Ahmadinejad akan menarik diri dari NPT, maka akan terdapat kemungkinan terjadinya krisis cukup serius terutama dalam hubungannya dengan AS, Israel, dan negara-negara Arab moderat yang mungkin akan berdampak negatif terhadap keamanan internasional.

Iran dan AS akan berusaha saling mengalahkan secara "diplomatik". Iran, misalnya, akan terpuruk apabila AS berhasil memobilisasi masyarakat internasional untuk mengucilkan Iran. AS akan mendorong implementasi mekanisme Proliferation Security Initiative (PSI) yang merupakan kombinasi instrumen diplomatik, militer, ekonomi, penegakan hukum, dan intelijen untuk memerangi proliferasi nuklir. Inisiatif ini sendiri bukanlah pendekatan yang bersifat traktat dan sudah mendapat dukungan dari 70 negara yang diimplentasikan secara multilateral.

Sebaliknya, Iran akan memenangi pertarungan diplomasi di atas apabila Iran berhasil memecah AS (dan Israel) dari komunitas internasional. Peran Uni Eropa (UE) dalam alternatif ini amatlah penting. Siapa pun yang berhasil "mendapatkan" UE akan memenangi pertarungan diplomasi ini, terutama karena kombinasi posisi antara AS dan UE akan meminta Rusia untuk berada di kubu mereka untuk mengisolasi Iran. Apabila UE tidak berada pada kubu yang sama dengan AS, upaya isolasi terhadap Iran tidak akan berhasil.

Yang juga akan menarik adalah Iran dan negara-negara Barat juga akan berusaha untuk merebut pengaruh dari Rusia dan RRC. Dalam pertarungan diplomatik ini, RRC tampaknya tidak akan mendukung upaya negara-negara Barat untuk mengisolasi dan memberikan sanksi kepada Iran. Hal ini terutama dikarenakan RRC akan melindungi kepentingan energi nasionalnya dengan menghargai Iran. Dengan kata lain, bila RRC enggan untuk mendukung kebijakan negara-negara Barat, hal ini tidak semata-mata berarti bahwa RRC mendukung upaya pengembangan teknologi nuklir Iran, namun lebih didorong pada keinginan RRC agar permasalahan ini dapat diatasi dengan menggunakan mekanisme pemecahan konflik secara damai dan kepentingan energi nasionalnya.

Rumitnya pertarungan diplomasi ini sepertinya tidak akan membuka ruang bagi kemungkinan penggunaan kekuatan militer oleh negara-negara Barat. Hal ini dikarenakan pilihan ini akan sangat kontroversial dan membahayakan keamanan internasional, khususnya di kawasan Timur Tengah.

Kemungkinan kedua adalah kemungkinan paling buruk yang tentu saja tidak kita harapkan, di mana Iran akan melakukan program nuklir tertutup (covert program). Krisis keamanan internasional yang sangat negatif dan kemungkinan terjadinya perang adalah sesuatu yang tidak terhindarkan lagi. Sebagaimana dilaporkan media cetak Jerman, Der Spiegel, AS sudah merencanakan serangan militer udara terhadap Iran.

Hal ini diindikasikan oleh kunjungan Direktur CIA Porter Goss, dan Sekjen NATO Jaap De Hoop Scheffer, ke Turki dan meminta PM Turki Recep Tayyip Erdogan membantu AS dalam menyediakan bantuan bagi serangan militer yang akan dilakukannya terhadap fasilitas nuklir dan militer Iran. AS sendiri juga sudah menghubungi Pemerintah Arab Saudi, Jordania, Oman, dan Pakistan tentang rencana serangan militer ini.

Serangan militer ini akan didahului oleh berbagai sanksi internasional yang dimandatkan DK PBB kepada negara-negara Barat, khususnya AS. Apabila alternatif ini yang akan terjadi, tentunya akan sangat membahayakan stabilitas dan keamanan internasional.

Anak Agung Banyu Perwita Dekan FISIP Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home