| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, April 17, 2006,10:12 PM

Negara, Bangsa, dan Pemimpinnya

Herdi Sahrasad

Sejak jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, para penggantinya, seperti BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri, hanya berkuasa singkat di tampuk pemerintahan. Melalui jalan demokratis, para pengganti Soeharto itu tergusur dari pemerintahan dalam waktu yang relatif cepat.

Kini Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla memegang tampuk pemerintahan dan tidak ada jaminan bisa bertahan sampai 2009 jika kondisi sosial-ekonomi memburuk atau stagnan. Hanya Tuhan yang Mahatahu.

Belajar dari kejatuhan Pak Harto, kita melihat keruntuhan rezimnya bukan tanpa sebab-musabab yang jelas. Salah satu penyebabnya adalah kebijakan liberalisasi keuangan yang tidak dibarengi dengan tata kelola penadbiran yang baik dan bersih (clean and good governance), bahkan diwarnai korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kronis.

Ironisnya, good governance dipahami secara reduksionistik, seperti pemerintahan yang baik. Padahal, governance berarti "proses pengambilan keputusan dan proses keputusan-keputusan diimplementasikan" (atau tidak diimplementasikan). Good and clean governance tidak hanya melibatkan pemerintah, melainkan juga menuntut keterlibatan banyak pelaku lain, seperti asosiasi buruh, petani, pemimpin keagamaan, dan media massa.

Apabila struktur kehidupan politik dipetakan dalam tiga bidang utama, yakni negara, pasar, dan masyarakat madani (state, market, and civil society), maka good and clean governance harus melibatkan kalangan aktor dalam tiga bidang itu. Ini bermakna good and clean governance menuntut diskusi intensif antara pejabat negara, pelaku pasar, dan berbagai organisasi yang terdapat dalam masyarakat (Triyono Lukmantoro, 2005).

Jika perdebatan serta penentuan keputusan didominasi satu pihak, maka good and clean governance tidak akan berjalan optimal atau bahkan mengalami kegagalan.

Pemimpin lembek

Hampir tak satu pun dari para pengganti Soeharto mampu memperlihatkan sinyal kuat bagi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial karena minimnya kapasitas dan kapabilitas, serta kurangnya sense of direction dan sense of purpose, yang bisa ditunjukkan oleh para pengganti Pak Harto tersebut kepada rakyat kita. Selain itu, karakter para pemimpin pasca-Pak Harto itu masih seperti yang digambarkan oleh Gunnar Myrdal, sebagai pemimpin yang lembek, sehingga negara kita masih merupakan soft state (negara lembek, negara lunak) pula.

Negara lembek adalah negara yang pemerintahan maupun warganya tidak memiliki ketegaran moral yang jelas, khususnya moral sosial, politik, dan ekonomi. Para pemimpin, aparat, dan politisi kita masih mengidap kelembaman (inertia, leniency), sikap serba mudah (easy going), dan relatif permisif sehingga tidak tegas dan tidak peka dalam memberantas korupsi, menegakkan hukum, memerangi busung lapar dan pembalakan liar, serta mengatasi penyelewengan kekuasaan lainnya. Akibatnya, para aktor yang bermain di wilayah negara, pasar, dan arena civil society, yang sangat menentukan capaian good and clean governance, masih didominasi aktor lama yang lekat dengan tabiat dan mindset Orde Baru, lengkap dengan karakter lembek, korup, dan permisif seperti para atasan dan pemimpinnya.

Selain itu, akibat kebijakan neoliberal oleh pemerintah yang mencabut subsidi demi membayar utang luar negeri (total utang negara dan swasta mencapai 134,362 miliar dollar AS) dan utang dalam negeri (beban Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Rp 650 triliun), hak-hak dasar sosial, politik, dan ekonomi rakyat mengalami reduksi dan terabaikan. Hal ini ditambah lagi dengan pelbagai perilaku dan keputusan para penyelenggara negara yang tampak lemah dalam berhadapan dan bargaining terhadap kepentingan asing—Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia.

Karena itu, tak salah jika Louis Kraar (1988) menyatakan bahwa Indonesia mengalami krisis multidimensi dengan kerusakan bangsa dan negara yang menyeluruh sehingga dikhawatirkan akan menjadi "bangsa terbelakang" dan "halaman belakang" (back yard) di kawasan Pacific Rims.

Sumber krisis multidimensi itu tidak hanya mencakup bidang moneter-finansial, melainkan juga dalam pengelolaan yang buruk dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan, serta kerusakan akhlak dan moral di kalangan bangsa, aparat, dan pemimpinnya yang sudah luar biasa.

Yudhoyono-Kalla dan para elite strategis harus menyadari bahwa akibat menganut neoliberalisme sesuai resep IMF, Bank Dunia, dan WTO, kini komodifikasi terhadap wilayah kehidupan sosial semakin meluas, seakan "semuanya untuk dijual".

Karena itu, kini masyarakat khawatir dan gelisah: masihkah kita memiliki "stok" kepemimpinan nasional yang kuat moral-akhlaknya, visioner, tangguh, dan responsif atas krisis multidimensi yang diderita oleh bangsanya? Kinerja Yudhoyono-Kalla sudah menunjukkan kelambanan dan lemah spirit fighter-nya, dan kontrol demokratis oleh civil society terhadap pemerintahan Yudhoyono-Kalla telah dan sedang dilancarkan.

Bagaimanapun Yudhoyono-Kalla adalah pilihan rakyat, dan ada harga yang harus dibayar oleh rakyat yang telah menjatuhkan pilihan kepada Yudhoyono-Kalla. Sebaliknya, rakyat pun ingin Yudhoyono-Kalla dan kabinetnya bekerja kreatif dan imajinatif, berani menghapuskan utang luar negeri, menegakkan hak-hak asasi manusia (politik, sosial, ekonomi, kultural), dan memberdayakan bangsanya di tengah krisis, sebagai komitmen dan amanat yang harus dilaksanakan agar bangsa ini bisa keluar dari keterpurukan.

Dalam situasi saat ini tidaklah salah jika rakyat masih berharap Yudhoyono-Kalla mampu mengatasi kemerosotan moral, spiritual, dan intelektual dewasa ini. Apalagi bagi Indonesia, tahun 2005-2009 menurut masyarakat internasional merupakan tahun-tahun menentukan (the make or brake years) perjalanan bangsa kita ke depan, yang sangat memerlukan tindakan penyelamatan penuh kesungguhan. Semoga hal ini menjadi renungan Yudhoyono-Kalla, kabinet dan pemerintahannya!

Herdi Sahrasad Pemerhati Masalah Politik dan Sosial

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home